Menjawab pertanyaan pers, bagaimana jika MK dan pihak lainnya membantah, Ali Wongso menjawab siap menjelaskan asal mereka rasional kritis dalam koridor konstitusionalisme berbasis UUD 1945, tegas mantan Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu.
Menurutnya polemik Putusan MK No 135/2024 ini sebaiknya diakhiri saja segera tanpa deadlock constitution dan amandemen kelima konstitusi atau issu lainnya yang tak perlu, sekaligus mengantisipasi perlunya waktu cukup bagi pembentuk UU dan ruang partisipasi, artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat diproses perubahan UU Pemilu dan Pilkada hingga selesai baik dan diundangkan kelak tidak mepet dengan Pemilu dan Pilkada 2029 kelak.
Menurut Ali Wongso untuk mengakhiri polemik tersebut terletak ditangan pemegang kekuasaan pembentuk UU yaitu DPR bersama Presiden wajib mengambil sikap bijaksana dengan menegaskan memilih "jalan konstitusional demi negara" yaitu :
"pembentuk UU tidak mungkin bisa mengikuti penyimpangan konstitusional UUD 1945 didalam Putusan MK No. 135/2024", tegas mantan anggota Pansus/Panja/Tim Perumus UU No.8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua UU MK No.24 Tahun 2003 itu kepada pers pada Jumat (25/07) di Jakarta.
Anggota BALEG DPR 2009-2014 itu meyakini MK akan menerima "jalan konstitusional demi negara" demikian itu, sebab sudah saatnya MK berada kembali di era jalan konstitusional demi negara. Sembilan hakim MK yang mulia itu pasti menguasai seluruh isi konstitusi UUD 1945 termasuk Pasal 1 ayat (2) bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD", dimana UUD dimaksud itu bukanlah menurut tafsir MK sendiri secara tunggal dan absolut. MK tidak boleh berada diatas konstitusi dan tidak menjadi potensi ancaman terhadap prinsip checks and balances dalam sistem presidensial.
Sembilan hakim konstitusi yang mulia juga kita percaya memahami Pasal 24 C ayat (5) yang mengamanatkan bagaimana jatidiri seorang hakim konstitusi dan logis para yang mulia itu ingin jatidirinya dinilai memenuhi Pasal 24 C ayat (5) itu, ujarnya.
Lebih lanjut menjawab pertanyaan wartawan yang lebih detail tentang fondasi dari "jalan konstitusional demi negara" itu bagi pembentuk UU yaitu DPR bersama Presiden sehingga perlu mengambil sikap tegas demikian, politisi senior mantan Ketua DPP Partai Golkar tiga periode itu menyatakan paling kurang, ada dua substansi rasional, yaitu :Â
Pertama, Putusan MK No. 135/2024 menunjukkan MK sebagai Negative Legislator tapi faktanya telah melakukan tugas Positive Legislator yang menyalahi UUD 1945 khususnya Pasal 24 C dan Pasal 20.
MK sebagai penjaga konstitusi (guardian of the constitution) seharusnya menjaga kemurnian UUD 1945 secara utuh. Pasal 24C terdiri dari enam ayat yang tak bisa dipisahkan tapi bisa dibedakan. Pasal 24C ayat (5) mengatur para hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,adil, negarawan,dan menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Tidak bisa lepas dari ayat (1) yang mengatur MK sebagai Negative Legislator karena kewenangannya dalam konteks UU hanya menguji UU terhadap UUD 1945, bukan membuat norma UU termasuk tafsir yang mengarahkan ke suatu norma baru UU (Positive Legislator).
Dalam uji materil UU,maka MK berwewenang menafsirkan apakah norma UU yang diuji itu bertentangan atau tidak dengan UUD 1945 ? Jika MK memutuskan bertentangan maka norma UU yang diuji itu tidak lagi bekekuatan hukum dan putusan MK itu bersifat final dan mengikat.Â
Tetapi MK tidak berwewenang membuat norma baru mengganti norma UU yang diputuskan tidak lagi berkekuatan hukum itu, meski berdalih mengisi sementara kekosongan hukum sambil menunggu perubahan UU oleh pembuat UU. Itu tidak bisa karena norma baru pengganti itu adalah kewenangan pembentuk UU yaitu DPR bersama Presiden sesuai Pasal 20 UUD 1945 melalui mekanisme pembuatan UU berdasarkan UU yang berlaku.Â