Mohon tunggu...
Kuncoro Maskuri
Kuncoro Maskuri Mohon Tunggu... Dosen - Doktor Linguistik Pragmatik

Pembelajar Bahasa/Linguistik, Sosial Budaya, Pendidikan, dan Keagamaan. (email: dibyomaskuri@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Fried Chicken", Bukan Sekedar Bermakna Ayam Goreng

12 Maret 2018   11:24 Diperbarui: 12 Maret 2018   11:27 1739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

FRIED CHICKEN', BUKAN SEKEDAR BERMAKNA 'AYAM GORENG'

Bagi masyarakat kita yang tinggal di wilayah berpesisir/berpantai, mungkin 'ayam goreng' bukan menjadi salah satu lauk favorit dalam setiap sajian menu makannya tetapi ikan laut. Sebaliknya bagi masyarakat yang jauh dari pesisir, ikan laut bukan lauk favorit tetapi 'ayam goreng'. Terlepas dari kefavoritan atau ketidak favoritan 'ayam goreng' sebagai makanan pendamping/lauk pauk di dua daerah yang berbeda tersebut,  lauk 'ayam goreng' ini hampir selalu bisa dijumpai di setiap hajatan, misalnya di resepsi pernikahan, di arisan-arisan, di acara syukuran atau selamatan, di pesta ulang tahun, di kumpulan karyawan kantor, dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa 'ayam goreng' sangat dikenal, diterima, dan dikonsumsi  secara luas oleh masyarakat di manapun di Indonesia. 

Keberterimaan 'ayam goreng' di masyarakat ini memunculkan kreativitas masyarakat dalam olah memasak ayam goreng dan menamakannya  menurut asal daerah atau pembuat resep, misalnya  'ayam goreng Taliwang (dari Bali), ayam goreng Blitar (Jawa Timur), ayam goreng Sukabumi (Jawa Barat), ayam goreng Suharti (Jogjakarta/Jawa Tengah), dan lain-lain. Itu semua merupakan produk budaya Indonesia yang berupa makanan  dan sudah berlangsung selama berpuluh-pulun tahun lamanya. Penggunaan frasa 'ayam goreng' bukan sekedar terkait dengan unsur bahasa saja tetapi juga unsur yang lain, unsure sosio-kultural.

Dalam cara pandang kebahasaan/linguistik, makna frasa 'ayam goreng' merupakan simbol lingual/bahasa yang merujuk pada jenis makanan yang berasal dari daging ayam yang diolah secara digoreng. Jadi ketika seseorang membicarakan makanan berupa 'ayam goreng' maka dalam pikirannya tergambar wujud dari benda ayam goreng tersebut. Namun demikian ketika restoran waralaba seperti KFC (Kentucky Fried Chicken) atau CFC (California Fried Chicken) kira-kira tahun 1985-an  mulai masuk di kota-kota besar di Indonesia seperti, Jakarta, Surabaya, atau Bandung, maka masyarakat Indonesia mulai mengenal jenis makanan ayam goreng yang berbeda dari biasanya yang namanya dalam bahasa Inggris adalah 'fried chicken'.  

Bila di awal-awal keberadaan 'fried chicken' ini hanya  dinikmati oleh orang-orang yang berkantong tebal dan di tempat-tempat tertentu yang dianggap mahal, kini sudah sangat jauh berbeda. Sekarang ini hampir semua masyarakat dari anak-anak sampai orang tua, di desa maupun di kota, mengenal dengan baik 'fried chicken' dan juga biasa mengkonsumsinya. Bahkan sekarang  dengan mudah kita bisa menjumpai  'fried chicken' yang dijajakan oleh pedagang kaki lima bergerobak  di pinggir-pinggir jalan. Situasi seperti ini secara tidak langsung menjadikan pemakain frasa 'fried chicken'  turut populer pula di masyarakat kita. Dan saat ini frasa 'fried chicken' cenderung sudah meng-Indonesia.

Kepopuleran frasa 'fried chicken' di masyarakat berpengaruh pada pemakaian frasa tersebut dalam peristiwa komunikasi sehari-hari. Masyarakat lebih sering menggunakan frasa 'fried chicken' daripada frasa 'ayam goreng' ketika mereka membicarakan suatu jenis makanan yang berasal dari ayam yang pembuatannya secara digoreng. 

Frasa kata benda berbahasa Inggris ini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dimaknai menjadi 'ayam goreng' dalam bahasa Indonesia. Fenomena pemakaian frasa 'fried chicken' dalam praktek berbahasa Indonesia yang terjadi ditengah-tengah masyarakat saat ini seolah menggeser eksistensi frasa 'ayam goreng' dalam peristiwa komunikasi sehari-hari. Sebagai bukti bisa dicontohkan dalam dialog singkat antara seorang ayah  dan putri remajanya berikut ini.

 Si Putri : Ayah, nanti pas pulang bawain fried chicken ya?

Ayah     : Ok, siap boss.

Setiba sang Ayah kembali di rumah :

Ayah     : Nak, ini ayam gorengnya.

Si Putri : (Sambil membuka bungkus berujar) Ayah, ini bukan fried chicken, ini

ayam goreng.

Bila memperhatikan secara kritis contoh dialog singkat di atas, tampak bahwa pada dasarnya maksud 'fried chicken' dimaknai secara berbeda  oleh masing-masing penutur tersebut, seorang ayah dan putrinya.  Perbedaan ini terjadi antara lain karena adanya latar  belakang pengetahuan/pengalaman yang berbeda dari masing-masing penutur. Si Putri sebagai penutur pertama, dengan mengacu pada wujud benda ayam goreng yang dimaksudnya,  memaknai frasa 'fried chicken' sebagai jenis makanan ayam goreng yang  diselimuti dengan tepung gandum/terigu atau bisa juga  dimaknai sebagai ayam goreng ala Amerika. 

Terlihat bahwa makna tersebut sudah mendapat pengaruh budaya asal dari frasa 'fried chicken', Amerika.  Sementara sang Ayah sebagai penutur kedua memaknai 'fried chicken' sebatas pada arti terjemahan  dengan acuan bentuk bendanya yaitu ayam goreng yang tidak diselimuti tepung. Dengan kata lain sang ayah memaknai 'fried chicken' dipengaruhi oleh konsep budaya lokal. Fakta ini menunjukkan bahwa makna frasa 'fried chicken' yang berasal dari bahasa Inggris dipengaruhi oleh faktor budaya darimana bahasa itu berasal.  Jadi frasa 'fried chicken' kurang pas kalau hanya dimaknai sebagai 'ayam goreng' saja. Akan lebih pas jika dimaknai dengan 'ayam goreng Amerika', ini akan  memberikan makna  yang lebih utuh karena ada gambaran latar belakang budaya yang lebih jelas,  seperti pada  frasa 'ayam goreng Taliwang', ayam goreng Blitar, ayam goreng Sukabumi, dan lain-lain.

Dari fenomena sosio-kultural tentang 'ayam goreng' dan 'fried chicken' yang terjadi di masyarakat Indonesia ini,  baik dalam wujud  kebahasaan/linguistik maupun wujud bendanya, juga dapat kita lihat adanya interaksi sosio-kultural antara budaya lokal (Indonesia)  dengan budaya asing (Amerika). 

Namun interaksi sosio-kultural yang terjadi tampaknya lebih mengarah pada tergesernya budaya lokal oleh budaya asing. Dengan kata lain pengaruh hegemoni budaya asing cenderung lebih mendominasi budaya  lokal. Contoh percakapan antara seorang ayah dan putrinya yang tersebut di atas adalah salah satu bukti konkrit. Bukti konkrit lainnya adalah begitu menjamurnya penjual/pedagang 'fried chicken' di masyarakat. Hampir di setiap jalanan di sudut kota-kota di Indonesia, bahkan di desa-desa, dengan mudah dijumpai penjual 'fried chicken', yang menaruh  dagangannya di gerobak kaca. 

Dan pada gerobak kaca tersebut selalu ada tulisan nama dagangannya dengan  menggunakan frasa 'fried chicken' bukan 'ayam goreng', misalnya 'Barokah Fried Chicken', 'Rezeki Fried Chicken,', 'Lezat Fried Chicken', dan lain-lain.  Fenomena sosio-kultural seperti ini sesuatu yang tidak bisa dihindari, namun demikian pengetahuan tentang asal-usul/esensi suatu produk budaya asing ketika berinteraksi dengan budaya kita perlu dikenalkan kepada masyarakat. 

Hal ini dilakukan agar supaya akar budaya kita sendiri tidak tercabut sehingga nilai-nilai budaya kita sendiri selalu terjaga dalam diri kita, manusia Indonesia. (Sebagai pembanding bisa dilihat tulisan 'Ada Amerika di Tempe Goreng' di www.kompasiana.com/kuncoromaskuri/ada-amerika-di- tempe-goreng).

(solo1912032018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun