Mohon tunggu...
Daissy Sita
Daissy Sita Mohon Tunggu... Founder Kunci Hidup | Praktisi Penyembuhan Emosional & Spiritual

Menulis tentang trauma emosional, inner child, vibrasi tubuh, energi perempuan, dan transformasi spiritual. Konten saya mengajak pembaca pulang ke diri otentik mereka melalui refleksi dan pendekatan holistik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Donat Pinkan Mambo dan Rasa Aman yang Tak Pernah Datang

29 Juli 2025   03:27 Diperbarui: 29 Juli 2025   03:27 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Donat pink karya probadi oleh penulis

“Kita tidak sedang membeli donat. Kita sedang mencari pelukan yang tidak pernah datang.”

Donat Pinkan Mambo viral. Tapi bukan karena rasanya.
Donat itu menyentuh lapisan lain: nostalgia masa kecil, luka kolektif, dan kebingungan publik tentang mana yang “kasihan” dan mana yang “jujur”.

Tapi mari kita tidak berhenti di gosip.
Mari kita lihat lebih dalam: lewat lensa psikologi, somatik, dan spiritualitas.

Kenapa Donat Bisa Begitu Menggoda Saat Kita Lelah Emosional?

Riset Harvard Health Publishing (2020) menjelaskan: makanan tinggi gula dan lemak memicu dopamin dan endorfin hormon yang bikin nyaman… sebentar.

University of California (2013) menambahkan,  setelah lonjakan gula, tubuh crash, dan justru makin cemas, capek, dan moody.

Polanya seperti ini:

  • Trigger emosi → merasa kosong/overwhelm

  • Makan comfort food → rasa “lega” sesaat

  • Crash → rasa bersalah dan ingin lagi

Loop tak berujung. Makan bukan karena lapar, tapi ingin aman.

Tubuh yang Terluka Mencari Gula, Bukan Nutrisi

Menurut Dr. Peter Levine (Somatic Experiencing®), trauma tersimpan di sistem saraf. Saat terpicu, tubuh cari cara mematikan rasa.

Makanan jadi pelarian karena:

  • Praktis dan mudah

  • Tidak dihakimi

  • Memberi ilusi kasih sayang

Dalam teori Polyvagal (Dr. Stephen Porges), makanan adalah “teman palsu” saat kita tak punya sistem dukungan emosional.

Inner Child, Empati Buta, dan Drama Donat

Kenapa banyak netizen justru membela mati-matian?
Karena luka mereka ikut terpanggil.

  • Protektor inner child: Terpicu melihat “ibu-ibu” dikritik

  • Spiritual bypass: Menolak kritik dengan alasan “niat baik”

  • Empati yang tidak sehat: Kasihan bukan berarti membenarkan semua

Cinta sejati adalah melihat luka dan tetap menuntut tanggung jawab.

Spiritual Tapi Masih Lari ke Gula? Hati-Hati dengan Bypass Energi

Bicara vibrasi tinggi, Law of Attraction, dan healing...
Tapi kalau:

  • Makan berlebihan saat stres

  • Menolak emosi tidak enak

  • Hanya afirmasi tanpa tubuh ikut serta

...itu artinya healing masih di kepala, belum masuk ke tubuh. Orang jawa bilang jarkoni aka bisa ngajarin tentang ini itu tapi praketeknya nihil!!

Lalu, Apa Solusinya? Pulang ke Diri, Bukan ke Donat

Yang kamu butuhkan bukan rasa manis. Tapi:

  • Tubuh yang boleh menangis

  • Saraf yang tak lagi lari

  • Emosi yang diproses, bukan ditumpuk

Coba:

  • Latihan somatik: orienting, vagus breath, shaking

  • Bertanya sebelum makan: “Aku benar-benar lapar, atau butuh pelukan?”

  • Jurnal inner child dan latihan grounding

Butuh Panduan Praktis?

1. Gunakan audio “Somatic Release Practice” di KH App atau program Kunci Koneksi Batin (KKB)

2. Atau unduh Self-Audit Blueprint Emosional: panduan mengenali emosi dan pola pelarianmu

3. Akhirnya, Ini Bukan Tentang Donat. Ini Tentang Kamu.

Pinkan hanya manusia. Donatnya hanya produk.
Tapi reaksi kita semua adalah peta luka kolektif yang belum sembuh.

Sebelum menyerang, membela, atau membeli…
Tanya dulu:
“Apa yang sebenarnya sedang aku cari?”

Jika kamu suka tulisan ini dan ingin belajar mengenali pola emosimu dengan cara yang trauma-informed dan lembut, kamu bisa coba versi gratis dari Kunci Koneksi Batin di sini:
👉 [Link KKB Free Trial]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun