Mohon tunggu...
lady  anggrek
lady anggrek Mohon Tunggu... Wiraswasta - write female health travel

Suka menulis, Jakarta, Blog: amaliacinnamon.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenangan di Malam Sunyi

18 Januari 2019   02:56 Diperbarui: 18 Januari 2019   03:05 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: luthfiizzaty.wordpress.com

Seorang perempuan tampak kebingungan. Berkali-kali jari jemari tangan menari di atas meja. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri. Dadanya berdebar-debar. Ada apa ini? Ia merasa ada seseorang yang mengawasi. 

Dia berpikir ada yang memasuki rumahnya secara diam-diam. Bukan hanya itu saja juga terdengar suara berbisik pelan di dalam rumah. It might just a dream. 

Tapi entah kenapa hal itu terjadi secara nyata. Ia selalu mengalami setiap hari. Bukan hanya itu saja terdengar suara orang berjalan kaki di dalam rumah. Aku yakin mendengarnya, Ucap Ana dalam hati. 

Padahal bertahun-tahun aku tinggal disini bersama Bapak. Tak pernah ada kejadian seperti itu. Namun kenapa terjadi berulang kali kini?

 Rumah lapang itu hanya ditempati oleh dua orang. Satu rumah dengan tiga kamar. Dua kamar pribadi Ana dan Bapak. Kamar mereka berdua bersebelahan. Dan satu kamar untuk ruang tamu. Rumah dengan dinding cat kuning serta pagar warna biru kesukaan Bapaknya. Lelaki berumur senja tersebut rajin menyiram dan merawat bunga di halaman rumah. 

Bunga kembang sepatu, mawar merah dan bunga terompet. Kuncup-kuncup bunga mekar di halaman. Menari lembut semilir angin berhembus perlahan.Aduh, kini Bapak tersenyum bahagia saat menyiram bunga. 

Perempuan muda dengan rambut sebahu berwarna hitam itu memperhatikan lagi. Dia berdiri memperhatikan Ayah kandungnya dengan seksama. Setelah itu ia beristirahat meminum segelas teh hangat di kursi goyang kesayangannya.

Lalu terdengar lagi suara. Brakk... Brakk...Brakk... Ana tidak mengerti ia sudah mengunci jendela dan pintu. Bahkan seluruh ruangan di dalam rumah tersebut sudah diperiksa berkali-kali. Namun tetap saja terdengar  suara orang  berada dalam rumahnya. Tapi Bapak selalu berkata, "Tidak apa-apa, Ana." Katanya. "Di rumah ini hanya ada kita berdua." Ucapnya tersenyum ramah. 

Kini sambil minum teh dia sedang menonton televisi. Kedua pandangan matanya serius memperhatikan berita pagi hari kesukaannya.  Tak sengaja bola mata Ana hitam pekat melihat kamar mandi dekat ruang tamu. Firasat Ana tidak enak setiap melihat kamar mandi itu Ah, rasanya harus sering dibersihkan.. Entah kenapa Ana berpikir kalau kamar mandi itu selalu kotor dan selalu membuatnya gelisah.

Terkadang di akhir minggu, kawan-kawan Bapak berkunjung ke rumahnya. Tidak hanya mengenang masa lalu dan sekedar bertukar pikiran semata. Bapak dan kawan ternyata miliki rencana untuk membangun sekolah di daerahnya, Wonogiri. 

Dia memang berbeda meski sudah memasuki umur sepuh peduli dengan masalah pendidikan. Karena Bapak dulu pernah bekerja sebagai Rektor di Universitas Gajah Mada. Aduh, sungguh beruntung Ana dan bersyukur miliki Ayah kandung seperti dirinya. Karena berkat ilmu pengetahuan dan wawasan darinya, Ana bisa menjadi dosen pembimbing di salah satu universitas.

Esok pagi hari, Ana terbangun seperti biasa. Dia sedang membuat secangkir teh panas dan menyiapkan sepiring potongan buah pir. "Selamat Pagi Bapak." Ucapnya sambil mengetuk pintu kamar. Namun tidak terdengar suara dari dalam kamarnya. Tangan kanannya berkali-kali mengetuk kamar. "Bapak .... Selamat Pagi, Bapak! ..." Kata Ana pelan. 

Kok tidak ada suara balasan? Lalu Ana perlahan membuka pintu kamarnya. Wajahnya bingung. Kamar Bapak kosong. Ke mana dia pergi? Kedua langkahnya berlari ke sana kemari. Mencari Bapak di seluruh ruangan. "Bapak ... Bapak dimana!" Teriak Ana lantang.

Namun hening menemani Ana selama mencari Bapak. Apakah yang terjadi? Dia membuka pintu depan rumah, rambutnya yang panjang di kuncir kuda bergoyang kencang. Tidak ada! Suasana rumah terasa sunyi. Namun kedua matanya mencari tubuh Bapak di dalam rumah. Tidak ada. Aduh, ke mana Bapak pergi? Dia tidak menemukan tubuh Bapaknya. 

Lalu Ana terus mencarinya ke ruangan lain. Berlarian kesana kemari. Dia tidak temukan juga Bapak di kamar.  Wajahnya panik. Hatinya gusar. Bahkan ia tidak perdulikan dengan kedua kakinya yang kecapekan terus mencari Bapak. Selama ini mereka tinggal berdua. Lalu kemana Ayahnya berada? Selang beberapa menit Ana mendengar suara Bapak memanggil-manggil namanya. 

Dia melihat tangan kanannya melambai kepada Ana. Tersenyum ramah seperti biasa. Ah, senyum itu kemanakah akan pergi? Bukankah sudah di rumah ini tujuan kita hidup bersama.

 "Ana kemarilah.. Ini Bapakmu." Suaranya. Itu suara Bapak. Dan aku selalu menyayanginya selama hidupku. "Ana minta maaf, Bapak! Tolong jangan pergi tinggalkan Ana!" Katanya pelan. Firasatnya tidak enak. Gelisah menyelimuti jiwanya. Ia mengikuti bayangan Bapak semakin menjauh ke arah cahaya itu. Suara Bapak berulang kali berkata sama," Ana, Bapak sayang kepadamu." Tiada berhenti. 

Namun punggung Bapak pergi semakin menjauh darinya. Hatinya pilu. Jantungnya berdetak lamban karena ingin kembali seperti dahulu. Lalu perasaan apakah ini? Penyesalan apa yang telah terjadi dan tersimpan erat di dalam dadanya? Bayangan punggung Bapak berjalan semakin menjauh dan langkah kaki terdengar pelan. Kegelapan menenggelamkan tubuhnya. "Bapak mau kemana? Jangan tinggalkan, Ana!" Teriak Ana semakin kencang.

Tiba-tiba suara langkah kakinya berhenti. Ia berdiri di depan makam. Namun yang membuatnya tidak dapat dipercaya adalah nama Bapaknya tertera disitu. Muhammad Fikri Irawan. Lahir 11 Juni 1954. Meninggal Tanggal 08 Maret 2018. Lho, Sekarang bukankah bulan Desember? Berarti Bapak sudah meninggal 10 bulan yang lalu. Ana tidak percaya! Bukankah Bapak masih hidup? Kenapa ada kuburan atas nama Bapak disini? Pikiran-pikiran itu berkecamuk di dalam kepalanya. Dia berusaha memahami ini semua. Namun apakah ini benar terjadi? "Assalammualaikum, Mbak. Apa kabar Mbak Ana?" Katanya.

 Berdiri seseorang lelaki berumur senja. Ia kenakan Peci dan baju Koko. Sepertinya dia pengurus kuburan. "Mbak Ana lupa dengan saya? Saya Pak Cipto, Penjaga makam Bapak Fikri." Diperhatikannya bapak tersebut. Yang kenakan baju koko dan sarung. ada peci berwarna gelap dipakainya. Apakah mungkin? Tangan Ana menyentuh kepalanya sendiri. Dia merasakan kalau kepalanya pusing. Semua bergerak terlalu cepat. Bahkan dadanya terasa berat. Ada yang ganjil disini.

"Tidak mungkin! Saya tidak percaya kalau Bapak sudah meninggal." Ucapnya lagi. "Semua orang berkata kalau Bapak sudah meninggal. Hal itu tak mungkin terjadi. Selama ini saya selalu bersama dengan Bapak saya. " Katanya tegas. "Mbak Ana, Saya minta tolong istighfar ya. Tolong relakan Almarhum Bapak dengan ikhlas. 

Apapun yang terjadi. Itu bukan kesalahan, Mbak Ana." Katanya lagi. "Kesalahan?" Katanya bingung.  Kedua kakiku rasanya lemas. Kedua bola matanya mencari pembenaran. Apa yang sudah kulakukan hingga Bapak meninggal? Katanya dalam hati.

"Mbak Ana meninggalkan Bapak seorang diri di rumah. Hingga kepleset di kamar mandi, Mbak." Katanya pelan. Degg... Bagai disambar petir di siang bolong. Aduh, Sungguh hal itu tidak mungkin terjadi. Saya tidak percaya. Pak Cipto pasti berbohong. Ia pasti berbohong. Saya tidak percaya hal itu. Kata-kata itu mengitari kepalanya. "Istirahatlah, Ana." Tiba-tiba teringat kata-kata Bapaknya. "Tolonglah kamu beristirahat, Ana. Sudah lama Bapak lihat kamu bekerja terlalu keras." Katanya pelan. Lelaki dengan rambut yang sudah memutih itu menatapnya resah. Hatinya tidak tenang. Berkali-kali Ana bolak-balik keluar kota menjadi pembicara di berbagai kampus.

Bapak khawatir akan terjadi sesuatu dengan dirinya. Kedua matanya layu melihat anak semata wayangnya pergi. Meninggalkannya seorang diri. "Ada apa, Bapak? Semua akan baik-baik saja, Kok." Katanya sambil bersiap-siap. Sudah cukup semuanya. Satu tas koper besar. Dan satu tas selempang untuk pertemuan nanti. Batin Ana dalam hati. "Sudahlah, Bapak. Wajahnya jangan muram seperti itu. Ana dua hari lagi sudah balik, Kok." Ucapnya terakhir kali kepada Ayahnya.

Bapak memperhatikan anak perempuannya semakin menjauh. Dia melihat kalender di dinding. Menatap dengan wajah sendu. Mungkin firasatnya benar. Akan terjadi sesuatu hal yang buruk. Dan hal itu terjadi dengan tepat. Tiga jam sebelumnya, Bapak sudah tergeletak tak berdaya. Di kamar mandi dekat ruang tamu. Tubuhnya terbaring ke arah samping. Tangan kanannya sambil memegang dada. Wajah Ana kaget. Dia berteriak memanggil Bapak berkali-kali. Meski ia sudah memanggil ambulans namun semuanya telah sia-sia.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, pihak medis tidak menemukan denyut nadi Bapak bergerak. Dan kedua matanya telah tertutup rapat seperti tertidur lelap. Namun dia tidak akan terbangun lagi. Ana tidak akan lagi melihat senyum sederhana Bapak mengembang setulus hati. Sejak hari itu ia menyesal. Ana selalu menyalahkan dirinya sendiri. Ini semua salahku. Semua salahku. Kata-katanya dalam hati. Namun yang paling memberatkan dirinya ketika Bapak meninggal di hari ulang tahunnya.

Sejak hari itu ia terus berkata Bapak masih hidup. Ana masih tidak percaya kalau Ana kini hidup seorang diri. Pikirannya berkecamuk kencang. Kalut dan resah.. Kepergian Ayahnya tak membuatnya berdiri tegak seperti dahulu. Penyesalan membawanya kepada imajinasi yang Ana buat sendiri. Maka ia mengurung diri dari lingkungan dan kawan-kawan. 

Mereka berulang kali menghibur namun Ana masih tetap keras kepala. Terkadang suara pintu dan bisik-bisik orang dalam rumahnya adalah suara kawan dan kerabat yang berkunjung temaninya satu persatu.

"Tidak, Bapak jangan tinggalkan Ana!" Teriak Ana meraung di atas kuburan Bapak. "Maafkan Ana, Bapak! Ana minta maaf! Seharusnya saya tidak meninggalkan Bapak seorang diri!" Pak Cipto terdiam mendengar tangisan Ana. Wajahnya menunduk pilu. Dan bayangan matahari memayungi Ana dengan sinar yang menghangatkan.

 "Sudah Ya, Mbak. Tolong diikhlaskan kepergian Bapaknya Ana. Semuanya sudah suratan takdir dari Tuhan." Ia memperhatikan tubuh Ana yang kotor berpelukan di atas kuburan. Kotoran tanah dan bunga menempel pada bajunya.

Dia menangis kencang di atas pusara Bapaknya. Penyesalan yang terjadi selama ini, apakah mungkin dapat terulang kembali? "Sabar Ya, Mbak Ana. Tolong Istighfar." Ucapnya pelan. "Tolong direlakan ya, Mbak Ana." Katanya lagi. Ana berdiri pelan sambil sesenggukan. Ia berharap waktu bisa diputar kembali. Dan sekarang kedua kakinya berjalan menuju rumah. Seorang diri.

Ana kini sering terbangun malam, untuk melaksanakan sholat Tahajud. Dia tidak bisa mengembalikan waktu yang tidak mungkin di putar lagi. Pada malam yang sunyi, Ana terus merapal doa untuk almarhum Bapaknya. 3 bulan lamanya sejak kejadian tersebut. Semilir angin malam menari perlahan menyelimuti Ana di dalam kamar. 

Dia membutuhkan bantuan dari-Nya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Kini penampilannya berbeda. Ada kerudung berwarna jingga membalut kepalanya untuk masa depan lebih baik. Serta busana lengan panjang menyelimuti tubuhnya.

Ia terbangun dan berjalan keluar dari kamar. Kedua mata memperhatikan kamar Bapak telah lama tertutup dan terasingkan selama beberapa waktu. Kamar itu telah berbeda. Ada banyak lukisan ayat Al-Quran terletak rapi di kamar itu. Lukisan dengan warna berkilauan dan memukau seperti warna pelangi di pagi hari. 

Bahkan para keluarganya juga memberikan saran untuk menyelenggarakan pameran lukisan nanti. Ana tersenyum sederhana membalas jawaban mereka. Dia merasa baikan. Meski belum sembuh secara sempurna.

Tangan kanannya menyentuh meja kerja Bapak. Meja kerja dengan pinggiran kayu mempercantik meja tersebut. Dia terduduk di atas kursi kayu jati warna kecoklatan. Kedua mata memperhatikan dengan seksama. Ada sebagian  barang yang pernah digunakan olehnya masih tersusun rapi. Sebagian barang lain di ambil oleh kerabat dan diserahkan ke masjid. 

Kenangan lama di malam sunyi tentang Bapak hingga kini masih bersemayam dalam benaknya. Pada tengah malam doa-doa melayang ke atas langit. Bersemayam pada bintang-bintang bersinar di malam hari. Bukan untuk Ayah kandungnya semata. Melainkan juga untuk dirinya sendiri. Telah membuat menyesal terlalu lama hingga kehilangan arah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun