Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi: Kompres Birokrasi, Rampingkan Regulasi

30 November 2020   16:48 Diperbarui: 30 November 2020   17:09 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RI Joko Widodo. Ilustrasi foto: sumber Kompas.tv.

Langkah Presiden Joko Widodo membubarkan 10 Lembaga Negara Non-Kementerian adalah bagian dari proyek besar merampingkan sistem birokrasi di negara ini. 

Langkah ini adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Jokowi pelan-pelan membenahi gurita birokrasi yang selama ini kadang menghambat proses akselerasi berbagai kebijakan di Indonesia.

Dari informasi yang dihimpun dari laman Kompas.com, Jokowi membubarkan 10 Lembaga Negara Non-Kementerian melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2020. 

Lembaga-lembaga yang dibubarkan, antara lain Dewan Riset Nasional, Dewan Ketahanan Pangan, Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura, Bandan Standarisasi dan Akreditasi Nasional-Keolahragaan, Komisi Pengawas Haji Indonesia, Komite Ekonomi dan Industri Nasional, Badan Pertimbangan Telekomunikasi, Komisi Nasional Lanjut Usia, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, dan Badan Olahraga Profesional Indonesia.

Selama ini, lembaga-lembaga ini berdiri di luar ranah Kementerian. Hal ini, tentunya membuat proses pencapaian kebijakan untuk berbagai urusan menjadi tumpang-tindih. 

Padahal, jika lembaga-lembaga ini langsung dikelola atau digabung bersama dalam satu atap Kementerian, mungkin proyek-proyek kebijakan tidak terlalu ruwet dan lama. Apa yang terjadi selama ini adalah lembaga-lembagai ini diperhitungkan secara terpisah dari kop organisir Kementerian.

Menurut Presiden Joko Widodo, alih fungsi dan institusionalisasi lembaga-lembaga ini akan direkatkan di bawah atap pemerintah melalui Kementerian. 

Sebagai contoh, Dewan Riset Nasional yang dibentuk pada tahun 2005 akan dialihkan ke Kementerian Riset dan Teknologi; Dewan Ketahanan Pangan yang dibentuk tahun 2006, akan dialihkan ke Kementerian Pertanian, dan Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura yang dibentuk tahun 2008, akan dialihkan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian Perhubungan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.

Jokowi menilai bahwa urusan birokrasi untuk masa kepemimpinannya pada periode yang kedua adalah merampingkan birokrasi dan sembelit regulasi. Ini semua, dilakukan demi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan urusan pemerintah. 

Bagi Jokowi, tata kelola penyederhanaan regulasi dan kebijakan menjadi penting mengingat ada begitu banyak individu, kelompok, atau lembaga manapun yang ingin mendapatkan hak izin tertentu dari pemerintah. Akan tetapi, dengan adanya polarisasi dan peran terpisah dari lembaga yang ada, individu, kelompok, atau lembaga demikian, justru dipersulit.

Gurita birokrasi pada dasarnya menciptakan obesitas regulasi. Ketika sebuah wadah urusan pemerintahan dipisahkan dari yang lain -- dengan berbagai badan atau cabang institusi yang ada -- otomatis, beban urusan juga akan membengkak. 

Dalam hal ini, hal-hal berkaitan dengan perizinan dan upaya-upaya lain terkait individu, aktivitas produksi dan ekonomi juga malah tersendat. Jokowi justru memahami betul bagaimana gurita kebijakan ini mengeruk laba dari apa yang mereka usahakan.

Sebagai contoh, jika saya hendak mempromosikan atau mendapat izin terkait hasil karya, studi, riset, ataupun penelitian, saya tidak hanya berhubungan dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). 

Saya justru akan diarahkan untuk melewati jalur lainnya, misalkan lembaga non-kementerian, seperti Dewan Riset Nasional. Dalam hal ini, saya bukannya dipermudah, tetapi malah diperumit untuk mempromosikan hasil riset saya. 

Tugas saya, dengan demikian, pasti berusaha melewai ranting-ranting dari pokok utama yang hendak didapatkan. Jika semua tata kelola dirampingkan dalam satu lembaga yang dipayungi pemerintah, sejatinya segala urusan akan dipermudah dan menunggu waktu yang lama.

Selama ini, sistem gurita birokrasi dan obesitas regulasi memberi celah tumbuhnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Keuntungan bisa diraup dengan sistem pemberian izin atau penerbitan kebijakan-kebijakan tertentu yang mengatasnamakan pemerintah. Dengan kata lain, gurita birokrasi bisa saja menciptakan bisnis tertentu, yakni bisnis berbasis regulasi. Pihak-pihak tertentu dengan klaim di bawah payung pemerintah, menggiring individu, kelompok, atau perusahaan tertentu untuk beroperasi.

Di Indonesia, praktik jual regulasi sudah marak terjadi. Baru-baru ini, majalah Tempo membuat sebuah investigasi terkait izin impor buah. Dari hasil investigasi, berbagai proyek bawah tangan tercium publik. Beberapa dokumen terkait izin berusaha membuat tarif tertentu untuk beberapa perusahaan yang akan melakukan impor. Dalam hal ini, Kementerian Pertanian, Syahrul Yasin Limpo disoroti banyak pihak terutama para importir yang merasa dirugikan.

Dalam menetapkan surat izin, lembaga-lembaga, baik pemerintahan maupun non-pemerintahan berusaha mencari celah agar profit terkait usaha tertentu bisa diperoleh. Perilaku demikian, sejatinya bukanlah watak seorang pengayom dan pemimpin. Bagaimana kita bisa menuju Indonesia yang maju jika praktik-pratik demikian masih merajalela? Buruknya, praktik-praktik ini selama ini justru dilembagakan dengan baik.

Kita berharap, Pak Jokowi melalui Kabinet Indonesia Maju pelan-pelan memangkas gurita pelembagaan birokrasi yang terlalu panjang. Fondasi kita tentunya searah dengan visi-misi Kabinet Indonesia Maju. 

Jika prospek kita berusaha mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing dan produktif. Produktif tentunya berkaitan dengan mental, perilaku, kebiasaan, dan moral. Kejujuranlah yang kita dambakan dari upaya pemangkasan birokrasi dan perampingan regulasi yang ada. Maju terus Indonesia.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun