Bertanyalah pada diri sendiri, dengan jujur, tanpa filter Instagram:Â
Apakah anak kita, kelak, akan mengenang kita sebagai orang tua yang ada, yang ikut tertawa dan menangis bersama, atau hanya sebagai "pemberi" yang sibuk, yang hanya hadir sebagai bayangan dalam ingatan?
Parenting vs Providing
Parenting bukan hanya tentang menyediakan, tentang mengisi keranjang belanja dan tabungan anak. Ia tentang hadir---secara utuh, sabar, dan mau mendengarkan, bahkan saat kita lelah sampai ke tulang sumsum. Providing adalah satu sayap, sayap yang kuat menahan beban ekonomi.
Parenting adalah sayap lainnya, sayap yang lembut mengarahkan kebahagiaan. Anak-anak butuh keduanya agar bisa terbang tinggi, menembus cakrawala impian, bukan sekadar berjalan terseok-seok dengan beban yang kita tinggalkan, seperti para pendaki yang kelelahan karena terlalu banyak membawa bekal.
Dan pada akhirnya, bukan fasilitas mewah yang mereka rindukan dari kita. Bukanlah video game terbaru, bukan liburan ke Disneyland, bukan pula gelar sarjana dari universitas paling elite. Tapi sosok.Â
Sosok yang tahu kapan harus menegur dengan bijak, kapan harus memeluk erat tanpa kata, dan kapan cukup duduk diam di samping mereka---sebagai bukti cinta yang tak pernah tergantikan oleh benda mati mana pun. Cinta yang terukir bukan di batu nisan, melainkan di hati sanubari.
Di era digital ini, para ahli seperti Simon Sinek sering mengingatkan bahwa koneksi manusia adalah mata uang terpenting. Namun, kita justru terjerumus dalam paradoks: semakin terkoneksi secara digital, semakin terputus secara emosional. Kita sibuk scroll kabar dunia, tapi lupa scroll hati anak di rumah.
Survei global oleh UNICEF pada tahun 2021 menunjukkan peningkatan drastis masalah kesehatan mental pada anak dan remaja, salah satunya dipicu oleh kurangnya koneksi interpersonal yang berkualitas dengan orang tua. Ini bukan sekadar data, ini adalah alarm keras yang seharusnya membuat kita terjaga dari mimpi buruk kesibukan.
Ironisnya, para orang tua masa kini adalah generasi yang paling sibuk sepanjang sejarah, namun juga generasi yang paling sering merasa bersalah. Kita dikejar-kejar deadline kantor yang tak ada habisnya, dipaksa berinovasi agar tak tergilas roda ekonomi, dan kemudian pulang dengan raga yang lelah namun pikiran yang masih berputar di poros pekerjaan.
Anak-anak melihat kita sebagai pahlawan super, namun pahlawan super yang jarang ada di rumah. Sebuah sarkasme modern: kita membangun menara gading untuk anak, tapi lupa membangun jembatan hati ke mereka.
Kita sering menggembar-gemborkan "quality time" sebagai solusi. Seolah-olah, 15 menit quality time bisa menebus 15 jam absen. Ini hiperbola yang berbahaya. Quality time bukanlah pil ajaib yang bisa diminum sesekali untuk menyembuhkan luka absen.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!