Mohon tunggu...
lailia nur hamidah
lailia nur hamidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Agama Islam pada Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi

Content writer, sastra, education, religi, stories

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rafida dan Kekuatan Dirinya

25 Agustus 2023   11:42 Diperbarui: 29 Agustus 2023   12:55 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuamati dari kaca spion bagaimana gadis mungil itu menikmati lantunan indah yang keluar dari mulutnya. 

Suara indahnya menggema mengikuti arus angin, namun tak terlalu nyaring terdengar di luar sana karena berpagutan dengan suara mobil dan truk-truk yang berpapasan dengan kami.

Namanya Rafida, aku mengenalnya sejak awal perkuliahan semester lalu. Aku tak tahu bagaimana latar belakang keluarganya, yang kutahu ia sosok yang agamis. Setiap yang dilakukannya selalu jadi panutan bagi orang-orang di sekitarnya. Sepertinya dia alumni pesantren, entah pesantren mana. 

Namun yang kutahu saat ini ia tinggal di sebuah kos putri tak jauh dari kampus kami. Sedangkan aku yang pulang pergi dari rumah sering kali mampir ke kamarnya sekedar melepas penat atau konsultasi tugas dengannya.

"Fi, Faisal udah berangkat?" tanyaku. Ia masih asik bersenandung.

"Haa.. Apa Din?"


Sorot lampu kota berpadu dengan lampu-lampu kendaraan yang terbilang cukup ramai malam itu membuatku harus benar-benar fokus berkendara.

"Tanyain Faisal udah berangkat apa belum, chat sana."

"Wes di TKP sejak habis magrib tadi Din."

Lanjut kembali dia melantunkan shalawatnya. Suaranya memang indah, tak jarang ia keluar kota untuk mengikuti lomba qori'ah, pandai sekali ia mengkritingkan cengkok, powernya juga sudah seperti penyanyi-penyanyi terkenal, tapi anehnya, dia nggak suka nyanyi. 

Dia lebih suka melantunkan shalawat yang lafadznya nggak pernah kudengar sebelumnya. Meskipun begitu tetap saja dia dapat membawakan dengan indah dan nada yang pas. Katanya kalau punya suara emas buat menyanjung sang rasul, keindahannya terawat dengan keberkahan. Hidupnya juga selamat.

Sreett ... "Din awas...."

Seketika tangan kiriku mengendalikan rem sekecang-kencangnya. Di depanku expander putih mendadak menyalakan reting kanan menuju arah putar balik. Beruntung tangan Rofida gercap memberi kode padaku sehingga aku tak sampai hilang kendali.

"Huh Ya Allah ... untung gak nabrak tadi." Aku melenguh nafas panjang.

"Jangan melamun to Din, mikir apa to kamu?"

Apa ya yang sedang kufikir, perasaan melamun juga nggak. Aku mikir Rafida, gadis yang duduk di belakangku itu masih saja melanjutkan shalawatnya yang sempat terputus gara-gara insiden barusan.

"Fi, kamu ndak capek teriak-teriak dari tadi?"

Dia memang terkesan anggun dan tak banyak bicara, tapi di balik itu sosoknya konyol, dia humoris, nggak segan-segan aku menggodanya.

"Ndak Din, aku suka kayak gini apalagi di jalan. Kalo di kosan masih malu mau teriak-teriak Din takut ganggu yang lain, tapi kalo di jalan paling ya Kamu tok yang tak ganggu hahaha," ia tergelak, aku cuma meringis.

Perjalanan kami mulai memasuki kawasan tertib lalu lintas. Deretan warung-warung di sepanjang jalan tampak begitu padat, sedang di depan kami kulihat kendaraan memadati jalanan ada apa ini.

"Fi, Rafida kok rame ya Fi," tanyaku santai.

"Din, operasi Din, gak bohong aku."

Ha.. operasi? Operasi apa aku ndak faham dengan yang dikatakannya. Aku masih saja melanjutkan kemudiku dengan mengurangi kecepatan. Betapa aku terkejut samping kanan kiriku berjajar polisi lalu lintas yang siap memeriksa kami.

"Ayo kiri-kiri!" Di bawah komandan polisi itu seluruh kendaraan roda dua yang melintasi kawasan kota malam itu membelokkan kendaraannya pada sebuah gedung yang aku sendiri tak mengerti apa fungsinya. Akupun menurut meski keringat dingin mulai mengucur. Kulihat raut Rafida masih tampak tenang.

"Kenapa berhenti di sini, Din? Bukannya kamu punya SIM?" Ia mencopot helmnya dan berdiri di sampingku.

"Fi, aku ndak bawa STNK." Ia masih tampak tenang meski wajahku mulai gelisah.

"Aduh.. piye[2] ya Din."

Aku mulai mengeluarkan ponsel mencari-cari kontak yang dapat kuhubungi untuk mencari solusi. Telvon rumah, kurasa percuma. Jarak rumahku kemari sangatlah jauh, toh abahku gak mungkin mau kemari apalagi Mas iyan mustahil. Faisal, gak mungkin juga bisa bantu kan STNKku di rumah. Ah gak ada salahnya kucoba siapa tahu Faisal bisa bantu.

"Tunggu disana Diana, entar Rafida suruh keluar di pinggir jalan bentar. Pake STNKku kalau bisa kelabuhi biar polisi itu ndak sampek cek nomor platnya yang penting ada STNKnya," pinta Faisal. Aku menurut kata Faisal, dari nada bicaranya sepertinya iapun turut panik.

"Gimana Din?" tanya Rafida.

"Faisal on the way[3] kesini, kita atur strategi nanti." Ia masih tampak tenang.

"Astagfirullah.. Fi, percuma kayaknya Faisal kesini. Ini motorku mati 2 bulan yang lalu."

"Lah yang bener Din?" Aku mengangguk lantas kucoba hubungi Faisal untuk menggagalkan rencananya menjemput kami.

"Wes kita jalan aja Din, pasrah wes kalo ditilang ya ngikuti prosedur aja," ajak Rafida.

"Oke Fi."

Kami kembali mengendarai kemudi, menuju barisan jalur yang telah diatur sedemikian rupa. Tanganku gemetar hebat, aku benar-benar gelisah. Pengemudi di samping kanan kiriku tampak tenang. 

Pantas saja, mereka kan lengkap, ndak seperti aku. Aku terus mengikuti alur hingga tiba giliran motor di depanku. Ia lolos karena surat-suratnya lengkap, sedang di sampingnya tampak pengemudi diminta menghadap kerumunan polisi di sebelah utara untuk mengambil surat tilang. Aduh.. pasti nasibku sama dengannya. Aku tak tahu apa yang sedang Rofida fikirkan tak sempat melihatnya dari kaca spion.

"KTP, Sim sama STNK Mbak?"

"Pak mohon maaf STNKnya ketinggalan." Polisi itu menerima sodoran KTP dan SIM dariku. Sekalipun aku membawa STNK tetaplah aku salah dan pasti ditilang karena plat motor yang kukendarai dengan jelas menunjukkan bahwa motorku mati sejak 2 bulan yang lalu. Kulihat Rofida tetap tenang meski ia berhenti menyenandungkan shalawatnya. 

Kami sama-sama terdiam memnanti putusan tilang dari Pak polisi yang tengah berdiri di hadapanku itu. Tubuhku menggigil panas dingin. Padahal aku melakukan perjalanan kemari bersama Rafida hanya untuk observasi lapangan untuk menyelesaikan proyek kelompok bersama Faisal dan dua orang lainnya. Kalau bukan karena itu malas sekali aku jalan malam.

Polisi itu tampak mengamati plat nomor motorku, duh mati aku. Ketahuan kalau motorku mati. Sejenak ia mengamati plat nomorku sebelum kemudian menyodorkan kembali SIM juga KTP milikku.

"Lain kali dibawa ya Mbak STNKnya." Haa.. kulihat wajah polisi itu tenang saja seperti taka da perintah untuk menghadap kerumunan polisi yang siap mencatatkan surat tilang. Aku masih terdiam, Rofida tampak mengamati polisi itu.

"Boleh jalan Pak?" tanyaku.

"Iya silakan, hati-hati." Seketika aku menarik gas di tangan kananku dan berhasil lolos dari lorong macan itu.

Aku kembali memberhentikan motorku di pinggir jalan yang kurasa cukup jauh dari lorong macan tempat pemeriksaan lalu lintas itu.

"Ya Allah Rafida, mimpi apa aku semalam." Aku menarik nafas panjang, ia tersenyum melihatku.

"Paling itu plat motormu ditutupi sama malaikat Din."

"Iya Fi, berkat shalawatmu itu kali ya," jawabku.

"Lain kali jangan ceroboh Din, cek dulu sebelum berangkat. Bagaimanapun sebenarnya malam ini kita ada di posisi yang salah, sekalipun kamu nggak lupa bawa STNK tetep aja kita kena tilang karena motormu mati."

"Iya itu Fi, intinya kita selamat malam ini, oke aku janji gak bakal ulangi." Iapun mengangguk dan kembali melihat layar handphonenya.

"Din jam 8, gerak cepat."

Kembali aku merapikan helmku, serta Rofida memperbaiki posisi duduknya. Aku yakin Faisal dan yang lain tengah gelisah menanti kami.

Rafida, beruntung sekali kamu yang duduk di belakang kemudiku malam ini. Mungkin berkah shalawatmu yang tak pernah henti itu menghantarkan keajaiban untuk kita malam ini. Tetaplah demikian Rafida, darimu aku mengerti arti barokah, darimu aku mengerti tak semua perjalanan itu terhitung dengan logika. Terimakasih Rofida.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun