Mohon tunggu...
Zainul Kutubi
Zainul Kutubi Mohon Tunggu... Administrasi - Menceritakan sesuatu lewat tulisan

Suka menulis puisi di tumblr: tulisanzainn.tumblr.com | ig: @zkutubi | twitter: @Al_kutub | Email: Al_kutub@ymail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Manusia, Media Sosial, dan Keretakan Berkomunikasi

6 Desember 2019   23:54 Diperbarui: 7 Desember 2019   18:56 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Yaelah gitu aja baper" atau "alay lu baperan jadi orang". Mungkin di antara kalian ada yang pernah mendapat pesan singkat di media sosial seperti itu, entah itu dari teman, kerabat, ataupun saudara dll.

Kemajuan era digitalisasi yang tumbuh dengan cepat seringkali mengabaikan etika dan tatakrama dalam berkomunikasi melalui aplikasi chatting.

Kalimat "Yaelah gitu aja baper" atau "alay lu baperan jadi orang" itu muncul dari si pengirim pesan atas reaksi ketidaksukaan kita terhadap kalimat ataupun pesan sebelumnya, yang menurut kita kurang tepat diucapkan ataupun mengandung hal-hal yang tidak etis.

Contoh sederhana, ketika si pengirim pesan mengirim kata-kata yang kurang baik atau tidak sopan, sontak kita sebagai penerima pesan meresponnya dengan teguran. 

Namun, banyak kasus yang sering terjadi si pengirim pesan malah marah-marah ataupun balik menegur dengan kalimat "Yaelah gitu aja baper" atau "alay lu baperan jadi orang".

Contoh di atas baru-baru ini saya rasakan. Sebenarnya sedari era penggunaan bbm yang masif digunakan sebagai media mengirim pesan singkat, dalam satu dasawarsa yang lalu. Berbagai pesan-pesan singkat yang tak pantas mulai menghiasi gawai pribadi kala itu.

Namun, keresahan dan kegelisahan atas kata-kata yang tak pantas itu menjadi-jadi di tahun 2019 ini, ketika saya mendapat pesan dari seorang teman " yaelah tampang kayak lu begitu banyak di pasar malam, seribu serauk". 

Narasi tersebut secara tidak langsung mendiskreditkan kewibawaan seseorang, yang pada akhirnya menjustifikasi dan memojokkan orang lain, seolah-olah orang lain lebih rendah dari dirinya.

Merendahkan seseorang  dengan mengklasifikasikan status sosial seseorang berdasarkan kacamata materilisme, mungkin terasa enteng bagi si pengirim pesan. Namun, bagi si penerima pesan? bisa menjadi hal yang menyakitkan.

Pesan itu berulang kali saya terima dari orang yang sama, tak terhitung banyaknya. Namun, poin pentingnya ialah ketika saya mencoba mengkritik dan menasehati bahwa kata-kata tersebut tak pantas untuk dijadikan bahan candaan, tanggapannya acap kali merendahkan.

Jangankan meminta maaf atau mengakui penyesalannya, responnya justru kata-kata yang tak pantas pula. "Yaelah sensitif lu kayak pantat bayi" atau kalimat yang tak pantas sejenisnya.

Ironis memang, seorang yang saya kenal berpendidikan tinggi justru tidak dapat membedakan antara humor, lelucon, atau anekdot dan tatakrama dalam bermedia sosial.

Apakah kualitas Ilmunya tergerus oleh defisit akhlak dan kepribadiaannya?, atau gelar pendidikan yang diraihnya hanyalah formalitas belaka demi membahagiakan kedua orangtuanya? Entahlah, semoga kau dapat berubah teman.

Contoh lain, di waktu yang berbeda saya pernah mendapat pesan di grup whatsapp "nyet dimana lu?" atau "woy njing jadi gak nanti". Beberapa kali saya menghelakan nafas ketika membaca pesan-pesan singkat yang seperti itu. 

Bukankah yang membedakan hewan dan manusia adalah akalnya? lalu apakah pantas manusia yang mempunyai akal menjadikan jenis binatang sapaan hangat atau panggilan kepada sesama pengguna aplikasi chatting? Apapun alasannya, itu merupakan ketidakpantasan dalam bermedia sosial.

Bukankah setiap perkataan adalah doa? lantas apakah kita sudi jika disamakan dengan hewan? Iya atau tidaknya, merupakan manifestasi dari diri kita masing-masing.

Mungkin sebagian dari meraka ada yang menganggap wajar, karena dalih pertemanan atau persahabatan yang begitu kental. Namun, bukankah falsafah dari pertemanan itu menjadikan hidup lebih bermakna, dan meningkatkan kemampuan kita untuk bertindak dan berfikir?.

Bagi mereka yang telah terbiasa melakukan atau membalas pesan singkat dalam bermedia sosial seperti dua contoh kasus di atas, mungkin mereka ikut terbawa arus buruk dari lingkungan sekitar, atau karena memang sudah terbiasa diterapkan di lingkungannya.

Atau sebaliknya, lingkungannya tidak seperti itu. Mungkin dengan keterbiasaan buruknya seperti itu, mereka membawanya pada lingkungan baru di sekitar kita dan teman-temannya, karena faktor buruknya kepribadian dan kerendahan akhlaknya.

Masifnya ketidaksopanan dalam berkomunikasi melalui media sosial juga  erat kaitannya dengan pendidikan. 

Pendidikan pada dasarnya sebuah proses untuk mengubah mentalitas, integritas, dan intelektualitas. Selama paradigma pendidikan seseorang masih berorientasi pada hasil dan nilai saja, jangan kaget jika moralitasnya terabaikan.

Pada kasus demikian sering saya memberikan masukan dan menjelaskan bahwasanya hal-hal yang seperti itu sebaiknya jangan dilakukan, karena pola pikir dan karakter tiap orang berbeda-beda.

Ada yang langsung tidak suka ketika menerima pesan seperti itu, atau ada yang menganggap biasa karena memang faktor keterbiasaannya, atau mungkin ada yang tidak suka. Namun, ia tidak mengungkapkan kepada si pengirim pesan, karena tidak enak hati ataupun malu megungkapkannya.

Kedua contoh kasus tersebut mungkin pernah kalian rasakan, dengan latar belakang yang berbeda. 

Tentu banyak respon yang berbeda-beda pula dari si pengirim pesan, ada respon langsung meminta maaf atau berkali-kali dinasehati baru mau meninta maaf, ataupun ada juga yang tidak ingin mengakui kesalahannya dengan berminta maaf.

Dewasa ini saya merespon ha-hal seperti itu dengan sebuah sarkasme. Ketika ada teman yang telah dinasehati dan berkali-kali pula meminta maaf. Namun kesalahann yang sama tetep diulangi dengan kata-kata tak pantas di tiap pesannya.

Kemudian cukup saya membalas dengan elegan. "Kalau kata "maaf" hanya sebuah retorika saja, atau hanya formalitas belaka saja. Di mana fungsi kata "memaafkan", yang ternyata hanya sia-sia belaka?"

Atau ketika kita menasehati seseorang dengan bahasa yang cukup sopan, kemudian responnya ialah "yaelah bahasa lu terlalu tinggi". Cukup kita balas dengan elegan pula "bukankah selera humormu lebih tinggi? dengan selalu mendiskreditkan orang lain melalui kacamata subjektifitasmu?"

Pada akhirnya komunikasi manusia dengan manusia lainnya melalui media sosial tidak bisa dilepaskan, interaksi antar pengguna aplikasi pun  berjalan tiap harinya. 

Namun dewasanya seseorang bisa dilihat dari kebijakannya berkomunikasi dengan tidak menyinggung orang lain yang bisa meretakkan hubungan antar sesama.

Slipi, 6 Desember 2019

00:45 Wib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun