Mohon tunggu...
Langit
Langit Mohon Tunggu... -

Aku ingin berjalan seiring, bukan digiring.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Critical Situation

13 November 2018   16:15 Diperbarui: 13 November 2018   16:32 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lebih dari 15 menit Fred tak kunjung kembali. Matahari mulai lelah berada di puncak. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 17.45. "Sial" gumamku dalam hati. Aku melihat rombonganku mulai tampak gusar. Kucoba menenangkan mereka, terutama Kanaya yang takut gelap dan Kevin yang masih kecil.

Tiba-tiba saja terdengar suara peluit dari arah dalam hutan. "itu pasti Fred" pikirku. Dia pasti tersesat saat mencari tempat buang hajat. Aku kembali melihat sekitar. Langit yang mulai gelap membuatku ragu untuk meninggalkan rombongan. Namun aku juga tidak bisa meninggalkan Fred sendirian, walaupun aku belum tau pasti itu Fred atau bukan. Aku bergegas menghampiri pak Her untuk menyuruhnya berhenti memperbaiki mobil.

"Pak Her, aku mau menjemput Fred di hutan. Sepertinya ia tersesat."

"Loh apa tidak apa-apa kalau kau pergi sendiri?"

"Ini sudah menjadi tanggung jawabku sebagai pemandu mereka pak Her, Bapak tolong jaga kawan-kawan kita yang lain saja. Terutama Kanaya dan si Kevin. Aku tak mau perjalanan ini menjadi trauma bagi mereka."

Aku bergegas menyusuri hutan. Berbekal senter hp yang batrenya sudah menipis, kuiikuti suara peluit Fred. Mungkin karena panik, Fred tak henti-hentinya meniup peluit sedari tadi. Hal ini justru memudahkanku untuk mengikuti jejaknya. Benar saja, tak sampai 10 menit aku sudah menemukan Fred. Wajahnya tampak pucat. Keningnya penuh dengan peluh yang berceceran.

"Kau tak apa Fred?" tanyaku

"Yes, im okay.. tapi aku sedikit khawatir karena baru pertama berada di hutan ini, dan hari semakin gelap" jawab Fred dengan tawa kecil.

"Tenang saja, kau sudah aman sekarang. Lebih baik kita segera kembali, mereka mencemaskanmu."

Jam menunjukkan pukul 18.20 ketika aku dan Fred tiba di minibus. Kulihat pak Her berada dalam posisi siaga di depan pintu minibus, benar-benar menjaga rombongan yang ada di dalam. Dia selalu bisa dipercaya apabila mendapat tugas. Aku melangkah kedalam minibus. Kuamati sejenak rombonganku. Aku menghitung dalam hati. Fred, Anggi, Kanaya, Lukman, Prita, dan si kecil Kevin. "Oke lengkap" gumamku.

"Baik, bapak dan ibu sekalian.. seperti yang kita tahu, kita mengalami kendala teknis sehingga harus berakhir seperti ini. Namun tenang saja, saya sebagai pemandu akan bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan kalian." Kataku berusaha menenangkan mereka.

Tiba-tiba Lukman bersuara. "Lalu bagaimana nasib kita sekarang? Selain itu keluargaku harus flight jam tujuh besok".

"Apakah kita aman?" Prita bertanya dengan nada cemas.

Aku segera mengambil alih. "Tenang.. tenang.. Semua dalam kendali. Seperti yang sudah kita ketahui tadi, rekanku sudah dalam perjalanan menuju kemari. Jadi saat ini langkah terbaik yang dapat kita lakukan adalah berkumpul menjadi satu disini agar aman."

"Maaf kak.. apakah masih lama jemputan itu datang? Aku sangat takut gelap.." keluh Kanaya.

"Lebih baik kita nyalakan saja satu senter hp supaya kita memiliki lebih banyak cadangan. Simpan hp milik pak Lukman untuk cadangan terakhir karena batrenya yang paling banyak. Kau tidak perlu cemas Kanaya." Jawabku.

"Selain itu, Anggi, tolong kau jaga kawanmu si Kanaya."

Anggi hanya mengangguk.

 Sebenarnya yang membuatku cemas adalah si Kevin. Aku takut asmanya kambuh dalam situasi seperti ini. Kuhampiri bu Prita dan pak Lukman.

"Bagaimana kondisi Kevin?" tanyaku.

"Sampai saat ini dia masih baik-baik saja. Dia hanya agak ketakutan.." jawab ibu Prita.

Kulepas jaket parasutku. "Kevin, pakailah ini. Akan semakin dingin ketika malam tiba." Ucapku sambil tersenyum.

Bocah itu hanya mengangguk sembari memakai jaket pemberianku. Tangannya tak perlah lepas menggenggam baju ibunya.

Hari semakin gelap. Rimbunnya pohon dan tanaman yang ada mempersempit celah bagi cahaya untuk menembus hutan ini. Kami semua duduk berdekatan di dalam minibus untuk mengurangi hawa dingin yang mulai terasa. Aku menggiring mereka semua untuk memulai percakapan. Obrolan ini kurasa efektif untuk memecah ketegangan yang ada. Lihat saja si Fred begitu bersemangat menceritakan beberapa pengalamannya. Lukman membantu anaknya memahami cerita si Fred, maklum usia Kevin baru delapan tahun. Raut ketakutan sudah hilang dari wajah kevin, digantikan dengan antusiasme mendengarkan cerita Fred. Di sebelahku, Anggi dan Kanaya sesekali berdebat menanggapi cerita Fred, mereka tampak lebih tenang sekarang, terutama Kanaya, dia bahkan tak lagi menempelkan senter hp di dekat wajahnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 18.30, seharusnya penjaga hutan yang membawa motor sudah hampir sampai. "Semoga saja dia tidak tersesat" batinku dalam hati. Aku mencoba mengambil alih pembicaraan.

"Maaf Fred, bisa kau tunda dulu ceritamu, ada yang ingin kusampaikan."

"Oh silahkan" jawab Fred sambil tersenyum.

"Oke seperti yang kalian ketahui, jemputan akan segera datang kesini, jadi kurasa ini waktu yang tepat untuk membagi siapa saja yang akan berangkat terlebih dahulu"

"Untuk menghindari pertengkaran, aku dan pak Her sudah terlebih dahulu berdiskusi mengenai pembagian ini, jadi keputusan yang akan kubacakan merupakan buah pikiran dari pak Her dan aku."

"Namun apabila ada yang merasa keberatan dan mampu memberikan argumen yang logis maka akan ku pertimbangkan lagi. Setuju?" tanyaku menutup orasi singkat barusan.

"Setuju" jawab mereka semua berbarengan.

"Baiklah kalau begitu, langsung saja. Setelah ini jemputan motor akan segera tiba. Kanaya, kau pergilah pertama. Penjaga akan mengantarmu menuju pondok yang berada di dekat pintu masuk hutan. Keputusan ini diambil dengan alasan phobia Kanaya terhadap gelap. Sementara batrai hp sudah semakin menipis. Dapat dimengerti?"

"Baiklah" jawab Luqman.

Aku berdehem sesekali untuk mengurangi rasa tegang ketika harus membacakan keputusan yang dapat berpotensi menyebabkan keributan ini.

"Selanjutnya, kira-kira pukul 20.00, jemputan mobil akan segera datang. Karena mobil ini tipe sedan, jadi hanya cukup untuk dua orang saja. Silahkan Luqman sekeluarga naik mobil ini. Kalian akan diantarkan hingga penginapan di kota. Pertimbangannya adalah kondisi Kevin yang memiliki asma, dan juga pesawat mereka yang akan terbang pukul 07.00 besok."

"Lalu bagaimana dengan kami?" tanya Anggi dengan cemas.

"Tenang, motor itu akan tiba disini lagi dalam 30 menit setelah mengantarkan Kanaya. Setelah itu giliranmu naik. Bagaimana?" Jawabku mencoba meyakinkan.

"Umm okay" Anggi menghembuskan nafas lega.

"Setelah Anggi, giliran terakhir adalah Fred. Kau tidak keberatan kan Fred?" tanyaku.

"Tentu tidak, aku akan sangat malu bila berdebat dengan nona-nona ini. Terlebih lagi ini bukan pertama kalinya aku berada di hutan malam hari." Jawab Fred sambil tertawa. Suasana jadi sedikit lebih ceria berkat tawa Fred.

Tiba-tiba terdengar suara motor dari kejauhan. Kulihat wajah para rombongan nampak senang. Suara motor itu mungkin terlihat seperti oase di tengah padang pasir bagi mereka. Aku bergegas keluar dari minibus untuk memberi tanda pada penjaga hutan agar tau letak kami. Kuarahkan senter hp ke arah langit agar dia bisa melihat cahanya. Tak berselang lama, motor itupun tiba di minibus kami.

"Kanaya ayo segera bersiap, motornya sudah tiba" ucapku dari luar minibus sedikit berteriak.

Kanaya segera keluar, dan langsung naik keatas motor.

"Bang, bensin di pondok ada stock kan?" tanyaku kepada si penjaga.

"Aman gan" jawabnya yakin.

Setelah Kanaya pergi kami kembali melanjutkan obrolan. Si kecil Kevin merasa lapar dan melahap nasi kotak sisa makan tadi siang. Nasi kotak satunya kuberikan pada Anggi. Tenaganya pasti habis untuk menahan rasa sakit ketika kakinya terkilir.

Pukul 20.15 mobil sedan yang kami tunggu akhirnya tiba. Kevin sudah tertidur lelap sehingga perlu digendong oleh ayahnya untuk masuk kedalam mobil. Setelah mengucapkan terimakasih atas pelayanan dan pengalaman yang tak terlupakan mereka pun segera berangkat.

Sekarang tinggal tersisa aku dan pak Her di minibus. Sebelumnya Anggi sudah berangkat kepondok pada pukul 19.10, kemudian disusul  Fred pada pukul 19.40. Aku lega karena mereka tiba di pondok tidak terlalu malam. Kurasa semakin malam dapat semakin berbahaya berada di hutan seperti ini.

Pak Her tiba-tiba menepuk pundakku. Membuatku terbangun dari lamunan.

"Sekali lagi kau sudah membuat keputusan yang tepat nak, negeri ini butuh lebih banyak generasi penuh solusi sepertimu" ucapnya.

Aku tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun