Mohon tunggu...
Kurnia Trisno Yudhonegoro
Kurnia Trisno Yudhonegoro Mohon Tunggu... Administrasi - Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Coronavirus dan Proyek Ibu Kota Baru: Saatnya Realistis Menghadapi Kenyataan

27 Maret 2020   15:48 Diperbarui: 27 Maret 2020   15:54 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KPBU sangat bergantung kepada ketersediaan dana dari swasta dan APBN. Swasta posisinya sudah disebutkan diatas. Swasta Domestik baru akan siap turun paling cepat pertengahan 2022. Adapun Swasta Luar Negeri sangat sulit untuk diharapkan, paling cepat baru pada 2025 bisa membantu.

Bila kita lihat kondisi BUMN Karya (WIKA,PTPP,HK,KS,JS), kondisinya tidak terlalu menggembirakan. Praktis selain Wijaya Karya, semuanya memiliki utang lebih dari tiga kali lipat dari modalnya.

Krakatau Steel malah sampai harus merestrukturisasi hutangnya karena kesulitan arus kas. Waskita Karya demi menambah arus kas, melepas 40% hak konsesi beberapa segmen jalan tol trans jawa ke investor dari Hongkong.

Bilapun kita melihat model KPBU yang berjalan, yaitu bandara Komodo di Flores, maka terlihat dengan gamblang bahwa di bandara Komodo tetap di awal menggunakan dana APBN, baru belakangan dikerjasamakan.

Artinya, terlepas dari model KPBU, Ujung-ujungnya yang paling bisa diandalkan adalah APBN, oleh karena itu selanjutnya kita akan mencoba melihat kondisi APBN kita

APBN

Dalam perencanaan BAPPENAS, APBN yang digunakan "hanya" sekitar Rp 90 Trilyun. Bila kita memakai angka tersebut, maka pada tentunya penganggarannya harus dilakukan multiyears karena dapat mengganggu arus kas negara bila ditaruh pada satu saat. Artinya pada 2021 kita harus menyediakan 31 Trilyun, 2022 32 Trilyun dan 2023 33 Trilyun Rupiah. Pertanyaan pentingnya, sanggupkah kita menganggarkan sejumlah demikian?

Realisasi APBN 2019 sangat jauh panggang dari api. Proyeksi pendapatan pajak meleset Rp 241 Trilyun dari target, sehingga praktis defisit membengkak. Problemnya, APBN 2020 mematok pendapatan pajak yang meningkat 13,5 % dari target 2019. Ini sebelum badai wabah Coronavirus melanda. Bila kita melihat realisasi pendapatan negara sampai dengan Februari 2020, maka penerimaan pajak turun 4,97 % dibanding tahun 2019.

Artinya jelas, bahkan pada awal tahun sekalipun penerimaan negara sudah sangat terpukul, dan akan sangat sulit untuk bisa mencapai target yang ditentukan. Berita di harian kontan tanggal 27/3 yang menyebutkan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan opsi penerbitan Recovery Bond, dengan meminta BI sebagai standby buyer, menunjukkan betapa seriusnya kondisi keuangan negara saat ini.

Ini belum lagi menghitung biaya tambahan akibat program stimulus Covid-19 dan biaya penanganan yang saat ini sudah mencapai hampir 140 Trilyun Rupiah. Belum lagi keputusan MA yang mementahkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Praktis Tahun ini saja BPJS Kesehatan akan membutuhkan suntikan dana setidaknya 40 -- 50 Trilyun Rupiah untuk tetap hidup. Angka itu diluar iuran PBI yang ditanggung pemerintah sebesar 27 Trilyun Rupiah pada 2019. Total untuk BPJS jelas sekitar 70 - 80 Trilyun Rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun