Mohon tunggu...
Ksatria Nusantara
Ksatria Nusantara Mohon Tunggu... -

Cinta NKRI, Berjiwa Merah Putih, Anti Penjajahan... Moerdeka ataoe mati!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bahaya Laten Tentara Bila Panglima TNI Ingin Jadi Penguasa

21 Februari 2015   23:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 1858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Salah satu pusat kritik pada rezim Orde Baru adalah berlakunya dwifungsi tentara. Fungsi pertama, pertahanan keamanan dan fungsi kedua sosial politik. Praktis, negara di bawah kendali penuh militer. Dwifungsi tentara tersebut punah seiring rezim yang berubah. Selanjutnya TNI back to barack, berlatih terus dan terus berlatih keahlian militer menuju tentara profesional. Back to basic sebagai fungsi pertahanan dari segala ancaman dengan segala bentuknya dari uar dan dalam negeri.

Memang, dalam UU TNI diamanatkan bahwa TNI dimungkinkan untuk melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) atau pengerahan kekuatan militer di masa damai untuk 14 tujuan. Diantaranya, membantu Polri dalam rangka tugas Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Hal ini seperti yang diatur dalam sejumlah UU, diantaranya UU No.7 tahun 2012 pasal 1 tentang Penanganan Konflik Sosial. Disamping itu OMSP juga bisa dilakukan untuk tujuan membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (SAR). Posisinya hanya membantu, bukan pengendali operasi.

Namun tidak banyak yang tau, tidak mau tau atau pura-pura tidak tau yang harus dipahami oleh TNI-termasuk panglimanya- bahwa semua tujuan diselenggarakan OMSP itu harus berdasarkan kebijakan dan keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan dari DPR. Artinya adalah, Panglima TNI tidak boleh menyelenggarakan OMSP secara spontan semaunya sendiri, bahkan Presiden RI pun juga tidak boleh.

Itulah sebabnya mengapa Presiden SBY mendapat teguran dari DPR RI saat mengerahkan kekuatan militer untuk membebaskan ABK MV Sinar Kudus yang dibajak di perairan Somalia pada tahun 2011, sementara ABK itu dapat bebas karena tuntutannya telah dibayar lunas oleh pemilik kapal.

OMSP tanpa persetujuan juga acap sekali dilanggar pada peristiwa kebencana alaman, kecelakaan transportasi atau bencana kemanusiaan lainnya. Pada peristiwa tersebut, negara sudah menyiapkan badan khusus Basarnas (Badan SAR Nasional). Badan inilah garda terdepan yang bertanggung jawab pada musibah atau bencana yang terkait dengan alam.

Hal seperti ini agaknya tidak dipahami oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Atau, staf ahlinya sudah memberitau tetspi diabaikan sang Panglima. Bahwa SAR sebagai salah satu OMSP yang tidak bisa dilakukan spontan oleh Panglima TNI ternyata tidak dipahami oleh Jendral TNI Moeldoko. Dia merasa tidak aneh mengambil alih tugas Basarnas tanpa didasari kebijakan dan keputusan politik negara, dengan memimpin langsung pengangkatan badan Pesawat AirAsia QZ8501 yang tenggelam di perairan selatan pulau Kalimantan. Sila baca: http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/08/nhuiuw-panglima-tni-pimpin-langsung-pengangkatan-air-asia-qz8501

Peristiwa ini menjadi satu-satunya SAR di dunia yang dipimpin langsung oleh Panglima militer suatu negara. Aneh, sungguh aneh. Di bawah kepemimpinan Jenderal Moeldoko, tentara diajak kembali masuk ke wilayah urusan sipil. Perlahan dan jika dibiarkan, hal ini akan menjadi dominasi baru kembalinya militer dalam kehidupan sipil di Indonesia.

Jauh sebelum itu, saat peringatan HUT TNI tahun 2014 diberitakan Panglima TNI mengangkat seluruh Gubernur menjadi warga kehormatan TNI. Alasannya agar mereka bisa langsung menggunakan unsur TNI yang berada di wilayahnya. Kebijakan ini terkesan populis, reformis dan memihak rakyat. Padahal, jika tidak didasari oleh kajian regulasi dan kajian strategis lainnya oleh TNI, kebijakan tersebut artinya mendelegasikan kewenangan Panglima TNI atau Pangdam kepada Gubernur.

Satu sisi memang terlihat seolah demokratis, militer di bawah kendali pemerintahan sipil. Namun, lemahnya kajian regulasi, kajian filisofi, kajian histori dan analisis strategis lainnya, TNI dapat terjerumus dan mengarah pada TDI (Tentara Daerah Indonesia). Tampaknya, Jenderal Moeldoko tipikal seorang Panglima dengan kebijakan cepat saji. Semua kebijakan disajikan secara cepat, tanpa suatu analisis dan kajian yang memadai. Suatu kebijakan yang rapuh karena hanya bersandar pada capaian ingin memuaskan semua pihak. TNI menjadi seperti alat pemuas saja.....

Lihatlah, kisruh KPK dgn Polri juga dimanfaatkan sebagai arena pencitraan oleh Jenderal Moeldoko. Moeldoko seperti Jenderal yang lupa diri dengan mengerahkan Kopassus untuk menjaga gedung KPK. Namun rupanya TNI AD membantah, lantas Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan kalau polemik KPK-Polri sudah memasuki kategori 'high intensity' maka TNI akan turun. Pernyataan ini menuai protes keras dari elite PDIP di Komisi I DPR RI. Baca:
http://news.detik.com/read/2015/02/18/141409/2836701/10/pdip-kritik-tanggapan-panglima-tni-soal-polemik-kpk-polri Bahkan saat Pimpinan KPK kosong karena menjadi TSK, muncul meme dan wacana Panglima TNI sebagai Ketua KPK.

Hampir di waktu bersamaan, kasus penganiayaan perwira POLRI oleh POM TNI AL yang melaksanakan razia di ruang publik, Panglima TNI Jenderal Moeldoko pun menegaskan bahwa jajarannya melakukan razia tersebut atas perintah langsung darinya. Baca: http://m.detik.com/news/read/2015/02/18/121121/2836515/10/

Sebelumnya Moeldoko menyatakan menjamin keamanan di sentra bisnis internasional SCBD (Sudirman Central Business Distric) Jakarta Selatan. Bagi orang kritis yang mau berfikir, ini jelas menunjukkan Panglima TNI ingin mengambil alih tugas Polri dan Satpam untuk pengamanan setempat. Seakan hadir ingin memberi kepuasan pada publik, padahal ingin menguasai urusan publik sebagai salah satu kinerja pencitraan. Hal lainnya membiarkan seorang menteri KKP yang secara demonstratif--mendapat liputan media secara luas dan terbuka--untuk memberi komando kepada Kapten Kapal TNI AL menembak kapal kayu nelayan. Tugas penenggelaman kapal rongsokan seperti itu jelas memalukan bagi TNI AL.

Peristiwa paling baru sebagai medan produksi citra bagi Panglima adalah penandatangan MoU antara TNI dan Kemenhub untuk pengamanan bandara dan stasiun KA. Hal ini menyusul kisruh masif penumpang Lion Air yang marah karena diterlantarkan di bandara. Dengan alasan bandara dan stasiun KA merupakan obyek vital, Panglima menyeret masuk TNI pada urusan sipil. Padahal obyek vital nasional yang bersifat strategis mempunyai ciri-ciri dapat menghasilkan kebutuhan pokok sehari-hari, ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan bencana terhadap kemanusiaan dan terganggunya penyelenggaraan pemerintah negara.

Dalam Keppres No.63/2004 pemerintah menyebutkan bahwa obyek vital nasional merupakan kawasan/lokasi/bangunan/instansi dan/atau usaha menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis. Pengelola obyek vital nasional adalah perangkat otoritas dari obyek vital nasional. Obyek vital nasional yang bersifat strategis memenuhi salah satu, sebagian atau seluruh yang mempunyai ciri-ciri dapat menghasilkan kebutuhan pokok sehari-hari, ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan bencana terhadap kemanusiaan dan pembangunan, kekacauan transportasi dan komunikasi secara nasional serta terganggunya penyelenggaraan pemerintah negara.

Bila dicermati, hampir seluruh rangkai peristiwa tersebut selalu terkait dengan perhatian publik yang luas. Agaknya, Panglima TNI memanfaatkan perhatian publik tersebut sebagai kendaraan gratis untuk menaikkan citra popularitas pribadi. Untuk apa? Bisa jadi untuk memuaskan diri sendiri atau demi suatu ambisi menjadi Presiden di kemudian hari nanti... Entahlah.

Dalam kajian cultural studies, Jenderal Moeldoko dapat dikatakan terjangkiti virus patologi media. Sesungguhnya patologi media ini menyerang hampir seluruh pejabat dan pemimpin publik di Indonesia, tidak terkecuali Panglima TNI. Patologi media menelan korbannya melalui pagelaran medan pencitraan. Untuk pejabat publik, pencitraan itu seperti umpan yang mengandung candu. Sekali masuk perangkap, korban bisa ketagihan bahkan sakaw. Hingga akhirnya seluruh peristiwa dimaknai sebagai arena produksi citra.

Peristiwa demi peristiwa tersebut seperti kuas yang menggores lukisan wajah Jenderal Moeldoko. Seorang Jenderal TNI yang ambisius dan haus akan pencitraan diri. Tentu ini sangat berbahaya karena seorang Panglima bukanlah orang biasa, dia memiliki kekuatan bersenjata. Sebagai rakyat yang mencintai NKRI dan TNI, tentu kita harus mengingatkan Jenderal Moeldoko agar TNI tidak lagi salah arah dalam mensikapi kehidupan berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun