Mohon tunggu...
Kurnia Irawati
Kurnia Irawati Mohon Tunggu... Mahasiswa

saya adalah mahasiswi magister manajemen Universitas Islam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Strategi Inovasi CSR oleh Unilever Indonesia dalam Membangun Loyalitas Merek Gen Z: Pendekatan Cognitive Motivational Relational Theory

18 Juli 2025   13:48 Diperbarui: 24 Juli 2025   10:23 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ilustrasi gambar
ilustrasi gambar
Oleh: Kurnia Irawati, Endy Gunanto Marsasi
  • Latar Belakang

Pelanggan mengalami transformasi kebiasan pada masa digital ini membuat perusahaan agar bukan sekedar berorientasi pada kualitas produk, melainkan perlu memfokuskan perhatian mereka pada prinsip Masyarakat yang sudah tertanam pada suatu merek. Dalam hal ini adalah Gen Z, mereka adalah golongan pelanggan yang berkembang dengan eksposur akan permasalahan yang ada pada lingkungan, pemerataan social, serta transparansi informasi, yang Dimana hal ini memberikan indikasi kecenderungan terhadap merek yang memiliki tanggung jawab pada social. Pada konteks ini, Corporate Social Responsibility (CSR) sudah berfungsi sebagai strategi yang krusial Ketika menciptakan korelasi untuk waktu yang lama di Tengah perusahaan dan konsumen. Contoh perusahaan yang sudah mentransformasikan CSR menjadi bagian pada model bisnisnya yakni Unilever Indonesia. Dalam kampanyenya “Lifebuoy Cuci Tangan” hingga proyek “Unilever untuk Indonesia Sehat” menggambarkan bentuk usaha dari perusahaan agar bisa melakukan penyelarasan tujuan bisnisnya yang dibarengi dengan kontribusi social.

Dari jurnal karya (Fanti & Marsasi, 2024), menyebutkan CSR mempunya singnifikansi dampaknya pada loyalitas merek yang menempuh proses tiga alternatif, yakni; angggapan tentang risiko, citra kualitas, hingga kepuasan merek. Artikel ini mendayagunakan metode Cognitive Motivational Relational Theory (CMR Theory), yang Dimana dalam theory ini menitik beratkan pada emosi dan motivasi pelanggan akan merek terjadi karena didasari oleh penafsiran kognitif menyangkut pengalaman interaksi mereka. CMR Theory menjelaskan pelanggan bukan sekedar menyukai barang dengan pertimbangan logis, akan tetapi melihat produk dari nilai-nilai yang diberikan oleh merek tersebut yang didasari pada kesesuaian akan niali pribadi konsumen. Pada pembahasan ini, pemahaman positif akan tindakan social dari perusahaan bisa memperkuat keterikatan emosi serta menambah kesetiaan pelanggan akan merek, hal ini utamanya pada kelompok Gen Z.

Dalam sudut pandang inovasi, kestrategisan CSR bisa dikelompokkan dalam wujud layanan inovasi agar dapat menghasilkan keyakinan dari banyak orang. (Bessant & Tidd, 2015) dalam bukunya Innovation and Entrepreneurship menjelaskan bahwasannya pengembangan akan produk serta layanan terbaru idealnya perlu memperhatikan pergerakan dari social, teknologi, serta ekspektasi dari pelanggan. Penekanan pembahasan dalam Bab 11 menyatakan inovasi produk yang sukses yakni yang bisa merespon keperluan fungsional maupun soail dari para penggunanya. Sebagai hasilnya, Unilever Indonesia yang mana mengintegrasikan mengkampanyekan secara mendidik pada peresmian produk sudah mengamalkan dasar akan pembaharuan social, yang artinya produk tersebut dikembangkan buakn sekedar untuk pasar, melainkan sekaligus untuk mengubah kebiasaan dari Masyarakat.

Bukan hanya itu, CSR juga mempunyai tugas untuk meluaskan cakupan inovasi dengan menempuh cara pemupukan bakat serta usaha rintisan. Pada E-Book Bab 13 dari, (Bessant & Tidd, 2015) mengemukakan akan konsep dari corporate venturing yang mana bertujuan sebagai Langkah agar bisa membangkitkan inovasi internal sampai kolaborasi eksternal. Gagasan awal dari Unilever ini misalnya Unilever Foundry sampai program wirausaha muda merupakan bentuk nyata menjelaskan CSR bisa berpotensi tumbuh dan menjadi agen percepatan untuk menciptakan innovator social baru. Taktik ini selaras dengan penemuan pyang ada pada jurnal (Fanti & Marsasi, 2024) yang menyatakan campurtangan social dari perusahaan bisa melahirkan cara pandang dan menguatkan loyalitas, tidak sekedar dari pelanggan saja, namun juga dari kalangan yang lebih luas.

Dengan menerapkan integritas ditengah inovasi produk, pengembangan ekosistem wirausaha social, serta optimalisasi akan asset intelektual akan prioritas dari Masyarakat, CSR Unilever Indonesia berperan sebagai representasi fisik akan taktik bisnis yang mengutamakan hal nilai. Hasil karya penelitian dari (Fanti & Marsasi, 2024) hingga teori (Bessant & Tidd, 2015) secara bersamaan keduanya menjelaskan bahwasanya CSR yang dikendalikan dengan cara inovatif mempunyai kekuatan pemicu akan loyalitas merek. Pada studi ini, uraian akan memaparkan pada bagaimana Unilever Indonesia menerapkan CSR untuk bertindak menjadi cara melakukan inovasi untuk mengembangkan loyalitas merek pada kelompok Gen Z, serta dengan penerapan dari CMR Theory sebagai dasar utamanya.

  • Analisis Materi Pertemuan ke-8: Developing New Products and Services yang Dikaitkan dengan Studi Kasus Unilever Indonesia.

Dalam pembahasannya, hendak dikaji topik Developing New Products and Services dari pertemuan ke-8, secara spesifik pada topik Product Development, sesuai dengan penjelasan dari penelitian  (Bessant & Tidd, 2015) Innovation and Entrepreneurship di (hlm. 328–330). Kajian tersebut lalu dikorelasikanpada penelaahan kasus di Unilever Indonesia, dimana sebelumnya sudah mengimplementasikan pendekatan akan pengembangan produk bertumpu pada nilai social lewat kampanye CSR mereka.

Pengembangan produk merupakan bagian penting dari strategi inovasi perusahaan, terutama dalam industri yang cepat berubah seperti fast-moving consumer goods (FMCG). (Bessant & Tidd, 2015) dalam Chapter 11: Developing New Products and Services menjelaskan bahwa proses inovasi produk yang efektif tidak hanya berfokus pada penciptaan fitur baru, tetapi juga pada pemenuhan nilai-nilai emosional dan sosial yang diinginkan pelanggan (hlm. 328). Oleh karena itu, strategi pengembangan produk tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan psikologis konsumen, apalagi ketika targetnya adalah Generasi Z yang dikenal lebih kritis terhadap isu keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan.

Dalam konteks ini, Unilever Indonesia menerapkan pendekatan yang inklusif dan berorientasi sosial dalam mengembangkan produknya. Produk seperti sabun Lifebuoy bukan hanya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kebersihan, tetapi juga dirancang sebagai alat untuk menyampaikan pesan kesehatan publik melalui kampanye “Cuci Tangan Pakai Sabun”. Strategi ini sesuai dengan prinsip customer co-development dan market-driven innovation yang dijelaskan oleh (Bessant & Tidd, 2015) (hlm. 329), di mana proses pengembangan melibatkan pemahaman mendalam terhadap perubahan nilai dan perilaku konsumen. Konsumen tidak hanya membeli produk, tetapi juga berpartisipasi dalam misi sosial merek tersebut. Unilever meluncurkan varian Skin Solutions dari Lifebuoy bertujuan menjawab kebutuhan Gen Z akan perlindungan kulit sekaligus mengedukasi pentingnya kesehatan kulit dalam iklim tropis Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa strategi product development tidak hanya bertumpu pada inovasi teknologi, tetapi juga pada kepekaan sosial yang sejalan dengan strategi CSR perusahaan.

Lebih jauh lagi, keberhasilan strategi ini tidak lepas dari struktur internal yang mendukung kolaborasi lintas fungsi. (Bessant & Tidd, 2015) menekankan pentingnya adanya cross-functional teams dalam pengembangan produk agar inovasi berjalan secara komprehensif dan responsif terhadap dinamika pasar (hlm. 328). Di Unilever, tim yang terdiri dari pakar riset, kesehatan masyarakat, pemasaran, dan CSR bekerja sama untuk memastikan bahwa produk yang dikembangkan tidak hanya memiliki manfaat fungsional, tetapi juga berdampak sosial. Kolaborasi ini memperkuat proses inovasi yang tidak hanya menghasilkan produk, tetapi juga menciptakan perubahan perilaku masyarakat.

Dalam jurnal (Fanti & Marsasi, 2024), dijelaskan bahwa CSR yang menyentuh nilai-nilai pribadi konsumen memiliki dampak signifikan dalam menurunkan persepsi risiko dan meningkatkan loyalitas merek. Ketika pengembangan produk dilakukan dengan mengintegrasikan misi sosial dan tanggung jawab moral, seperti dalam kasus Lifebuoy, maka konsumen akan memaknai produk tidak hanya sebagai komoditas, tetapi juga sebagai representasi dari nilai yang mereka anut. Inilah kekuatan pendekatan Cognitive Motivational Relational Theory yang digunakan dalam penelitian Marsasi, di mana hubungan merek dan konsumen terbentuk melalui interpretasi emosional terhadap tindakan perusahaan.

Dengan demikian, pengembangan produk berbasis nilai sosial seperti Unilever Indonesia merupakan strategi inovasi yang sangat relevan untuk membangun loyalitas konsumen, khususnya di kalangan Gen Z. Materi dari (Bessant & Tidd, 2015) mengenai product development memberikan landasan teoritis yang kuat bahwa produk bukan hanya hasil dari proses teknis, tetapi juga alat komunikasi nilai perusahaan. Sementara itu, jurnal (Fanti & Marsasi, 2024) menegaskan bahwa integrasi antara inovasi produk dan CSR menciptakan dampak psikologis yang signifikan dalam membentuk loyalitas merek jangka panjang. Pendekatan ini menunjukkan bahwa strategi produk dan strategi sosial dapat berjalan bersamaan dalam satu kerangka inovasi yang terencana dan berdampak.

  • Analisis Materi Pertemuan ke-10: Developing Businesses and Talent through Corporate Venturing yang terkait pada Studi Kasus Unilever Indonesia.

Ditahap ini, pembahasannya berdasarkan konten di pada tatap muka ke-10 yang mengangkat tema Developing Businesses and Talent through Corporate Venturing, dengan fokus khusus pada topik Managing Corporate Ventures sebagaimana dijelaskan oleh (Bessant & Tidd, 2015) dalam Innovation and Entrepreneurship pada (halaman 398). Analisis ini dikaitkan dengan studi kasus Unilever Indonesia, terutama dalam bagaimana perusahaan mengelola dan mengintegrasikan aktivitas CSR sebagai bagian dari strategi ventura internal untuk mengembangkan kapabilitas bisnis dan talenta inovatif secara berkelanjutan.

Manajemen ventura korporat (corporate venture management) merupakan pendekatan strategis untuk mendorong pertumbuhan bisnis melalui pembentukan unit usaha baru atau kemitraan internal yang inovatif. Menurut (Bessant & Tidd, 2015), ventura korporat bukan hanya tentang penciptaan usaha baru, tetapi juga tentang bagaimana perusahaan dapat menciptakan platform inovasi yang terstruktur dan mendukung pengembangan kapabilitas (hlm. 398). Dalam praktiknya, ventura dapat berbentuk eksplorasi pasar baru, eksperimen model bisnis, hingga pemberdayaan karyawan untuk menciptakan solusi berbasis nilai. Pendekatan ini penting bagi perusahaan yang ingin tetap adaptif dan relevan di tengah perubahan pasar dan ekspektasi sosial yang cepat, seperti yang dihadapi Unilever Indonesia.

Unilever Indonesia telah mengimplementasikan manajemen ventura korporat melalui inisiatif CSR yang strategis dan berdampak jangka panjang. Salah satu contoh nyata adalah program Unilever Young Entrepreneurs Awards dan Unilever Foundry, yang menjadi wadah inovasi sosial bagi anak muda dan startup yang bergerak di bidang keberlanjutan. Program-program ini memungkinkan perusahaan membentuk jaringan inovator eksternal, sekaligus mengembangkan talenta internal yang memiliki sensitivitas sosial tinggi. Dalam konteks ini, CSR tidak hanya menjadi kegiatan tanggung jawab sosial, tetapi menjadi alat Unilever untuk menumbuhkan ekosistem ventura yang selaras dengan misi perusahaan dan kebutuhan masyarakat.

Menurut (Bessant & Tidd, 2015), terdapat empat pendekatan utama dalam mengelola ventura korporat: opportunistic, enabling, advocacy, dan producer (hlm. 398). Dalam studi kasus Unilever, dapat dikatakan bahwa pendekatan yang paling mencolok adalah model producer, yaitu ketika perusahaan secara aktif menciptakan unit ventura dan sumber daya internal untuk mengembangkan bisnis baru dengan orientasi sosial. Unilever tidak hanya memberi dana, tetapi juga menyediakan sistem pelatihan, mentoring, dan jaringan distribusi bagi inisiatif sosial yang sejalan dengan nilai perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa CSR telah diintegrasikan ke dalam sistem inovasi perusahaan, bukan hanya sebagai proyek sampingan.

Dalam jurnal (Fanti & Marsasi, 2024), dijelaskan bahwa keterlibatan perusahaan dalam aktivitas sosial yang terstruktur dan konsisten akan menumbuhkan persepsi positif di benak konsumen, terutama generasi muda. Program ventura seperti yang dijalankan Unilever berkontribusi terhadap persepsi kualitas merek, kepedulian perusahaan, dan akhirnya loyalitas pelanggan. Dengan pendekatan Cognitive Motivational Relational Theory, strategi seperti ini menciptakan hubungan emosional yang kuat antara perusahaan dan konsumennya. Konsumen tidak hanya menjadi pembeli, tetapi juga merasa menjadi bagian dari gerakan perubahan sosial yang didukung oleh perusahaan.

Dengan demikian, pendekatan Managing Corporate Ventures sebagaimana dijelaskan dalam buku (Bessant & Tidd, 2015) telah diimplementasikan secara konkret oleh Unilever Indonesia melalui strategi CSR-nya. CSR tidak lagi diposisikan sebagai aktivitas tanggung jawab semata, tetapi sebagai strategi bisnis yang terintegrasi dengan pengembangan talenta dan inovasi internal. Studi ini menunjukkan bahwa perusahaan yang mampu memanfaatkan model ventura korporat untuk mendukung misi sosialnya akan lebih mudah membangun loyalitas merek yang kuat, terutama di kalangan konsumen yang berorientasi nilai seperti Generasi Z.

  • Analisis Materi Pertemuan ke-12: Exploiting Knowledge and Intellectual Property yang relevan kepada Studi Kasus Unilever Indonesia.

Disesi ini, pembahasannya dari konten ke-12 tentang Exploiting Knowledge and Intellectual Property, dengan fokus pada topik Generating and Acquiring Knowledge sebagaimana dijelaskan dalam buku Innovation and Entrepreneurship oleh (Bessant & Tidd, 2015) pada (halaman 442). Pembahasan ini dikaitkan dengan strategi Unilever Indonesia dalam mengelola pengetahuan untuk mendukung aktivitas CSR, termasuk dalam hal membangun kompetensi internal dan berbagi pengetahuan kepada masyarakat melalui program-program edukatif berbasis nilai sosial.

Proses menghasilkan dan mengakuisisi pengetahuan (generating and acquiring knowledge) menjadi inti dari inovasi berkelanjutan. (Bessant & Tidd, 2015) menjelaskan bahwa organisasi yang inovatif adalah mereka yang secara aktif membangun basis pengetahuan internal sekaligus menjalin koneksi eksternal untuk menyerap wawasan baru (hlm. 442). Pengetahuan yang dikembangkan bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga mencakup pemahaman tentang perilaku konsumen, kebutuhan sosial, dan dinamika pasar. Dalam konteks ini, strategi CSR bukan sekadar alat hubungan masyarakat, melainkan saluran untuk memperkaya pengetahuan organisasi dan memperkuat keunggulan bersaing berbasis nilai.

Unilever Indonesia mengimplementasikan prinsip ini melalui program edukasi kesehatan masyarakat yang berbasis pada hasil riset internal. Melalui kampanye seperti "Unilever untuk Indonesia Sehat" dan pelatihan kader posyandu, perusahaan mendistribusikan modul dan materi edukatif yang berasal dari divisi riset internalnya. Strategi ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang dihasilkan tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, tetapi juga dibagikan untuk mendorong dampak sosial. Pendekatan ini mencerminkan prinsip open knowledge sharing, di mana perusahaan membuka sebagian pengetahuannya untuk memberdayakan masyarakat.

(Bessant & Tidd, 2015) juga menekankan pentingnya absorptive capacity, yaitu kemampuan organisasi dalam mengidentifikasi, memahami, dan menerapkan pengetahuan dari luar ke dalam strategi internal mereka (hlm. 442). Unilever menunjukkan kapasitas ini melalui kolaborasi dengan LSM, institusi pendidikan, dan komunitas lokal dalam menyusun materi kampanye dan kegiatan CSR. Kolaborasi ini memungkinkan perusahaan untuk terus belajar dari lingkungan eksternal dan menyesuaikan strategi CSR-nya dengan kebutuhan riil masyarakat. Hal ini memperkaya basis pengetahuan Unilever dan memperkuat relevansi sosial merek di mata konsumen muda.

Dalam jurnal (Fanti & Marsasi, 2024), dijelaskan bahwa CSR yang memberikan manfaat nyata dan berbasis pada pengetahuan yang valid mampu menurunkan persepsi risiko konsumen dan meningkatkan kepercayaan terhadap merek. Ketika konsumen merasa bahwa perusahaan benar-benar memahami kebutuhan sosial dan bertindak berdasarkan data serta riset, maka mereka lebih mudah membentuk keterikatan emosional. Dalam perspektif Cognitive Motivational Relational Theory, proses interpretasi konsumen terhadap niat dan tindakan perusahaan menjadi kunci dalam pembentukan loyalitas merek. Oleh karena itu, pengelolaan pengetahuan oleh Unilever menjadi faktor penting dalam membangun kepercayaan dan loyalitas Gen Z.

Dengan demikian, penerapan topik Generating and Acquiring Knowledge dalam strategi CSR Unilever Indonesia memperlihatkan bahwa eksploitasi pengetahuan tidak selalu berwujud paten atau hak eksklusif, tetapi juga berupa pembelajaran sosial dan pemberdayaan komunitas. Materi dari (Bessant & Tidd, 2015) dan temuan (Fanti & Marsasi, 2024) sama-sama menegaskan bahwa pengetahuan adalah aset strategis yang jika dibagi secara cerdas, dapat memperkuat citra perusahaan dan loyalitas konsumen. Dalam konteks ini, Unilever telah berhasil memposisikan pengetahuan sebagai jembatan antara inovasi internal dan dampak sosial eksternal yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

  • Kesimpulan

Berdasarkan seluruh pembahasan, dapat disimpulkan bahwa integrasi antara strategi Corporate Social Responsibility (CSR) dan inovasi dalam manajemen bisnis telah menjadi fondasi kuat bagi Unilever Indonesia dalam membangun loyalitas merek, khususnya di kalangan Generasi Z. Dalam pendekatan ini, perusahaan tidak hanya menempatkan CSR sebagai tanggung jawab sosial pasif, melainkan sebagai instrumen aktif dalam strategi pertumbuhan bisnis dan penguatan citra merek. Teori Cognitive Motivational Relational yang digunakan dalam jurnal (Fanti & Marsasi, 2024) memperkuat pemahaman bahwa persepsi konsumen terhadap nilai dan niat perusahaan merupakan elemen kunci dalam pembentukan hubungan emosional yang mendalam antara konsumen dan merek.

Melalui analisis materi pertemuan ke-8 tentang Developing New Products and Services, khususnya pada aspek Product Development, dapat dilihat bahwa Unilever mampu merancang produk yang tidak hanya menjawab kebutuhan fungsional konsumen, tetapi juga membawa pesan sosial yang kuat. (Bessant & Tidd, 2015) hlm. 328–330 menekankan pentingnya menyelaraskan inovasi produk dengan nilai pasar dan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, kampanye sabun Lifebuoy sebagai alat edukasi kesehatan membuktikan bahwa inovasi produk berbasis nilai mampu meningkatkan persepsi kualitas merek sekaligus memperkuat loyalitas pelanggan.

Lebih lanjut, dari materi pertemuan ke-10 tentang Developing Businesses and Talent through Corporate Venturing, dengan fokus pada Managing Corporate Ventures, terlihat bagaimana Unilever menggunakan pendekatan ventura internal untuk mendorong lahirnya inovasi sosial dan talenta baru. Sejalan dengan (Bessant & Tidd, 2015) hlm. 398, Unilever telah menerapkan model producer approach dalam manajemen ventura, di mana perusahaan secara aktif menciptakan unit usaha dan program CSR yang mendukung pertumbuhan komunitas dan penciptaan nilai bersama. Pendekatan ini secara tidak langsung membentuk loyalitas konsumen melalui peningkatan kepercayaan terhadap misi sosial perusahaan.

Selanjutnya, dari materi pertemuan ke-12 mengenai Exploiting Knowledge and Intellectual Property, khususnya pada topik Generating and Acquiring Knowledge, dapat disimpulkan bahwa CSR yang berbasis pada pengetahuan menciptakan dampak sosial yang lebih besar. Menurut (Bessant & Tidd, 2015) hlm. 442, perusahaan yang mampu membangun dan menyerap pengetahuan eksternal secara efektif akan memiliki kapasitas inovasi yang lebih kuat. Unilever membuktikan hal ini melalui program edukasi masyarakat dan kolaborasi lintas sektor untuk mendistribusikan pengetahuan kesehatan berbasis riset internal. Hal ini menguatkan teori (Fanti & Marsasi, 2024) bahwa loyalitas merek terbentuk melalui persepsi konsumen atas nilai dan kontribusi sosial perusahaan.

Secara keseluruhan, strategi CSR Unilever Indonesia merupakan representasi konkret dari integrasi teori inovasi, manajemen pengetahuan, dan pendekatan psikologis terhadap konsumen. Dengan menggabungkan prinsip dari Innovation and Entrepreneurship oleh (Bessant & Tidd, 2015) serta temuan empiris dalam jurnal Marsasi, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan CSR tidak hanya terletak pada skala atau dana yang dikeluarkan, tetapi pada bagaimana nilai-nilai perusahaan dikomunikasikan dan diimplementasikan secara konsisten. Hal inilah yang menjadikan loyalitas merek di kalangan Generasi Z bukan hanya hasil dari promosi, tetapi juga dari koneksi emosional dan keselarasan nilai antara konsumen dan perusahaan.

  • Referensi:

Bessant, J., & Tidd, J. (2015). Innovation and Entrepreneurship. United Kingdom: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

Fanti, F. P., & Marsasi, E. G. (2024). The RoIe of Corporate SociaI ResponsibiIity and Perceived Risk on Brand LoyaIty Based on Cognitive MotivationaI ReIationaI Theory. Yogyakarta: MEC-J (Management and Economics Journal).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun