Mohon tunggu...
Rillando Maranansha
Rillando Maranansha Mohon Tunggu... Statistisi, Penulis Opini, Pegiat Anti Narkoba

Orang minang yang besar di Palembang. Hobi menulis, membaca dan mendengar musik.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

ROMANSA (ROmantisme zaMAN SmA) : Bermula... (Part 1)

21 Mei 2025   15:11 Diperbarui: 21 Mei 2025   15:11 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

SMA Wahid sebenarnya bukan sekolah pilihanku, jujur aku minder bila harus sekolah di tempat yang mayoritas siswanya adalah anak orang kaya dan pejabat. Aku lebih memilih SMA Bukit sebagai tujuanku setamat SMP, namun ayahku memaksaku ke SMA Wahid, yang juga merupakan almamater ayah dan ibuku. SMA Bukit mempunyai rivalitas dalam hal prestasi dengan SMA Wahid.
"Justru banyak orang dari berbagai latar belakang keluarga dan ekonomi yang berbeda, kamu akan belajar banyak hal. Jangan malu dan minder berteman dengan anak orang kaya atau pejabat, jaringan pertemanan seperti itu adakalanya bermanfaat di masa depan" nasihat ayahku ketika aku menolak halus permintaannya untuk lanjut ke SMA Wahid. Akhirnya aku pun manut, daripada nanti dikutuk jadi sandal jepit, yang diinjek2 orang. Hehehe.

"Rana bangun nak, siap2 sekolah" suara ibu terdengar dari balik pintu kamarku.
"Iya sebentar" jawabku singkat.
Aku pun segera bangun dan senam gaya ulet alias ngulet sebentar. Aku bergegas ke kamar mandi untuk bersiap. Aku sudah siap sekarang dengan seragamku. Aku mematut diri di depan cermin sambil tersenyum bangga dengan tulisan SMA Wahid yang menempel di lengan seragamku.

"Ayo kita berangkat" ujar ayah seraya berjalan menuju mobil Carry nya.
Mobil pun melaju dan kami akhirnya sampai di depan gerbang SMA Wahid, dimana sudah berjejer mobil milik orangtua siswa yang mengantar anaknya. Kemacetan tak terhindari, klakson mobil dan motor bersahut2an, ditambah suara kernet bus kota yang stop menurunkan beberapa para siswa SMA Wahid.

Aku pun berjalan melewati gerbang sekolah dengan perasaan percaya diri, tapi tiba2 aku terhenti ketika melihat jejeran mobil yang berbaris rapi di halaman sekolah. Tampak beberapa siswa keluar dari kendaraannya. Aku tercekat, sambil menelan ludah aku membatin "orangtuanya pasti pengusaha atau pejabat". Aku melanjutkan langkah menuju kelasku.

Aku memilih posisi duduk di samping jendela yang bisa melihat langsung ke lapangan basket sambil meletakkan tas ransel Alpina ku yang berwarna kombinasi pink dan biru.
"Hai, aku Ahmad" teguran seseorang membuyarkan lamunanku yang menatap kosong ke lapangan basket.
"Rana" ucapku sambil menyambut uluran tangannya. Ahmad tersenyum, plus dengan lesung pipinya.
"Aku Steve" ujar sosok lain di sebelah Ahmad. "Rana" jawabku sambil terpukau dengan paras Steve yang mirip orang keturunan.
"Wah ada bule juga rupanya disini" gumamku pelan.

"Rana, sekolah disini juga ternyata" jerit seseorang yang baru memasuki ruang kelas. "Hai Atma, sini" ujarku.
Aku sudah mengenal Atma dari SMP, kami sama2 sekolah di SMP Wahid, berbeda dengan Ahmad dan Steve yang berasal dari SMP Dwi. Kami pun ngobrol sebentar dan darisitu aku tau kalau Ahmad dan Steve telah bersahabat dari SMP.

Selain Atma banyak juga alumni SMP Wahid disini, salah satunya adalah Alfi. Aku tak terlalu mengenalnya, walau sebenarnya selain dulu kami satu sekolah, rumah kami pun berdekatan. Aku pun menegurnya ketika jam istirahat,
"Sekolah disini juga, nanti pulangnya bareng ya, kita kan tetanggaan", ujarku membuka percakapan.
"Iya, ketemu lagi kita. Ok nanti kita pulangnya bareng, naek angkot kan?" jawabnya.
"Iya lah, mau naik apalagi, emang kamu bawa mobil?" candaku. Kami pun tertawa bersama.

Tiba2 datang Uli,
"Wah banyak juga ya anak SMP Wahid disini" ujarnya.
Kami hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan.
"Oya kenalin, ini Putra, dia masih sepupuku" lanjut Uli. Kami pun berkenalan dengan Putra yang berbadan bongsor itu. Walaupun Uli dan Putra adalah orang batak tapi tak tercermin dari logat mereka, mungkin karena sudah banyak terkontaminasi cuka pempek.

Itulah awal persahabatan antara aku, Ahmad, Alfi, Atma dan Putra. Selain dengan mereka aku pun akrab dengan Steve. Dari sinilah persahabatan kami bermula.....

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun