“Kita tidak sedang membeli donat. Kita sedang mencari pelukan yang tidak pernah datang.”
Donat Pinkan Mambo viral. Tapi bukan karena rasanya.
Donat itu menyentuh lapisan lain: nostalgia masa kecil, luka kolektif, dan kebingungan publik tentang mana yang “kasihan” dan mana yang “jujur”.
Tapi mari kita tidak berhenti di gosip.
Mari kita lihat lebih dalam: lewat lensa psikologi, somatik, dan spiritualitas.
Kenapa Donat Bisa Begitu Menggoda Saat Kita Lelah Emosional?
Riset Harvard Health Publishing (2020) menjelaskan: makanan tinggi gula dan lemak memicu dopamin dan endorfin hormon yang bikin nyaman… sebentar.
University of California (2013) menambahkan, setelah lonjakan gula, tubuh crash, dan justru makin cemas, capek, dan moody.
Polanya seperti ini:
Trigger emosi → merasa kosong/overwhelm
Makan comfort food → rasa “lega” sesaat
Crash → rasa bersalah dan ingin lagi
Loop tak berujung. Makan bukan karena lapar, tapi ingin aman.
Tubuh yang Terluka Mencari Gula, Bukan Nutrisi
Menurut Dr. Peter Levine (Somatic Experiencing®), trauma tersimpan di sistem saraf. Saat terpicu, tubuh cari cara mematikan rasa.
Makanan jadi pelarian karena:
Praktis dan mudah
Tidak dihakimi
Memberi ilusi kasih sayang
Dalam teori Polyvagal (Dr. Stephen Porges), makanan adalah “teman palsu” saat kita tak punya sistem dukungan emosional.
Inner Child, Empati Buta, dan Drama Donat
Kenapa banyak netizen justru membela mati-matian?
Karena luka mereka ikut terpanggil.
Protektor inner child: Terpicu melihat “ibu-ibu” dikritik
Spiritual bypass: Menolak kritik dengan alasan “niat baik”
Empati yang tidak sehat: Kasihan bukan berarti membenarkan semua
Cinta sejati adalah melihat luka dan tetap menuntut tanggung jawab.
Spiritual Tapi Masih Lari ke Gula? Hati-Hati dengan Bypass Energi
Bicara vibrasi tinggi, Law of Attraction, dan healing...
Tapi kalau:
Makan berlebihan saat stres
Menolak emosi tidak enak
Hanya afirmasi tanpa tubuh ikut serta
...itu artinya healing masih di kepala, belum masuk ke tubuh. Orang jawa bilang jarkoni aka bisa ngajarin tentang ini itu tapi praketeknya nihil!!
Lalu, Apa Solusinya? Pulang ke Diri, Bukan ke Donat
Yang kamu butuhkan bukan rasa manis. Tapi:
Tubuh yang boleh menangis
Saraf yang tak lagi lari
Emosi yang diproses, bukan ditumpuk
Coba:
Latihan somatik: orienting, vagus breath, shaking
Bertanya sebelum makan: “Aku benar-benar lapar, atau butuh pelukan?”
Jurnal inner child dan latihan grounding
Butuh Panduan Praktis?
1. Gunakan audio “Somatic Release Practice” di KH App atau program Kunci Koneksi Batin (KKB)
2. Atau unduh Self-Audit Blueprint Emosional: panduan mengenali emosi dan pola pelarianmu
3. Akhirnya, Ini Bukan Tentang Donat. Ini Tentang Kamu.
Pinkan hanya manusia. Donatnya hanya produk.
Tapi reaksi kita semua adalah peta luka kolektif yang belum sembuh.
Sebelum menyerang, membela, atau membeli…
Tanya dulu:
“Apa yang sebenarnya sedang aku cari?”
Jika kamu suka tulisan ini dan ingin belajar mengenali pola emosimu dengan cara yang trauma-informed dan lembut, kamu bisa coba versi gratis dari Kunci Koneksi Batin di sini:
👉 [Link KKB Free Trial]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI