Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menggores Kesan di Sabtu Mendung

27 Februari 2021   09:05 Diperbarui: 27 Februari 2021   09:11 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku, Sabtu, dan mendung. Foto: popbela.com.

Sabtu itu waktu melepas lelah, melenturkan otot, dan menguliti penat. Di penghujung pekan, Sabtu biasanya memberi kesan. Tapi jika kesan itu terlampau jatuh di hari Sabtu, agaknya aku dipaksa untuk melakukan sesuatu. 

Biasanya apa? Pelesiran, meluncur ke Puncak, nongkrong, nimbun gossip sambil ngumpul, atau kadang dipakai 'tuk menyeka keringat yang membekas sepanjang hari kerja dari Senin hingga Jumad. Jika Sabtu mendung, lah gimana dong?

Saat alarm membuktikan tanggung jawabnya tuk membangunkanku di pukul 05.00, aku membuka mata. Kebetulan aku tidur semalam membentuk patung Buddha melirik matahari. Tanganku memeluk guling dan dua kaki menendang selimut. Coba bayangkan, kayak gimana rasanya?

Arah mataku menuju tirai jendela yang tersibak angin pagi. Di luar sana, gelap menyelimuti bumi. Di seberang jalan, bunyi lalu-lalang kendaran adalah hal biasa. 

Tapi, kok tak seperti biasanya ya. Seharusnya, dahan pohon di sebelah kamarku terlihat jelas pada waktu alarm mengingatkanku tuk bangun. Rupanya hari masih gelap. Awal gelap memberi isyarat untuk hari Sabtu kali ini.

Di daftar rencana, pagi ini aku seharusnya lari -- pokoknya lari untuk kesehatan ceritanya. Lari itu ada di daftar rencana, tetapi tidak masuk daftar keinginan Sabtu. Bagaimana mungkin? Ya memang, gelap disertai hujan di pagi ini membuat Sabtu enggan melepas kesan. 

Bagiku, Sabtu itu mengesankan -- setidaknya mengesankan karena memenuhi hasrat dan keinginan pribadiku untuk melakukan sesuatu. Tapi, toh kali ini, Sabtu dikerubung mendung. Melempar pandangan ke arah terjauh, Sabtu tetap mendung. Saya berharap, cukup berhenti di mendung dan jangan sampai menenun kalbu.

Tak puas dengan sajian mendung di awal Sabtu, aku pun keluar kamar dan ingin menyaksikan secara dekat bagaimana aku dan alam saling menyapa di pagi hari. Ketika pintu kamar dibuka, sapaan angin di sekujur lorong membuat lubang pori-pori kulitku terbangun. Ini sebetulnya menunjuk tanda. Tanda bahwa Sabtu memang dikuasi mendung sepertinya benar dan kali ini, rupanya tak mungkin tuk dikendalikan. Sambil menghabiskan ronde terakhir dari rasa kantuk sejak semalam, aku melebarkan mulut dan mengerak-gerakkan badan.

Menuju pukul 05.30, hawa tetap dingin dan alam terang tak kunjung nampak. Dari latar ini, saya sudah menduga, ruang gerak hari ini tak sejauh tempat berteduh. Jika mau keluar dari rumah, tak hanya masker yang dibawa pergi, pelindung tubuh dari dingin dan hujan pun juga harus dibawa. Kan ini musim korona dan hujan. Semuanya mengekang batin dan psikis. Jika tak kuat, keduanya mengantar kita ke liang lahat. Bagaimanapun juga, Sabtu kali ini benar-benar dikerubung mendung.

Kalau memang Sabtu kali tak memberi kesan, aku sendiri berikhtiar 'tuk memoles kesan pada Sabtu. Pacarku berpesan, Sabtu baru kutelfon, soalnya Sabtu aku nggak ke mana-mana dan nggak sibuk. Nah, kesan di Sabtu mendung rupanya mendapat tempat. Jika orang spesial ini menelfon, mendung berubah cepat mengepak cerah. 

Jadi aku mengisi mendung Sabtu dengan menyaksikan kata-kata keluar dari mulut si orang spesial ini. Rasanya meaningless. Tapi, inilah cara yang sedikit baik dari semua yang kurang baik yang disajikan latar Sabtu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun