Mohon tunggu...
lady  anggrek
lady anggrek Mohon Tunggu... Wiraswasta - write female health travel

Suka menulis, Jakarta, Blog: amaliacinnamon.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selamat Tinggal Senja

17 Juni 2018   04:34 Diperbarui: 17 Juni 2018   05:50 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://dreamfile.wordpress.com

Selamat Tinggal Senja

Engkau menatap roda pesawat mulai bersatu secara perlahan ke dalam burung besi. Kedua mata terlihat tampak pilu. Dahimu mengkerut. Bahkan engkau lupa sesaat apa tujuan kepergianmu. Kedua tanganmu bersatu. Enggan melepaskan satu sama lain.

Bayangan seseorang menyelimuti dirimu pada kekosongan pilu. Langit biru dan kapas putih membentuk awan pulau kecil tiada menyenangkan dirimu. Keputusan apa yang telah aku lakukan? Takdir apa yang membawaku di dalam pesawat ini? Oh, Ternyata. Pikiran-pikiran itu berkecamuk di kepalamu.

Wajahku memperhatikan lagi wajahmu secara saksama. Kedua mata itu menutup perlahan. "Keresahan ini, saya mohon berlalulah sudah berlalulah seiring kepergianku untuk pencarian jati diri di sana. Inginku melupakan sejenak. beban-beban bertumpu pada diriku selama ini sebelum keberangkatan. Dan seseorang telah kutinggalkan. " Hahh... Tidak disangka pada akhirnya engkau memikirkan diriku juga. Apakah engkau tak ingin melupakan saja kenangan menyakitkan tersebut? Dihancurkan oleh sahabatmu sendiri.

Menghancurkan jati dirimu sebagai seorang perempuan. Meski kedua orangtuamu menentang keputusan yang telah kau buat secara sepihak. Ke negara Palestina tujuan hidupmu berada. Meski situasinya semakin memburuk.

Tak tahukah? Padahal aku miliki harapan agar masa lalu kelam itu memudar perlahan namun pasti. Bersama denganku menikmati senja, kita duduk bersama, menyusuri setiap harumnya aroma kopi merebak sunyi.

Namun tetap saja engkau bersikukuh. Kuperhatikan seksama syal kain Palestina membalut kepalamu. Wajahmu kembali menunduk dan kedua tanganmu memegang sebuah buku berisi ayat Al-Quran. Tentu saja kumengerti. Kau tidak ingin memperlihatkan bahwa kau terbaik dalam beribadah. "Aku merasa nyaman hanya itu saja." Katamu pelan.

Terkadang aku sering bertanya kepada dirimu sendiri. Apakah hatimu masih terasa berdebar? Pada hari itu saat kita berdua bertemu. Dua orang manusia. Saling bertatapan satu sama lain. Dan senyum sederhanaku menyusuri wajahmu menunduk malu dengan pipi kemerahan.

Bahkan engkau berusaha berbicara kepadaku. Suara-suara keluar dari bibirmu dengan nada lembut kau utarakan.  Bahkan langit pun bersinar cerah di hari itu. Dan tidak hanya itu saja rintik hujan membasahi tanah menambah kemesraan kita berdua. Suara-suara rintik hujan syahdu berdendang lugu.

Ya, diriku ini bekerja sebagai pemandu wisata di Kota. Tanpa sengaja bertemu denganmu. terutama dengan aroma kopi Espresso kau hirup perlahan Itu ritual khusus darimu. Yang tidak akan pernah kulupakan.

Ah, Mungkin terlambat sudah untuk engkau ketahui apa yang terjadi dengan keadaanku. Jiwaku ini telah berubah. Tak seperti engkau lihat seperti biasa.

Namun kenangan antara kita berdua pada setiap percakapan di Kafe Langit itu menyusuri sisi-sisi ruangan membekas dalam ingatan. Tersimpan erat bahkan terkunci sempurna tentangmu. Namun pikiran-pikiran di dalam kepalaku berkerumun menari dengan liar. Meresahkan jiwa. Membuat dada ini sesak. Apakah ini takdir pertemuan kita?

Kini wajahmu memperhatikan langit biru dari balik jendela pesawat. Kedua mata itu tampak sayu. dan untuk kesekian kalinya aku berharap engkau bersama denganku. Membatalkan kepergianmu ke sana denganku melihat keindahan senja.

Merah kuning membara tetapi tetap santun. Senja muncul saat matahari terbenam. Meninggalkan dunia dengan kehangatan dan sinar matahari bercahaya. Bergantian kegelapan malam yang diiringi bintang-bintang dan bulan purnama. Namun katamu sungguh tidak disangka, "Biarkan aku seperti ini. Berjalan menuju riak-riak perjalanan seorang diri." hatiku terluka. Tersayat-sayat perih. Sungguh ironi harapanku punah. Untuk bersama denganmu.

Telah kau tinggalkan senja, tanah air, dan yang terpenting diriku seorang. Mengapa kamu masih menyimpan masa kelam itu? Kegelapan terbenam dalam pikiran dan jiwamu menyiksa secara perlahan. Tiada yang menghilangkan semangat yang berkobar dalam dirimu. Meski Mutiara tidak menyadari miliki harapan kesempatan kedua.

Iya, namamu adalah Mutiara. Walau kulitmu tidak terlalu berkilauan seperti mutiara di tengah laut biru terbentang luas. Namun tak mungkin aku menghilangkan kenangan saat kita bersama. Di Kafe Langit temaniku setia menikmati senja. Bingkai kacamata menghias wajahmu. Aku terdiam cukup lama setelah kepergianmu. Seakan sebagian jiwaku hilang entah kemana. Tentu saja sungguh mustahil menggenggam dirimu terlalu erat.

Tiada yang menemani. Tiada kata yang dapat kuungkapkan. Kamu berjalan seorang diri dalam pesawat ini. Namun Mutiara tak melihat kecelakaan, yang menimpa diriku hingga bersamamu saat ini. Sejak kepergianmu di hari itu. Tubuhmu tak lagi bersamaku. Berjalan melintas waktu pada tujuan yang memilukan.

 Pandanganku menengadah ke atas. Melihat keluar jendela. Berharap ini semua segera berlalu. Matahari sore hari bersinar teduh menyusuri langit biru. Tanpa sadarkan diri aku berjalan menuju pintu. Masih tergiang kata-katamu tadi. Kedua kaki ini berjalan sendiri. Menikmati langit setelah hujan turun.

Mengaduh kencang dalam hatiku. Kepada langit aku kembali bertanya apa yang akan terjadi setelah tidak ada dirimu. Kepada rintik hujan yang berkunjung tiada letih. Berkecamuk perasaan entah kapan berhenti. Terakhir kudengar suara orang-orang berteriak keras memanggilku. Serta wajah-wajah panik khawatir apa yang terjadi kepadaku kemudian nanti. Tubuhku dihempaskan dengan keras oleh mobil itu.

Kini aku tersadar bagaimana kejadian itu terjadi. Meski masih terngiang kata-kata yang kau ucapkan pergi ke Palestina. Inginmu membantu mereka mengurangi penderitaan.

Karena kamu menyadari darah-darah para pejuang di sana berakhir sia-sia. Anak-anak menjadi yatim. Para istri telah menjadi janda. Para suami dan saudara laki-laki meninggalkan keluarga tanpa pemberitahuan pasti. Darah-darah merah tergenang di tanah itu untuk tujuan mulia.

 Menenggelamkan mereka membasahi tanah air Palestina dengan darah dan nyawa tiada henti. Nada katamu kuat namun masa lalu kelam membekas terlalu dalam. Hingga kau berlari ke sana untuk melupakan kenangan menghitam.  Sesungguhnya itulah tujuanmu.

Kini disinilah kita berdua berada dalam satu pesawat. Seorang lelaki berada di sampingmu tanpa kau sadari. Jiwa yang telah rapuh meninggalkan tubuhku tanpa kuketahui di mana berada. Inginku selalu temani dirimu ke mana saja.

Bahkan Mutiara tidak ketahui kabar kematianku setelah kepergianmu ke bandara. Bukan hanya engkau saja yang mengucapkan selamat tinggal pada senja. Begitupun juga dengan aku. "Astaghfirullah... Astaghfirullah... Firman, Maafkan aku." Katamu menyebut namaku pelan. Dan air matamu perlahan menyusuri wajahmu. Pada akhirnya kita bersama menikmati senja, bukan? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun