Mohon tunggu...
lady  anggrek
lady anggrek Mohon Tunggu... Wiraswasta - write female health travel

Suka menulis, Jakarta, Blog: amaliacinnamon.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setangkai Bunga Anggrek Layu

19 Februari 2019   19:36 Diperbarui: 19 Februari 2019   19:37 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: https://www.kepogaul.com

 "Nabila, Tante Karlina masuk rumah sakit hari ini. Nanti jam tiga sore hari mau operasi katarak." Pesan Mas Yanuar, sepupuku. Aku baru membaca sms itu telat tiga puluh menit kemudian. Lalu ada satu hal lagi yang terasa janggal. Bahkan tidak mungkin kalau kebetulan. Semalam aku bermimpi tentang almarhum Ayah. Perasaanku tidak enak. Aku perhatikan dahinya mengkerut, wajahnya muram dan kedua mata menatap dengan sayu. Sedih aku rasakan. Ada apa ya? Aduh, sebaiknya saya berpikir positif saja. Teringat kenangan saat aku di Sekolah Dasar, Tante sering mengobrol bersama Ayah di rumah.

Rumah sederhana dengan halaman kecil di depannya. Cat dinding rumah berwarna krem selaras dengan pagar cokelat. Ada sebuah patung Semar dekat dengan ruang tamu setinggi tubuhku saat itu. Warna tubuhnya kemerahan dan senyum bahagia terukir dengan baik. Mobil Kijang berwarna abu-abu kepunyaan Tante Karlina parkir di halaman rumah kami. Setiap aku pulang dari sekolah mereka berdua duduk di ruang tamu. Ada saja yang Ayah dan Tante bicarakan satu sama lain. Bahkan bukan hanya itu saja tak jarang sering beda pendapat. Ya, mungkin saja. Itu adalah tanda dari Ayah tentang Tante Karlina.

Kembali aku membaca sms itu menghempaskan segala pikiran negatif. Kedua mataku tampak nanar. Mulutku membisu. Sunyi menyelimuti diri ini selama beberapa detik. La ilaha Illallah, ucapku dalam hati. Doa-doa dariku melantun syahdu ke atas langit memohon kepada-Nya, agar diringankan segala penderitaan engkau rasakan selama ini. Untuk lebih tabah dan ikhlas dalam menjalani setiap masalah. Karena ini sudah ketiga kalinya Tante Karlina menjalani operasi di rumah sakit. Penyakit tersebut berkawan mesra tersimpan di dalam jiwa raga, hingga engkau lelah perlahan secara pasti menyusuri dalam tubuhmu.

Terdengar syahdu adzan Maghrib berkumandang merdu. Kabar aku terima dari Mas Surya bahwa Tante Karlina sudah selesai di operasi. Hatiku pilu berdetak pelan terasa. Kedua mataku tak lepas sedikitpun dari foto tersebut. Aku perhatikan wajahmu seksama, salah satu kedua mata telah diperban setelah operasi. Sangat jelas  aku melihat rasa kantuk di kedua kelopak mata Tante. Dengan umur senja ke enam puluh lima tahun, rasa-rasanya hal itu wajar terjadi.

Bahkan tubuh Tante seiring waktu berjalan semakin melemah. Lelah tak berkesudahan namun bukan dari faktor umur. Penyakit gula bersahabat dengan dirimu dalam waktu lama. Bahkan telah aku ketahui sejak remaja. Setelah Ayah meninggal saat aku berumur 16 tahun, ada suntikan insulin terbenam ke dalam tubuh Tante. Kita bertiga pernah tinggal bersama dengan Mas Surya, anakmu. Sekali lagi aku melihat foto yang dikirim olehnya kepadaku. Wajah Tante tampak layu. Ada rasa tak biasa tersimpan di dalam dadaku. Rasa penyesalan menyusuri dalam jiwa entah kapan akan berakhir.

Aku mengerti apa yang kuberikan nanti setelah lima tahun lamanya mungkin tidak cukup. Saya berharap dapat mengurangi balasan dahulu Tante pernah mendidikku. Memang diriku ini keras kepala menyusuri diriku. Setelah pernyataan tegas telah aku ungkapkan beberapa waktu lalu.

Malam ini aku sulit untuk menutup mata. Udara dingin tidak kuperdulikan lagi meski menusuk tulang-tulang di dalam tubuh. Bahkan acara TV tak kudengarkan dengan serius.  Aku melihat tapi pikiranku terbayang-bayang tidak pasti. Selama dua tiga hari ini, pikiran kembali berkecamuk tak kunjung selesai. Kenangan satu persatu kembali menari di udara. Teringat bagaimana saat dahulu kita pernah bersama sebagai satu keluarga.

 Di rumah beratap merah itu berdiri tegak pagar warna putih kelilingi rumah. Teringat jelas di kepalaku pohon sukun menjulang tinggi di bawah.  Halaman rumah itu meski tidak terlalu luas namun tanaman tertata rapi namun dua lantai.  Daun Pandan, daun Kunyit, bunga Kembang Sepatu dan bunga Terompet. Namun yang terutama Bunga Anggrek, bunga kesukaanmu. Iya, setiap beberapa tanaman bunga terletak di pot kecil tertata rapi di lantai dua. Setiap kenangan tersimpan menyusuri setiap sudut rumah saat tinggal bersama denganmu. Saya adalah anak didikmu, menyadari posisiku sebagai muridmu yang abadi. Sejak kepergian almarhum Ayahku saat aku berumur 10 tahun. Bahkan pikiran-pikiran terbenam di dalam kepala aku peroleh dari Tante dan Mas Yanuar.

Setelah bertahun-tahun lamanya aku tidak tinggal bersama dengannya lagi. Bukan berarti tak ada lagi penyesalan ketika tubuhmu mulai rapuh. Lama tak merekah dan segar seperti Bunga Anggrek itu. Dahulu bunga kesukaanmu kini tidak lagi temani seperti dahulu. Lima tahun aku dan adikku jalani, bekerja keras setiap hari menabung dengan susah payah. Akhirnya kami berdua berhasil membangun toko roti itu. Syukurlah, toko Roti ini selalu kedatangan pengunjung setiap harinya meski tidak terlalu ramai. Yang aku pedulikan hanya adikku dan bagaimana membngun toko roti tersebut.

 "Permisi, Mbak." Ucap salah seorang tamu membuyarkan lamunanku. Sepertinya ada sekitar tiga kali ia memanggilku. "Iya, Mbak." Senyumku ramah. Ada perempuan berdiri dengan wajah cemberut bahkan lipstiknya senada dengan blouse yang dikenakan. Rambutnya pendek sebahu dengan poni samping. Melihat dirinya kenakan blouse merah dengan renda di kerahnya dan rok pensil membalut kedua kaki. "Akhirnya Mbak dengar juga. Tambah segelas kopi susu lagi!" Katanya. "Baik, Mbak." Jawabku. Sekar yang memperhatikan tak jauh lalu berdiri di sebelahku. "Ada apa sih? Kok, Kakak beberapa hari ini sering melamun?" Tanyanya penasaran. Kedua tangannya sambil mengelap gelas mug.

"Tidak ada apa-apa. Tenang saja." Jawabku bohong. Ah, mana mungkin akau ceritakan ini kepada Sekar?. Sudah seminggu lamanya mendengar kabar dari Mas Surya tentang operasi katarak.

Masih saja seperti itu. Bayang-bayang tentang Tante Karlina saat kami tinggal bersama kembali terpatri dalam ingatan. Seperti pada hari-hari itu melihat Tante berdiri tegak saat menyiram tanaman bunga Anggrek. Sinar matahari tenggelam ke dalam pelukan bumi. Tante sudah bersiap menyayangi mereka sebagaimana dari anak-anakmu sendiri. Bahagia aku perhatikan syahdu melihat Bunga Anggrek dirawat dengan penuh kasih sayang. Maka wajah ceria terlihat jelas di tengah tanaman tropis tersebut. Saat matahari terbenam sekitar jam tiga sore Tante Karlina sambil berkata pelan iringi doa-doa kepada bunga Anggrek tersebut.

"Tumbuhlah bersemi merekah sempurna. Mekarlah wahai bunga anggrek, sesama makhluk hidup ciptaan dari-Nya dengan penuh keindahan." Langit warna biru merona dengan potongan kapas awan bertabuh rindu selimuti rumah dengan syahdu. Menanti dirimu saat memberi pupuk dan menyiram bunga secara teratur. Tante Karlina berhati-hati merawat tanaman bunga Anggrek dengan memperhatikan hal-hal kecil secara seksama.

Yang pertama merawat tanaman bunga Anggrek dengan menghindari sinar matahari secara berlebihan karena mengakibatkan daun-daun menguning seperti terbakar. Awalnya aku bingung mengapa tanaman yang indah itu kau tempatkan jauh dari sinar matahari secara langsung. Ternyata menghindari kerusakan parah yang akan terjadi nanti. Lalu jangan sampai tanaman bunga Anggrek tersebut terlalu banyak menerima kadar air karena dapat menghancurkan tanaman yang indah itu.

 Bukan itu saja kenangan saat kita bersama. Bahkan nasehat kau berikan bijaksana saat aku terluka. Hampir setahun aku mencari pekerjaan dengan susah payah. Bahkan Nabila sudah menyerah dalam mencari kerja. Tidak hanya itu saja pernah diriku ini lelah tak berkesudahan dalam menghadapi setiap malam kelam.

Membenci Tuhan karena ujian yang diberikan kepadaku tidak adil. Usahaku untuk mencari kerja berapa lama lagi harus lalui dengan susah payah? Penat mengitari kepalaku berharap cahaya terang memberikan jalan setiap langkah. Namun aku sudah putus asa.

 "Nabila, Mengapa engkau melupakan diri-Nya? Dia memberikan ujian bukan berarti melebihi kesanggupanmu. Jangan pernah lupakan hal itu." Katamu tenangkan jiwaku menari dalam keresahan. "Allah menciptakan kita untuk selalu membutuhkannya. Lima kali dalam sehari bertemu dengan-Nya dan engkau tahu kepada siapa menghadap? Dia adalah Sang Penciptadengan memohon kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, janganlah engkau tinggalkan tanpa pertolongan-Mu sekejap mata pun. Perbaikilah semua kondisiku. Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Bukankah itu doa-doa yang sebaiknya engkau katakan?" Nasihatmu dengan kedua mata menatapku.

Akhirnya aku baru mendapat pekerjaan setahun kemudian. Sejak itu tak pernah lagi aku tinggal bersama Tante Karlina dan Mas Surya. Setelah tinggal dan hidup bersama dengan adik perempuan bernama Sekar membuka toko Roti Lestari, nama Ibuku. Kami juga membuat kopi buatan sendiri untuk para pengunjung. Seminggu kemudian, aku melihat Mas Yanuar duduk dekat jendela kaca. Jari jemari tangan kanan mengetuk meja kayu perlahan. Secangkir teh hangat temani dirinya. Wajahnya tidak berubah. Pipinya tirus dan dahi lebar seperti biasa. Tubuhnya tidak berubah tetap kurus. Tingginya sepantaran denganku. Ada kumis tipis di mulutnya. Rambutnya juga tampak beruban. Di sela-sela rambut ikalnya berwarna hitam.

Tak ada yang berbeda darinya sejak dari dulu. Saat kami tinggal bersama. Kamu melihatku tersenyum tipis. Ah, itu kebiasaanmu. Kuberikan amplop putih kepadanya. "Ini untuk Tante Setyawati. Tolong jangan dilihat jumlahnya. Hanya ini yang bisa kuberikan, hatiku tulus." Ucapku pelan. "Aku tahu. Maafkan aku kalau selama ini telat memberitahu kabar." Balasnya. Nada bersalah tampak terdengar jelas. "Lalu ini untuk Mutiara, Makaroni bakar. Nanti tolong dipanaskan saat tiba di rumah, Ya." Kamu terdiam lagi. Menatap makanan beralaskan wadah alumunium foil dengan plastik kresek membalurnya. "Ya, Sudah. Jaga dirimu, Mas Yanuar." Ucapku sambil berdiri.

"Tunggu sebentar. Ini dari Tante Karlina untukmu. Sudah dipersiapkan dari jauh hari sebelum hari ulang tahunmu." Nabila  kaget melihat Mas Yanuar mengambil kotak kecil dari saku celananya. Kotak berwarna merah dengan hiasan  pita orange menyelimuti. Kedua bola mataku melihat dengan heran. "Ayo, Terimalah." Katamu tegas. Tanganku menyentuh kotak itu. Aku buka pitanya secara perlahan kurasakan tanganku gemetar saat merabanya. Tampak setangkai bunga Anggrek terlihat. Bros bunga warna hijau dengan mutiara di sisi kanannya.

Kami berdua saling bertatapan. Namun wajahku yang bingung terlihat dengan jelas. Sungguh ironi meski dirinya, Tante Karlina tampak layu. Tak disangka ada semangat tersimpan dalam dirimu. "Jangan sampai terlupakan," Bisik-bisik suaramu lirih terdengar. Dan senyum di wajahmu terlihat jelas kini di hadapanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun