Mohon tunggu...
Kusworo
Kusworo Mohon Tunggu... Penjelajah Bumi Allah Azza wa Jalla Yang Maha Luas Dan Indah

Pecinta Dan Penikmat Perjalanan Sambil Mentafakuri Alam Ciptaan Allah Swt

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filsafat 2 Menit by Mr.K : Apakah Demokrasi Itu Selalu Adil?

31 Agustus 2025   10:51 Diperbarui: 31 Agustus 2025   10:59 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibn Khaldun Filsuf Muslim Terkenal | Sumber : detik.net.id

# Rubrik Filsafat Populer : Edisi ke-3

Demokrasi kerap kita rayakan bak panggung besar pesta rakat, di mana suara rakyat menggema dan janji keadilan ditabuh laksana genderang. Namun di balik gemerlap pesta suara itu, kerap tersisa ironi: wakil rakyat sibuk menata singgasana kenyamanan, sementara rakyat; sumber sejati kedaulatan, masih mencari secercah kepastian hidup. Maka pertanyaan pun menyeruak: benarkah demokrasi selalu adil, atau justru ia hanyalah cermin yang memantulkan seberapa jauh kita sanggup menjaga amanah kuasaan yang di terima?

 

Apakah Demokrasi itu Selalu Adil?

Kita hidup di zaman ketika demokrasi dianggap sebagai standar emas dalam bernegara. Pemilu dirayakan bak pesta rakyat, keputusan rapat dikunci dengan voting, dan mayoritas suara dipandang sebagai wajah keadilan itu sendiri. Namun, apakah benar demokrasi selalu sejalan dengan makna adil yang kita dambakan? Pertanyaan ini kian relevan ketika kita menyaksikan banyak keputusan politik yang mengatasnamakan rakyat, tetapi justru melukai sebagian rakyat itu sendiri.

Lihatlah situasi terkini di tanah air. Para anggota DPR yang sejatinya hanyalah "karyawan" rakyat; datang dan dipilih dari suara rakyat dan digaji dari pajak yang makin hari makin mencekik hampir semua lini kehidupan; yang kini menempel di hampir setiap sendok nasi dan setetes bensin, justru sibuk memperjuangkan fasilitas mewah, tunjangan fantastis, dan hak-hak istimewa.

Ironisnya, saat rakyat sedang berjuang dengan kenaikan harga, ketidakpastian kerja, dan beratnya ongkos hidup, mereka yang duduk di kursi kekuasaan justru asyik menambah kenyamanan hidup sendiri. Apakah ini wajah sejati demokrasi? Ataukah hanya topeng yang membungkus ego segelintir elite?

Dalam kerangka kedaulatan rakyat. Jean-Jacques Rousseau mengingatkan bahwa kekuasaan asalnya ada pada volont Gnrale; kehendak umum yang diwakilkan untuk dijalankan, bukan untuk dinikmati.

Refleksi Filsuf Barat dan Timur 

John Locke menyatakan: mandat politik adalah fiduciary trust, amanah yang hilang legitimasinya bila diurus demi diri, kelompok, atau partai. Di sini, tuntutan fasilitas mewah dan tunjangan fantastis bukan sekadar isu etika; ia adalah potensi pelanggaran mandat.

Rousseau dan Locke menunjukkan dua wajah demokrasi: Rousseau menekankan kehendak umum sebagai fondasi, sementara Locke menekankan perlindungan hak individu agar tidak digilas mayoritas. Pertanyaannya: adilkah demokrasi jika mayoritas bebas menindas minoritas?

Sejarah pemikiran Barat juga memperingatkan paradoks demokrasi. Alexis de Tocqueville menyebut tirani mayoritas: suara terbanyak bisa saja menindas suara paling rapuh. James Madison menegaskan pentingnya Cheks and balance;  pagar-pagar lembaga untuk menahan nafsu faksi; sebab manusia bukan malaikat, dan mayoritas pun bisa khilaf.

Plato bahkan lebih getir: dalam Republik, ia melihat demokrasi sebagai jalan menuju mobokrasi; ketika suara terbanyak ditentukan oleh retorika sesaat, bukan kebijaksanaan. Amartya Sen kemudian menambahkan perspektif kontemporer: demokrasi hanyalah sarana, nilainya diukur dari sejauh mana ia memperluas kebebasan substantif manusia; apakah rakyat lebih sehat, lebih cerdas, lebih bermartabat.

Dari khazanah Islam, pijakan itu bahkan lebih keras: syura (musyawarah) adalah mekanisme, amanah adalah nurani. Al-Mawardi menekankan pemegang kekuasaan wajib menjaga maslahah 'ammah; kemaslahatan umum, sedang Al-Ghazali mengingatkan, penguasa hanyalah ra'n (penggembala) yang kelak dimintai pertanggungjawaban atas setiap jiwa di bawah tanggungannya. Jika wakil sibuk membela kenyamanan sendiri, lalu siapa yang membela yang diwakili?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun