Koleksi senjata api dan meriam kuno ini merupakan bagian dari koleksi historika yang mencerminkan masa-masa perlawanan terhadap penjajahan serta pengaruh kolonial di Sulawesi Tengah. Beberapa senjata yang dipamerkan berasal dari masa penjajahan Belanda dan VOC, seperti pistol laras pendek dan panjang, serta meriam logam berukuran kecil hingga menengah.
Senjata-senjata ini digunakan tidak hanya sebagai alat pertahanan dalam peperangan, tetapi juga menjadi simbol kekuasaan dan kekuatan militer suatu kerajaan atau kelompok lokal. Melihat benda-benda ini membuat kita membayangkan bagaimana strategi dan perlawanan masyarakat lokal dilakukan dalam mempertahankan kedaulatan atas tanah air mereka. Meriam dan pistol ini menjadi saksi bisu betapa gigihnya perjuangan nenek moyang kita di masa lalu.
Patung megalitik ini ditemukan di wilayah Lembah Napu, Kabupaten Poso, yang dikenal sebagai salah satu situs arkeologi terpenting di Sulawesi Tengah. Dibuat dari batu berukuran kecil, patung ini merupakan peninggalan zaman megalitikum yang diyakini memiliki fungsi ritual, spiritual, atau bahkan sosial sebagai tanda penghormatan terhadap leluhur.
Kehadiran patung ini mengungkapkan bahwa masyarakat Sulawesi Tengah pada masa lampau telah memiliki sistem kepercayaan yang kompleks dan struktur sosial yang terorganisir. Mereka menjadikan batu sebagai media komunikasi dengan dunia spiritual, menunjukkan hubungan yang erat antara manusia dan alam dalam budaya megalitik. Koleksi ini menjadi bukti bahwa peradaban kuno di wilayah ini sangat maju dan kaya akan nilai-nilai simbolik.
Koleksi ini terdiri dari peninggalan budaya Islam yang telah mempengaruhi masyarakat Sulawesi Tengah sejak abad ke-16. Di antaranya terdapat Al-Qur’an tulisan tangan, Temboka Pejunu (tempat air tradisional untuk mandi ritual di bulan Safar), keris dengan kaligrafi Arab, serta Pasatimpo – sarung khas yang memuat tulisan Arab berlanggam Jawa sebagai simbol solidaritas.
Kehadiran naskah-naskah kuno ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam tidak hanya melalui dakwah lisan, tetapi juga melalui tulisan, sastra, dan simbol-simbol budaya lokal. Keris dengan tulisan kaligrafi “Kalau engkau mau berbuat sesuatu, harus dipikirkan dahulu” menanamkan pesan moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Ini menegaskan bahwa Islam tidak datang merusak budaya lokal, tetapi menyatu dan memperkaya nilai-nilai yang sudah ada.
Pada etalase ini, terlihat beberapa meriam besi dan peluru bulat dari berbagai ukuran. Meriam-meriam ini merupakan peninggalan dari masa perdagangan rempah-rempah serta interaksi antara kerajaan lokal dengan kekuatan kolonial seperti VOC dan Belanda. Beberapa di antaranya merupakan Pusaka Mataram dan Meriam VOC, seperti yang tercantum dalam penjelasan koleksi.
Benda-benda ini bukan sekadar artefak perang, tetapi juga simbol pengaruh politik dan ekonomi yang terjadi pada masa itu. Mereka mengingatkan kita pada periode ketika Sulawesi Tengah menjadi bagian dari jalur penting perdagangan dunia. Meriam dan peluru tersebut juga bisa dimaknai sebagai bentuk penjagaan terhadap wilayah dan kekayaan lokal dari ancaman luar, serta wujud nyata dari interaksi global yang telah berlangsung ratusan tahun lalu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI