Mohon tunggu...
Kusworo
Kusworo Mohon Tunggu... Penjelajah Bumi Allah Azza wa Jalla Yang Maha Luas Dan Indah

Pecinta Dan Penikmat Perjalanan Sambil Mentafakuri Alam Ciptaan Allah Swt

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Ketika "Narasi" Dijual Laris Manis Melalui Marketing

9 Juni 2025   15:15 Diperbarui: 15 Juni 2025   13:13 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Branding Marketing | Dok. Freepik/rawpixel.com

Konsumen tidak hanya membeli suatu produk. Mereka membeli narasi atau cerita, makna, dan identitas yang melekat pada produk tersebut. Sehingga para marketing professional meyakini bahwa narasi atau cerita mampu menjual lebih dibanding produk itu sendiri.

Dari Sekedar Bumbu Pemanis Hingga Jadi Strategi Inti

Dalam model Brand Personality Theory dari David Aaker, narasi digunakan untuk membentuk kepribadian merek; apakah ia bijak, petualang, sederhana, atau visioner.

Brand seperti Patagonia membawa karakter "sosial & ekologis" lewat cerita aktivisme lingkungan. Mereka tidak menjual jaket, mereka menjual komitmen terhadap bumi.

Narasi semacam ini menciptakan efek tribal, sebagaimana dikemukakan oleh Seth Godin dalam Tribes. Brand bukan hanya menjual barang, tapi membentuk komunitas yang percaya pada nilai yang sama.

Strategi marketing terus berkembang, mencari solusi terbaik memecahkan misteri untuk mempengaruhi konsumen membeli. Kalau dulu, cerita atau narasi mungkin hanya sekedar pemanis di akhir presentasi.

Namun hari ini, Narasi menjadi pondasi strategi. Karena dengan pendekatan branding yang kuat, narasi mampu membentuk persepsi yang bahkan tak bisa dijelaskan oleh spesifikasi teknis.

Dalam pendekatan marketing, khususnya strategi branding. Narasi yang baik tak sekedar menjawab "apa dan bagaimana." Narasi harus mampu menjawab "Mengapa." Mengapa produk ini penting? Mengapa konsumen harus peduli? Mengapa narasi atau cerita ini layak diikuti?

Narasi yang kuat dan otentik menjadi kata kunci. Ketika sebuah brand memiliki narasi yang kuat dan otentik, maka loyalitas pelanggan bukan hanya soal kualitas produk, tapi soal keterikatan nilai. Dan terpenting, Narasi harus lahir dari kebenaran, bukan sekedar kemasan.

Tampil Beda dengan Emotional Branding |Linkedin.com
Tampil Beda dengan Emotional Branding |Linkedin.com

Selalu Ada Bahaya Bila Narasi Tak Semestinya

Selalu ada sisi lemahnya bila narasi tidak datang dari kebenaran yang sejati. Kekuatan narasi bisa menjadi sebuah jebakan, bagaikan mata pisau yang tajam.

Dalam upaya menjual emosi, tidak sedikit brand yang tergoda menjual dusta. Greenwashing, fake activism, atau kisah dramatis yang direkayasa demi engagement. Akibatnya semua merusak kepercayaan yang dibangun dengan susah payah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun