Dalam teori Hans Kelsen dan praktik negara-negara konstitusional modern, MK adalah negative legislator, yakni pembatal norma, bukan pembuat norma. MK yang sudah negative legislator tidak dibenarkan menjadi sekaligus positive legislator sebab merusak sistem ketatanegaraan yang berdasar pemisahan kekuasaan (separation of power).Â
Jika suatu Putusan MK sampai tercederai dengan memuat norma baru oleh MK yang melakukan positive legislator maka konsekuensi logis Putusan MK itu hanya final secara prosedural yudisial saja karena tidak boleh mengalahkan supremasi konstitusi sehingga tidak final dan mengikat secara normatif atau legislatif untuk diikuti oleh pembentuk UU.
Selama ini banyak pihak kurang paham dengan menilai dan mengikuti setiap Putusan MK seolah-olah semuanya final dan mengikat secara absolut, paparnya.
Untuk itu politisi yang pernah kuliah di FS Filsafat UI Rawamangun tahun 1980-an itu memberi analogi dengan membayangkan MK sebagai wasit pertandingan bola. Wasit boleh membatalkan gol tidak sah (negative legislator), tapi tidak boleh wasit ikut mencetak gol atau mengubah peraturan pertandingan (positive legislator). Jika wasit tiba-tiba melampaui tugasnya atau melanggar aturan dengan ikut mencetak gol, maka semua pemain tentu tetap menghormatinya sebagai wasit (final), tetapi tidak akan mengakui golnya Wasit itu sah menurut aturan pertandingan (tidak mengikat secara normatif).
Diskusi seperti inilah dahulu melatarbelakangi lahirnya Pasal 57 ayat (2a) melalui proses diskusi panjang di pansus/panja perubahan pertama UU MK Tahun 2011 yang menegaskan larangan keras bagi MK cawe-cawe positive legislator,hingga Pasal 57 ayat (2a) menyatakan :
"MK tidak diperbolehkan merumuskan norma baru sebagai pengganti materi muatan undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945."Â
Sembilan tahun kemudian ketentuan Pasal 57 ayat (2a) ini dihapus pada perubahan kedua UU MK tahun 2020 tanpa alasan akademis dan kajian yang belum diketahui kejelasannya. Tapi MK tentu tidak boleh memandang penghapusan itu otomatis melegitimasi MK dapat membuat norma baru UU. Sebab pada tahun 2021, MK malah menetapkan Pasal 73 dalam Peraturan MK No. 2/2021 yang justru membuka celah yuridis membuat norma baru dalam uji materil UU. Dan sesudah itu, beberapa Putusan MK keluar dengan memuat norma baru UU.Â
Dengan jalan konstitusional demi negara itu maka MK kedepan adalah konsisten negatif legislator berdasarkan UUD 1945.Â
Kedua, Berangkat dari Putusan MK No.135/2024 yang final secara prosedural yudisial dan tidak final dan mengikat secara normatif atau legislatif, namun apabila dalam putusan MK itu secara obyektif mengandung materi gagasan baik bagi negara maka perlu diperhatikan oleh pembentuk UU dan publik sebagai masukan melalui open legal policy.
Terhadap gagasan eksperimen pola kontestasi politik dua siklus pemilu nasional dan pemilu daerah dibuat terpisah 2-2,5 tahun yang terkandung dalam Putusan MK tersebut, menurut kajian SOKSI paling tidak terdapat lima catatan penting.Â
Catatan pertama, gagasan pola kepemiluan dua siklus itu lemah korelasi dan urgensinya jika dihadapkan dengan upaya memecahkan masalah utama kepemiluan khususnya dalam pileg dan pilkada yang sarat masalah anarkhi politik uang, bansos selain integritas oknum para penyelenggara serta besarnya beban kerja petugas. Padahal perubahan UU tujuannya untuk memecahkan masalah kepemiluan, minimal dapat menguranginya signifikan kedepan.