Pemerintah menyalakan mesin pertumbuhan dengan menyuntikkan Rp 200 triliun dana negara ke enam bank pelat merah. Seperti menuang bensin ke tangki, langkah ini dimaksudkan agar roda ekonomi berlari lebih kencang, menembus target 6--7 persen dalam lima tahun. Namun, setiap akselerasi butuh rem. Tanpa kendali, bensin yang semula jadi tenaga bisa berubah menjadi bara.
Bensin untuk Pertumbuhan
Tiga hari setelah pelantikan, 11 September 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meluncurkan kebijakan penempatan dana Rp 200 triliun ke bank-bank HIMBARA (Himpunan Bank Milik Negara): Mandiri, BNI, BRI, BTN, dan BSI. Mesin ekonomi Indonesia seolah digaspol. Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan 6--7 persen, jauh di atas capaian 5,1 persen. Pertanyaannya: apakah bensin fiskal ini cukup membawa kita melesat, atau justru membuat kendaraan ekonomi limbung karena rem stabilisasi tak lagi kuat menahan laju?
Langkah Menteri Keuangan ini jelas ekspansif. Dana jumbo ditempatkan di bank milik negara agar segera dikonversi menjadi kredit murah. Logikanya sederhana: biaya dana (cost of fund) turun, bunga kredit ikut turun, dan pelaku usaha terdorong meminjam. Permintaan domestik bergerak, lapangan kerja tercipta, pertumbuhan terdongkrak.
Namun sejarah mengingatkan, likuiditas bukan obat mujarab. Kredit hanya akan mengalir bila ada proyek produktif yang siap dibiayai. Jika tidak, dana ini hanya akan menggembungkan neraca bank tanpa benar-benar menggerakkan ekonomi riil.
Rem untuk Stabilitas
Berbeda dengan "bensin" fiskal, Bank Indonesia berperan sebagai rem darurat. Instrumen moneter seperti Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) atau burden sharing saat pandemi adalah upaya menjaga stabilitas, bukan menambah pertumbuhan.
Injeksi fiskal tanpa kontrol berisiko meningkatkan rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) dan menekan APBN. Sebaliknya, moneter yang terlalu longgar; dengan suku bunga rendah dan likuiditas berlimpah, bisa memicu inflasi dan melemahkan rupiah. Di sinilah keseimbangan menjadi kunci: mesin butuh kemudi dan rem yang kuat.
Inilah dilema klasik kebijakan ekonomi. Setiap kali pemerintah menggelontorkan dana besar tanpa kendali yang memadai, beban utang menumpuk, rasio utang terhadap PDB merangkak naik, dan ruang fiskal dalam APBN semakin menyempit. Bensin yang diharapkan menggerakkan mesin justru bisa membakarnya.
Sebaliknya, moneter yang terlalu longgar memang membuat kredit mengalir dan investasi bergerak. Tapi uang yang beredar terlalu banyak bisa mendorong inflasi, sementara investor asing memilih hengkang mencari imbal hasil lebih tinggi di negara lain. Akibatnya, rupiah tertekan.
Karenanya diperlukan keseimbangan. Ekonomi adalah mesin: untuk melaju butuh bensin (fiskal) dan gas (moneter). Tapi tanpa kemudi (kontrol arah kebijakan) dan rem (instrumen pengendali risiko), laju kencang bisa berakhir di jurang. Singkatnya: fiskal perlu ekspansif tapi disiplin, moneter perlu akomodatif tapi terukur.
Â
Membaca Kebijakan dengan Kacamata Teori Akademik
Dari perspektif Keynesian Economics, stimulus fiskal mendorong permintaan agregat. Tetapi, teori Crowding Out mengingatkan bahwa ekspansi fiskal tanpa arah bisa menekan sektor swasta, menciptakan distorsi.