Mohon tunggu...
Kuncoro Wibowo Aji
Kuncoro Wibowo Aji Mohon Tunggu... Mahasiswa

"Lebih baik menerima kejujuran yang pahit, daripada kebohongan yang manis"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketimpangan Pajak dalam Ekonomi Global: Mengapa Multinational Corporations Masih Bisa Menghindar?

3 Agustus 2025   13:37 Diperbarui: 3 Agustus 2025   13:37 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika Pajak Tak Lagi Soal Negara Saja

Bayangkan perusahaan raksasa teknologi dengan miliaran pengguna di seluruh dunia, tapi hanya membayar pajak yang sangat kecil --- bahkan nyaris nol --- di sebagian besar negara tempat mereka beroperasi. Bukan karena mereka melanggar hukum, tetapi karena mereka tahu betul cara bermain di tengah celah aturan internasional. Inilah kenyataan yang membuat sistem perpajakan global saat ini banyak dipertanyakan: bagaimana mungkin perusahaan multinasional (multinational corporations/MNCs) yang menikmati keuntungan besar dari ekonomi dunia justru membayar pajak lebih sedikit dibanding UMKM lokal?

Ketimpangan ini bukan semata soal kemampuan menghindar, tapi juga soal struktur hukum dan kelemahan sistem perpajakan internasional. Di tengah krisis keadilan fiskal, strategi seperti transfer pricing, penghindaran pajak melalui tax haven, dan lemahnya koordinasi antarnegara menjadi celah yang terus dimanfaatkan. Lalu, bagaimana ini bisa terjadi? Dan apa yang bisa dilakukan negara seperti Indonesia?

Transfer Pricing: Jurus Legal Tapi Kontroversial

Transfer pricing secara sederhana adalah praktik penentuan harga atas transaksi antarperusahaan dalam satu grup usaha (afiliasi), misalnya antara kantor pusat di Amerika dan anak perusahaan di Indonesia. Prinsip dasarnya adalah bahwa harga yang dikenakan harus sesuai dengan prinsip "arm's length" --- yaitu harga wajar seandainya transaksi itu dilakukan antar pihak independen.

Namun dalam praktiknya, perusahaan multinasional bisa mengatur harga tersebut agar keuntungan "dipindahkan" ke negara dengan tarif pajak lebih rendah. Misalnya, sebuah anak perusahaan di Indonesia membeli jasa lisensi dari afiliasinya di negara tax haven dengan harga sangat mahal, sehingga laba di Indonesia menjadi kecil, dan pajak yang dibayar pun minim.

Secara hukum, praktik ini sah selama perusahaan bisa membuktikan bahwa harga tersebut wajar. Tapi kenyataannya, negara-negara berkembang sering tidak memiliki cukup data pembanding, kapasitas audit, atau bahkan keberanian politik untuk menantang perusahaan raksasa.

BEPS: Upaya Dunia Menutup Celah

Melihat besarnya potensi kehilangan penerimaan negara dari praktik ini, OECD dan G20 menginisiasi proyek besar bernama Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Proyek ini dimulai tahun 2013 dan bertujuan menutup celah hukum internasional yang dimanfaatkan perusahaan multinasional untuk mengalihkan laba (profit shifting) dan menggerus basis pajak (base erosion).

BEPS terdiri dari 15 aksi, antara lain:

  • Aksi 13: Kewajiban pelaporan transfer pricing melalui dokumentasi tiga lapis (master file, local file, dan country-by-country report).

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
    Lihat Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun