Sebagai makhluk sosial manusia ingin selalu berinteraksi, haus akan informasi, dan lapar akan cerita. Dari masa zaman batu hingga era streaming digital, manusia tak hentinya berbagi kisah dan mendengarkan cerita. Dongeng dan cerita sebelum tidur yang dituturkan nenek atau bunda tercinta pada masa lalu membentuk nilai kehidupan.
Di panggung dalam pentas pewayangan, seni tari, drama, hingga ke pentas layer lebar di bioskop, penonton terpukau, sedih, takut dan gembira karena adanya cerita di balik karakter yang dilakukannya.
Manusia adalah makhluk naratif. Ini ditegaskan oleh Roger Schank & Robert Abelson dalam Narrative Intelligence Theory, bahwa otak manusia lebih mudah menyimpan dan memahami informasi dalam bentuk cerita ketimbang data mentah.
Di dunia pemasaran, hal ini diterjemahkan dalam bentuk story telling: dari kampanye Nike yang mengangkat perjuangan atlet minoritas, hingga kisah brand lokal yang membangun identitas lewat akar budaya. Di balik semuanya, prinsip klasik Aristoteles tetap hidup: narasi yang efektif selalu menggabungkan logos (logika), ethos (karakter), dan pathos (emosi).
Dalam dunia marketing yang dinamis, produk komoditas lama ini telah diolah dengan kemasan baru. Dari area copy writing untuk media cetak klasik hingga konten 15 detik di Tik Tok atau Instagram. Narasi berevolusi menjadi senjata utama .
"People don't buy what you do; they buy why you do it." Ujar Simon Sinek, Di situlah letak kekuatannya: Narasi bukan hanya menjual produk, tapi menjual alasan untuk peduli.
Ketika Narasi atau Cerita Menjual Lebih Dari Produk Itu Sendiri
Para Marketer professional begitu meyakini bahwa Narasi atau Cerita, sejatinya mampu menjual lebih banyak dibandingkan produk itu sendiri. Hal ini merujuk pada kekuatan storytelling dalam membangun emosi, makna, dan hubungan personal yang jauh melampaui fitur teknis atau manfaat rasional sebuah produk.
Sebuah kesuksesan merek kopi lokal yang merajai pasar e-commerce beberapa tahun lalu, ternyata merujuk pada keberhasilan storytelling kisah petaninya yang difilmkan dengan sentuhan sinematik.
Soal rasa mungkin biasa saja, tetapi di balik ceritanya menggugah rasa konsumen untuk memberikan dukungan. Narasinya pun sederhana, tentang "dari kebun ke cangkir" menjadi alasan emotional dari ribuan pelanggan.
Sepatu Nike, dengan emotional branding "Find Your Greatness" mengangkat narasi untuk dijual dengan konsep, "Setiap orang, bukan hanya atlet professional, punya potensi untuk meraih kehebatan." Nike seakan menjauhkan diri dari hanya menjual Sepatu olah raga dan mulai menjual inspirasi dan perdayaan.
Eksekusi komunikasi periklanannya menampilkan orang-orang biasa. Dari anak gemuk yang berlari hingga ibu rumah tangga yang berlatih marathon. Narasi yang diciptakan membangkitkan emosional konsumen, yang ditandai dengan terjadinya lonjakan penjualan Sepatu di segmen non-atlet dan memperkuat loyalitas merek secara emosional.