Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Terus Mainkan Politik Gaduh, Elit Politik kelabakan, Publik Bersorak

8 Januari 2016   15:04 Diperbarui: 10 Januari 2016   16:31 6389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi bukanlah orang yang takut kegaduhan. Jika ada yang memancing kegaduhan, maka dia akan meladeninya. Banyak orang mengira, bahwa Jokowi lebih suka ketenangan dan keharmonisan di dalam pemerintahannya. Ternyata tidaklah demikian. Beberapa fakta membuktikan bahwa Jokowi suka kegaduhan dan sengaja melempar kegaduhan untuk memperkuat posisinya. Hasilnya? Luar biasa. Berkat politik gaduhnya, posisi Jokowi semakin kuat. Apa saja fakta-fakta politik gaduh Jokowi itu.

Golkar dan PPP adalah korban politik gaduh Jokowi yang pertama. Lewat menteri Menkumhamnya, Yasona Laoly, Jokowi memainkan politik gaduh di internal Golkar. SK kepengurusan Golkar hasil Munas Ancol, salah satu buktinya. Golkar kemudian terbelah dalam dua kubu, yakni kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakri. Perseteruan keduanya di pengadilan dan DPR, mengakibatkan suara Golkar di Pilkada 2015 jeblok dan mencerai-beraikan Koalisi Merah Putih (KMP).

Tidak cukup sampai di situ, dengan memanfaatkan hasil putusan MA, lagi-lagi Menteri Laoly, menjadi kaki tangan Jokowi memainkan politik gaduh di internal Golkar. Laoly mencabut SK kepengurusan Agung Laksono hasil Munas Ancol tetapi tidak memberikan SK kepengurusan Aburizal Bakri hasil Munas Bali. Hasilnya, Golkar semakin terpecah-pecah. Kini di DPR, fraksi Golkar terpecah tiga, yakni kubu Ade Komaruddin, kubu Setya Novanto dan kubu Agung Gunanjar. Sebetulnya apa ruginya memberikan SK kepengurusan kepada Golkar hasil Munas Bali?

Politik gaduh yang kedua bisa dilihat dari sepak terjang Menteri Olahraga Imam Nahrawi. PSSI yang sudah sekian lama tenang dan nyaman dengan pengaturan skornya, tiba-tiba diusik oleh Jokowi. Dengan alasan, PSSI tidak mengindahkan maunya Jokowi, Imam Nahrawi kemudian membekukan PSSI. Sontak, kegaduhan di jagat sepakbola Indonesia berlangsung riuh berbulan-bulan. Hasilnya, PSSI tidak berkutik, mafia pengaturan skor dalam sepak bola pun terkuak di hadapan publik.

Sebetulnya bila Jokowi mau tenang dan nyaman, ia tidak perlu mengusik PSSI. Ia akan membiarkan apa adanya PSSI seperti di masa pemerintahan sebelumnya. Tetapi faktanya, Jokowi lewat Imam Nahrowi, sengaja mengusik PSSI agar dilanda kegaduhan. Berkat kegaduhan di PSSI itu, citra pemerintahan Jokowi malah ikut menguat di mata masyarakat. Kini sepak bola indah benar-benar dinikmati dalam penyelenggaraan Piala Presiden dan Piala Sudirman.

Politik gaduh yang ketiga, amat nyata dalam diri Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli. Justru energi kritik pedas Rizal Ramli saat di luar pemerintahan dimanfaatkan Jokowi dengan merekrutnya masuk dalam kabinetnya. Begitu dilantik, Rizal Ramli telah mengumbar kegaduhan di dalam kabinet Jokowi. Rizal dengan cepat mengepret Menteri BUMN Rini Soemarno, Direktur Pelindo II, RJ Lino , Menteri ESDM Sudirman Said dan bahkan Wapres Jusuf Kalla. Hasilnya, RJ Lino tersangka dan Rini Soemarno semakin terpojok.

Pertanyaannya adalah mengapa Jokowi membiarkan Rizal Ramli membuat gaduh di dalam kabinetnya? Bila jawabannya dibiarkan dan bahkan disengajai, itu sangat beralasan. Rupanya Jokowi sedang memainkan politik gaduh.

Jika kemudian, Jokowi membiarkan Sudirman Said melaporkan Setya Novanto di MKD di DPR karena telah menyatut namanya, itu adalah permainan politik gaduh selanjutnya. Jokowi terus memainkan politik gaduhnya. Saya amat yakin, jika Jokowi melarang Sudirman Said membeberkan pencatutan nama itu, maka tidaklah terjadi politik gaduh selama sebulan penuh di belantara politik Indonesia.

Nyatanya Jokowi butuh permainan politik gaduh. Karena dengan politik gaduh, Jokowi seolah-olah menyibak rumput supaya para ular belukarnya keluar. Dan memang hasilnya demikian. Muhammad Reza Chalid dan Setya Novanto terkuat di hadapan publik sebagai sosok busuk dalam peta perpolitikan Indonesia. Lagi-lagi berkat politik gaduh di seputar kasus Freeport itu, posisi pemerintahan Jokowi semakin kuat.

Apakah fakta-fakta di atas belum cukup untuk mengatakan bahwa Jokowi sedang memainkan politik gaduh?

Lihatlah kegaduhan yang diperagakan oleh Menteri PAN, Yudy Chrisnandi. Sangatlah tidak mungkin jika pembeberan rapor setiap kementerian itu tidak diberi tahu kepada Jokowi sebelumnya. Jokowi kemungkinan besar menyetujui kebijakan Menteri Yudy itu. Hasilnya, para menteri Jokowi terhenyak melihat kinerja rapor mereka yang dikeluarkan oleh Menteri Yudy itu. Gaduh pun terjadi dengan interpretasi masing-masing. Berkat rapor dari Menteri Yudy tersebut Kejaksaan Agung (rapornya termasuk yang jeblok) dipaksa untuk memeriksa Setya Novanto dalam waktu dekat tanpa menunggu izin Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun