Bagi kebanyakan orang, filsafat terdengar bagaikan sesuatu yang “berat”. Rumit, Kompleks, penuh istilah asing, dan jauh dari kehidupan nyata. Ia seakan hanya milik ruang kuliah, dengan dosen eksentrik berkacamata tebal dengan mahasiswa yang terlalu serius di wajah. Berada di dalam buku tebal berdebu di rak perpustakaan, atau diskusi akademik yang tak pernah selesai. Padahal sejatinya, filsafat telah ada sejak awal lahirnya manusia, dari hal yang paling sederhana: “Bertanya.”
Mencoba Memahami Filsafat
Kuliah S3 di Perbanas Institut, dengan fokus pada Program Doktor Manajemen Berkelanjutan, “memaksa” saya memahami ilmu filsafat yang merupakan Ibu dari segala ilmu. Saya kemudian membayangkan sebuah pohon raksasa, di mana batangnya adalah filsafat, cabang-cabangnya adalah berbagai ilmu yang kita kenal hingga hari ini. Fisika, Kedokteran, Ekonomi, Psikologi, hingga telknologi digital berbasis AI. Semuanya pernah berakar dari filsafat.
Sejak dulu sebelum ada laboratorium modern, manusia selalu bertanya: “Apa itu kehidupan? Apa itu cinta? Apa hakekat manusia? Bagaimana cara kita tahu sesuatu itu benar atau salah?" Dari pertanyaan-partanyaan seperti itulah lahir ilmu-ilmu yang kemudian berjalan sendiri.
Dalam konteks keilmuan, Filsafat merupakan “Rahim” yang melahirkan ilmu, sekaligus rumah tempat ilmu “pulang” Ketika kebingungan. Karena sejatinya, pada sebuah titik akhir; Ketika teknologi berlari sangat kencang dan data melimpah. Manusia akan Kembali pada pertanyaan dasar: “Untuk apa semua ini? Apa makna kebenaran yang dicari? Apa sejatinya tujuan hidup manusia?”
Karenanya, saat saya bertanya pada dosen, di ruang akademik program Kedoktoran Manajemen Berkelanjutan Perbanas Institute; kala berdiskusi tentang ilmu filsafat : “Apakah ilmu filsafat yang umumnya kurang dimininati dan “njlimet” dipelajari, akan banyak ditinggalkan peminatnya dan pada akhirnya mati dengan sendirinya?” Beliau menjawab dengan pasti, “Ilmu Filsafat tidak pernah mati.”
Saat itu saya hanya terdiam membisu. Namun setelah penjelasan lebih lanjut baru saya mulai memahami dan meyakini, bahwa ilmu filsafat tidak pernah mati, karena ia adalah “Ibu yang selalu menuntun anak-anaknya pulang.”
Lalu saya berkesimpulan jadi benar, filsafat adalah ibu dari segala ilmu. Dari “rahim” nya, ilmu dilahirkan, membesarkan, dan tetap mengasuh ilmu pengetahuan sepanjang zaman dan sejarah kehidupan.
Filsafat sebagai Ibu Ilmu Pengetahuan, Sedikit Catatan Akademik
Pada masa Yunani Kuno, semua pengetahuan disebut philosohia. Pentolan masa ini antara lain Thales, Plato, dan Aristoteles. Mereka tak hanya berfilsafat, tetapi juga merumuskan dasar-dasar matematika, biologi dan logika. Seiring waktu, dari filsafat lahirlah metodologi berpikir yang kemudian bercabang menjadi disiplin ilmu.
Dalam perkembangannya Filsafat memiliki cabang ilmu yang disebut Ontologi. Membahas tentang hakekat keberadaan (being). Mencari jawaban pertanyaan: apa yang ada? Apa yang sungguh-sungguh nyata? Ontologi memberi dasar tentang apa yang dikaji oleh setiap ilmu. Mencoba menjawab persoalan paling mendasar : apakah realitas itu bersifat materi (fisik), ide (spiritual), atau kombinasi keduanya.
Filsafat menyediakan kerangka berpikir kritis untuk memahami “Apa adanya sesuatu” yang sudah diprakasai oleh Plato, yang menekankan dunia ide; hingga Aristoteles yang menekankan substansi. Sementara Ontologi menjadi dasar bagi semua ilmu. Karena tanpa mengetahui apa yang dipelajari. Ilmu tidak punya objek yang jelas.