Mohon tunggu...
LangitBiru
LangitBiru Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa

POST-STRUCTURISM

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sekantong Rindu untuk Viana II

3 Juli 2020   21:15 Diperbarui: 3 Juli 2020   22:16 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rindu dalam kantong dalam genggaman Ellanor seakan bergerak mengarah pada cahaya biru di balik tumpukan karung kopi. DAG! DIG! DUG! Degap jantung Ellanor yang semula bertempo pelan berubah cepat. Siapa? Siapa itu? Tanya Ellanor keras dalam hati.

"Penyeduh kopi itu, seperti ku mengenalnya."
Kantong rindu yang digenggamnya memberi tanda, penyeduh kopi hitam pahit itu berada dalam jarak yang dekat. Dekat namun jauh dibalik doa.

"Viana. Viana.Viana."
Penyeduh kopi, berdiri tepat di depannya mengarah pada sisi jalan raya seberang toko mie merah.
Kantong rindu, seakan makin berontak ingin disampaikan pada setapak tangan Viana yang mungil dan tak jarang permukaannya kasar.

"Vianaaaaaaaaaa" dalam hati Ellanor berteriak menyuarakan getar dawai rindu yang bergema di gelombang senja antar kota.

Ellanor bergerak mengambil tangan mungil itu dan lari menuju ujung jalan di kota sebelum utara. "Hei, hei.. hei. Kemana? Kau bawaku kemana?" tanya Viana, Ellanor tak sempat menyapa rupa wajahnya. Ia tetap berlari.

Tepat di persimpangan lampu lantas depan toko gorden milik tuan kaya, ia terhenti sejenak. Segerombol pemburu rindu itu datang, mencegat arah. Ia tak akan lepas kantong rindu itu, dan dengan segera, ia berikan kantong hitam berisikan rindu-rindu yang ia bawa lari tadi. Kantung sedikit basah, ulah minyak dan keringat lelahnya berlari juga pekatnya udara seraya menggenggam tangan Viana. Ia meletakan sekantong rindu itu di telapak tangan Viana sambil berkata:

"Kemana langkahmu beberapa waktu? bukankah kau tau aku pasti menunggu. Tapi tak sabarnya aku hingga ku mengambil sekantong rindu ini, dan ku bawakan nya padamu. Ambillah, ini perjalananku. Meletakkan rindu padamu di depan pemburu rindu itu, adalah keberuntungan. Aku lebih tepat waktu, menyampaikannya padamu.
Lihat lah, kantong rindu ini merasa aman dalam tanganmu bawalah pulang, simpan dalam mimpi tidurmu sampai kita bertemu lagi nanti."

Viana
Viana
Viana
Ia mendengar seruan para pemburu rindu meminta agar menolak rindunya dan mengembalikan kantong rindu itu. Viana senyum, ia tersenyum. Senyum kecil yang khas dari Viana, kembali.

Dan
Dan
Dan
Dan viana
Dan viana memeluk
Dan viana memeluk kantong rindu itu.
Senyum, senyum tipis seraya berkata:

"Segerakan saja aku. Aku bantu kamu menghadapi pemburu rindu yang ingin merebut kantong rindu ini. Jalan kita ke arah barat, jadikan rumah Al-Haram yang terahkir untuk perjalanan ini. Mari berarak-arak ke sana, perlahan pemburu rindu akan segera menyerah diri dan kembali dalam adabnya."

Yogyakarta setahun yang lalu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun