Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tiada Setia yang Bodoh di Dunia Ini Selain Dia

4 April 2019   10:02 Diperbarui: 4 April 2019   10:06 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Sepuluh tahun kemudian, ketika aku telah memiliki dua anak, bahkan saat ini menjelang kelahiran anak ketigaku, aku baru membaca surat-suratnya yang dikirim melalui email. Aku betah berlama-lama di depan monitor. Membaca kata demi kata isi suratnya itu. Kadang aku mengernyitkan dahi, tertawa atau bahkan sedih. Menjadi hiburan tersendiri buatku. Aku akan menghentikan aktivitas itu, manakala anak-anak kembali ke rumah dari sekolah.

Sepanjang waktu sepuluh tahun, setiap bulan dia mengirimiku surat. Baru tergerak hatiku untuk membacanya beberapa hari yang lalu. Kuhitung ada 120 suratnya yang masuk, tanpa satupun kubalas. Aku tidak mengerti mengapa dia melakukan itu. Padahal jauhjauh hari aku sudah benar-benar melupakannya.

Pada hari itu saat aku mengecek emailku. Ada dorongan dari dalam diriku untuk membuka suratnya. Kubuang egoku, tanpa ragu lagi, aku membuka surat pertama yang dia kirim. Berisi sakit hatinya atas penghianatan yang aku lakukan padanya. Surat-surat berikutnya masih senada dengan surat pertama. Betapa kehilangannya dia saat aku memutuskan pergi.

Beberapa surat yang lain bernada lain, tapi tidak kutemukan keikhlasan darinya perihal kepergianku. Di dalam surat itu menceritakan keakuannya. Hari-harinya bagaimana, betapa setianya dia menunggu kepulanganku.

Suratnya yang kelima puluh satu, pada titimangsa aku mengetahui dia tidak di Sulawesi lagi. Melainkan tertulis salah satu kota yang ada di pulau Jawa. Dia terangterangan membahas alasannya meninggalkan tanah Sulawesi.

"Untuk apa saya terus-terusan bertahan di sana. Sementara kau yang saya tunggu belum juga pulang bahkan tidak memberi kabar. Saya tidak ingin selalu terperangkap dalam kenangan kebersamaan kita dahulu. Membuat saya selalu dirundung kesedihan. Hanya kaulah satu-satunya alasan, supaya saya kembali ke tanah itu lagi. Jadi kapan kau pulang? Tidakkah kau berkeinginan melanjutkan mimpi-mimpi kita yang terlanjur diikrarkan bersama?" Begitulah penggalan isi suratnya.

Masih banyak suratnya yang belum kusentuh. Aku berharap ada satu surat berisi kabar baik untukku, bahwa dia telah menemukan penggantiku. Tapi sampai surat keseratus yang aku baca, tidak kutemukan satu nama perempuan pun yang dia sebut selain namaku.

"Di kota ini saya memiliki kenalan perempuan yang cukup dekat dengan saya. Kami sering bersama terlibat dalam suatu kegiatan. Mereka memang cantik-cantik, tetapi tidak satu pun membuat saya terpikat. Agaknya tidak ada perempuan lain yang bisa membuat saya merasakan cinta selain kau. Berilah saya kabar jika kau sudah kembali. Kemudian kita akan menikah."

Rasanya aku mau muntah membaca kalimatkalimat terakhir itu. Anak dalam kandunganku tampak menyadarinya, dia bergerak-gerak. Kutafsirkan itu adalah ketidaksepakatannya perihal kesetiaan mantan pacarku.

Lima belas surat berikutnya, tak bosan-bosannya menceritakan kesehariannya di kota itu. Dia telah sukses menjadi penulis. Katanya novel pertamannya di pasaran menjadi bestseller. Benarkah demikian? Aku belum membaca novelnya itu. Padahal setiap pekan suamiku kerap membeli buku baru.

"Novel kedua dan ketiga saya sedang diurusi penerbit, tidak butuh waktu lama akan segera terbit. Seandainya saya tahu di mana kau berada. Sudah tentu saya kirimkan padamu. Maaf jika ini lancang, kau telah kujadikan tokoh dalam novel itu. Tetapi itu bukan sepenuhnya bercerita tentang kita," tulisnya.

Jam telah menunjukkan pukul delapan lewat. Beberapa menit yang lalu suamiku sudah berangkat kerja. Anak-anakku pun ke sekolah ditemani oleh pembantu di rumah kami. Hanya aku seorang di rumah ini. Tubuhku sangat membengkak, perutku seperti ingin meletus. Perkiraan dokter yang menanganiku, dua minggu lagi waktu persalinanku. Aku sudah mewanti-wanti untuk menyelesaikan membaca suratnya sebelum masa persalinanku tiba. Aku dibuat ketagihan untuk terus membacanya, sehingga sampai hari ini tersisa lima yang belum aku rampungkan.

Pagi ini pun akan kutuntaskan semuanya. Biar besok tidak ada lagi tuntutan pagi-pagi harus berlama-lama di depan monitor. Tentu saja aku berharap dari kelima surat yang tersisa, tercantum satu nama perempuan selain aku. Aku tidak ingin terus-terusan diliputi perasaan bersalah; membuatnya tidak bisa melupakanku.

Aku memperbaiki posisiku di hadapan komputer. Aku langsung membuka emailku. Ada beberapa email baru yang masuk. Tetapi tidak kuperdulikan, salah satu di antaranya promo produk terbaru salah satu toko online langgananku. Segera aku melanjutkan membaca suratnya yang tersisa. Walaupun terkesan membosankan mengetahui sederet kegiatan yang dilakukannya, tetapi aku tidak tega untuk tidak menuntaskannya.

Sepenggal kalimat yang tertulis di surat keseratus dua puluh, "Bulan depan jika tidak ada aral melintang novel saya sudah bisa ditemukan di toko buku...." surat kedua puluh itu dia kirim sebulan yang lalu. Itu tandanya, bukunya sudah tersebar di toko. Oh, betapa ingin sekali aku membacanya. Tetapi, mengapa dia tidak membocorkan judulnya? Aku jadi dibuat ragu. Jangan-jangan dia mengibuliku. Tetapi tidak, aku bertahun-tahun pacaran dengannya, dan dia bukan tipikal lelaki yang suka berdusta. Tidak ada surat lagi.

Aku agak lama termenung di depan komputer. Di satu sisi ada keinginan untuk membalasnya, tetapi sudah sepuluh tahun berlalu, mengapa baru sekarang aku memperdulikan suratnya? Aku tidak ingin membalasnya, namun perasaan bersalah ada.

Setelah aku pikir-pikir, walau bagaimana pun juga dia berhak tahu keadaanku, biar dia bisa memahami semuanya. Ya, aku harus membalasnya. Aku mengatur nafasku. Pikiranku bekerja mengumpulkan kata-kata yang hendak kutuangkan. Jemariku sudah siap di atas keyboard. Belum juga satu huruf tertekan, tanganku berpindah ke mouse. Jantungku tiba-tiba berdebar. Surat keseratus dua puluh satu darinya sampai. Membuyarkan kalimat yang terangkai dalam kepalaku.

Aku perlu membacanya. Bibirku bergerak mengikuti alunan huruf-huruf dalam suratnya itu. Salah satu paragraf begini, "Marliangku yang menawan, semua berjalan sesuai rencana. Hari ini adalah acara peluncuran buku saya. Semua berkat doamu. Kendati saya tidak tahu di mana sekarang kau berada, saya yakin iringan doa senantiasa tercurahkan darimu." Padahal aku tidak berdoa apa-apa. Mungkin dia sudah lupa mengenai aku bukanlah pemeluk agama. "Dan hari ini adalah peluncuran buku saya, di salah satu pusat perbelanjaan. Saya menginap di hotel sederhana di kota pempek ini. Saya jadi ingat, dahulu kau punya keinginan untuk makan pempek di kota pempek...." Jantungku semakin berdebar. Tetap kuteruskan surat itu sampai selesai. Nama perempuan lain belum juga ada dimuat dalam suratnya. Yang membuatku sedikit tidak menyangka, sekarang dia ada di kota ini.

Beberapa menit kemudian aku mengetik satu kata, "Hai!" terus terang saja aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menunggu balasannya, sampai tiga menit tak kunjung ada. "Saya telah membaca semua suratmu. Maaf baru sekarang saya membalasnya. Ternyata sekarang kita berada di kota yang sama," kukirim tiga kalimat itu. "Kita bisa bertemu?" dia akhirnya membalas. Aku yakin dia pasti antusias mendengar pengakuanku. Betapa sudah sangat lama dia mencari tahu keberadaanku. Aku memang perlu bertemu degannya, pertemuan itu nantinya kesempatan yang sangat baik untuk mengetahui keadaanku sekarang.

"Kapan kita bisa bertemu?" balasku.

"Acara saya jam dua sore nanti. Pagi ini saya memiliki waktu luang. Bagaimana denganmu?"

"Saya tidak memiliki aktivitas apa-apa. Di mana kita harus bertemu?"

"Kau saja yang menentukan."

Kami menyepakati untuk bertemu di taman kota pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Aku masih memiliki waktu beberapa menit untuk bersiap-siap. Semenjak aku hamil sangat malas aku keluar rumah tanpa bersama suamiku. Tetapi karena pertemuan maha penting ini, aku harus melakukannya. 

Aku sedang hamil tua tidak kuperdulikan lagi, mobil telah kukeluarkan dari garasi. Meninggalkan halaman rumah, dalam kecepatan sedang menuju taman kota.

Bertemulah aku dengannya setelah sepuluh tahun berlalu. Di bawah pohon yang berada di pinggir danau buatan. Di titik ini kami sepakati untuk bertemu melalui komunikasi email. Tampilannya memang berubah, tapi aku tidak terkecoh mengenalinya. Tubuhnya masih kurus. Potongan rambutnya kini menjadi semi panjang. Dan kumisnya dibiarkan memberontak.

Dia tampak ragu, mungkin karena tubuhku melar, perutku membuncit. "Hei, saya Marliang. Apakah kau tidak mengenali saya lagi?" beruntung dia masih mengenal suaraku. Kami duduk di bawah pohon ini bersampingan. Tentu saja ada jarak di antara kami. Aku merasa tidak enak, dia terlihat tidak berselera dengan pertemuan ini. Apakah aku begitu jelek di matanya?

"Saya kira kau sudah tahu keadaanku sekarang," aku tidak kuasa menatapnya.

"Saya agak syok. Tidak pernah saya sangka kau bakal begini," balasnya singkat.

"Sepuluh tahun Kasimin, mengapa kau mau bertahan selama itu? Apakah kau tidak berpikiran sama sekali, mengenai pernikahan saya?"

"Saya selalu teringat ucapan kesetianmu pada saya."

"Ketika saya meninggalkanmu, itu artinya saya telah mengingkari semuanya. Maaf terpaksa harus saya lakukan itu. Dan tidak ada kesempatan lagi mengabarimu. Semuanya begitu mendesak. Saya tidak punya pilihan untuk tidak mengikut keluarga saya pindah ke tanah Kalimantan."
Aku melanjutkan, "Hanya selang beberapa bulan, oleh orang tua saya diperekenalkan anak kerabatnya. Bertahan padamu adalah kebodohan. Tidak ada keyakinan lagi kami akan kembali ke Waisiruppa, atau ke tanah Sulawesi yang lain. Melihat perlakuan diskriminasi orang-orang di sana yang memandang keluarga kami sebelah mata. Sejak mereka tahu, kami tidak menganut agama apa-apa. Mereka memperlakukan kami yang tidak-tidak. 

"Orang tua saya  mengkhawatirkan tindakan mereka sewaktu-waktu akan anarkis. Bila orang beragama sudah dikuasai setan, tindakannya pun bisa sangat biadap. Saya begitu sedih meninggalkan Waisiruppa, meninggalkanmu, mengingkari semua kesetiaan yang diucapkan bersama. Kami menempuh perjalanan darat selama berjamjam sampai di Pare-pare, kemudian melalui jalur laut sampai di Balikpapan.

"Anak kerabat orang tua saya datang melamar. Tidak ada paksaan dari mereka, saya malah diberi kebebasan untuk menentukan sendiri jalan hidup saya. Setelah memikirkan masak-masak. Hati kecil saya condong untuk menerima, dan memang seharusnya saya membuka lembaran baru. Tidak lagi terjebak dalam kenangan bersamamu.  

"Kami pun menikah. Dan itu adalah pilihan yang tidak pernah saya sesali. Saya sangat bahagia hidup bersamanya. Saya berada di kota ini setelah suami saya dipindahtugaskan. Perbedaan-perbedaan di antara kami disatukan oleh ikatan pernikahan. Tidak seperti saya, dia adalah orang yang beragama. Tidak pernah ada paksaan darinya kepada saya untuk mengikut agamanya. Sampai saat ini saya belum memiliki alasan yang mengharuskan saya untuk memeluk agama, tidak tahu esok hari. Akan tetapi kedua anak kami olehnya diajarkan agama. Saya tidak pernah masalah dengan itu." Aku menghela nafas panjang, "Sekali lagi maafkan saya."

Dia hanya mengangguk, perasaan syoknya belum hilang dari raut wajahnya. "Dan ini adalah anak ketiga kami. Tidak lama lagi akan segera mencicipi kehidupan di dunia penuh sandiwara dan penuh kekonyolan," aku mengusap perutku, dia menatapnya dengan seksama. Kemudian matanya agak liar pada bagian payudaraku yang membengkak di balik gaun yang kukenakan. Kami memiliki kenangan yang tidak mungkin dilupakan pada tubuh kami masing-masing ketika kami masih pacaran.

"Bagaimana denganmu? Saya berharap kau sudah memiliki kekasih," kataku memancingnya untuk berbicara, sekalipun aku tahu dari suratnya kalau tidak ada perempuan yang membuatnya jatuh hati. 

"Sudah saya katakan dalam suratku. Tidak ada wanita lain yang saya harapkan untuk menemani kehidupan saya selain kau."

"Tetapi saya sudah memiliki suami. Kau saksikan sendirilah keadanku seperti ini. Banyak perempuan di luar sana, jauh lebih baik daripada saya. Apa lagi yang mau kau harapkan dari saya? Saya sudah sejelek ini. Dan mustahil saya mengabulkan harapanmu itu."

"Inilah namanya mencintai, Marliang." Aku cepat-cepat memotongnya, "Bukan cinta tetapi kebodohan."

"Cinta yang membuat saya bodoh bertahan pada satu perempuan yang telah bersuami dan akan memiliki tiga anak," katanya mendekatkan suaranya yang lirih padaku.

Dia membuka tasnya. Aku memerhatikan tangannya bergerak, mengeluarkan dua botol minuman dan pada sebuah kemasan di dalamnya ada pempek, serta tiga buah novelnya.

Pertama-tama diserahkan padaku novelnovelnya itu. "Selamat membaca!" Kuperhatikan salah satu sampul dari novel itu ada gambar perempuan yang tidak asing bagiku. Memang menyerupai diriku ketika tidak sebengkak sekarang. "Sudah sepantasnya pertemuan ini kita rayakan dengan makan pempek," katanya.
Dia selalu punya cara membuat kejutan. 

Tiba-tiba aku teringat kebersamaan kami dahulu, selalu kutekankn padanya; suatu hari kita harus menikmati pempek di kotanya sendiri. Aku ikut makan bersamanya, terwujudlah semua itu. Dia begitu senang melihatku mengunyah, sedikit-sedikit tersenyum. Aku dibuat grogi. Bahkan kami tidak berbicara apa-apa sampai pempek itu kami habisi.

Tangannya tanpa ragu membersihkan bibirku. Mungkin dia menemukan ada sesuatu di sana. Anehnya aku membiarkannya saja. Bahkan aku tidak berdaya mencegatnya ketika jari-jarinya sudah memberikan sentuhan pada pipiku. Kami beradu pandangan, "Saya sudah tahu keadaanmu. Kesetian saya tidaklah berubah. Saya tetap bertahan padamu. Sekali lagi hanya satu perempuan yang saya harapkan menemani kehidupan saya adalah kau, Marliang," tegasnya.

Aku tidak suka mendengar itu. Kuturunkan tangannya yang menjamah pipiku, "Berhentilah dengan semua kebodohanmu, Kasimin. Tuhanmu tidak menakdirkan kita hidup bersama. Kau harus menerima semua itu."

"Untuk ini saya melawan takdir. Saya sangat mencintaimu, kekasih. Saya akan menerima kedatanganmu dalam keadaan apapun itu suatu hari kelak."

"Saya tidak akan pernah datang padamu."

"Saya berharap kau datang. Dan saya yakin sekali itu." Tangannya kembali bermain di wajahku. Dia memajukan kepalanya lebih dekat. Aku tidak kuasa lagi melihatnya, kutundukkan pandanganku, tidak ada upaya untuk menghentikannya. Puncaknya kurasakan bibirnya sudah menempel di bibirku. Kami tidak peduli lagi apakah ada pasang mata menyaksikan. Kami selesaikan perkara kecil ini, yang bagiku sangat sialan dan keterlaluan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun