Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pesta Demokrasi: Pesta Kok Ricuh dan Saling Fitnah?

3 Oktober 2020   13:59 Diperbarui: 3 Oktober 2020   14:04 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Jika pemilihan umum (pemilu), adalah pesta demokrasi, bagaimana seharusnya dirayakan? Pesta itu soal kegembiraan. Soal sukacita; soal menikmati tali persaudaraan. Lucu jika pesta itu malah soal caci maki, fitnah, ricuh, apalagi tumpah darah. Pesta, tapi orang-orang malah menebar kebencian.

Tak hanya soal kebencian sebetulnya. Pesta juga malah soal menuai rasa sakit, duka, tangis, pedih, dendam, dan iri hati. Saya tertarik dengan kata pesta, tapi sekaligus saya dibuat takut. Idealnya pesta, tentunya soal sukacita. Tapi saya juga sedikit waspada karena terbawa realitas pesta. Di tempatku, pesta selalu berakhir ricuh. Selalu ada korban. Selalu berujung darah.

Saya kadang berpikir, jangan-jangan pesta demokrasi cenderung ricuh atau dekat dengan dendam, iri hati, dan tumpah darah, justru karena saat pesta yang sebenarnya orang-orang sukanya ricuh. Mau pesta sekolah, pesta nikah, pesta menyambut Komuni Pertama, atau pesta apa saja, di wilayah ini pasti berakhir ricuh. Pasti. Pasti ricuh antara si A dan si B.

Kalau begitu, benarkah pesta itu soal siapa melawan siapa, siapa makan siapa, atau siapa menjelek-jelekkan siapa. Benarkah? Jika demikian, sebaiknya jangan menyebut pilkada sebagai pesta demokrasi. Sebut saja pilkada itu soal selebrasi kericuhan. Pesta tebar fitnah.

Saya mau memulai pesta demokrasi kita dari kata demokrasi sendiri. Kata demokrasi itu, sejatinya terbentuk dari dua kata ini: "demos" (rakyat) dan "kratein" (pemerintah). Ya demikianlah demokrasi kemudian dimengerti sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat. Tak cukup hanya dari rakyat. Persisnya, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Ya, demokrasi itu, lagi-lagi soal rakyat sendiri yang memerintah. Rakyat memilih, menimbang, menentukan, lalu memutuskan. Pertanyaannya: Bagaimana semua proses ini dilakukan? Kita menyebutnya pemilihan umun (pemilu). Lalu, dari sana diturunkan istilah-istilah, seperti pilpres, pilgub, pilkada, dan pileg.

Pada 9 Desember 2020 mendatang, ada event akbar yang bakal dilaksanakan serentak di Indonesia. Ada Pemilihan Umum Kepala Daerah (PILKADA). Ini bakal menjadi momen menarik nafas, rehat, sekaligus momen memulai lagi (restart) bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada momen ini, rakyat sedikit mengambil waktu jeda 'tuk merefleksikan perjalanan 5 tangga yang telah lewat.

Pilkada adalah pesta demokrasi. Jika pesta, tentunya meriah. Kemeriahan ini dijelaskan dalam sebuah suasana kurang lebih: damai, bahagia, tentram, santun, nyaman, gembira, penuh persaudaraan. Pokoknya, konsep pesta soal kegembiraan. Saya membayangkan tuan pesta dan tamu undangan sama-sama larut dalam rasa sukacita.

Maka, bicara pesta tentunya jauh dari hal-hal, seperti permusuhan, pertikaian, dendam, iri hati, perkelahian, saling maki, adu mulut, saling bacot, memfitnah, menjelek-jelekkan orang lain, mengancam, apalagi saling melukai. Semuanya itu perlu jauh-jauh dari istilah pesta dan pesta sesungguhnya.

Benarkah pesta jauh dari fitnah, permusuhan, dan pertikaian? Akhir-akhir ini, pesta demokrasi (khususnya pilkada), justru dekat dengan fitnah, permusuhan, dan pertikaian. Sesuatu yang patut dipertanyakan. Pesta kok ricuh? Pesta kok saling sikut. Pesta kok penuh kata-kata fitnah dan jorok. Pesta kok saling tikam?

Saya kemudian bermenung. Realitasnya, pesta itu memang selalu ricuh. Dari kecil sampai usia sekarang, saya selalu menyaksikan orang-orang saling sikut, saling gebuk, saling maki saat pesta. Jika bukan di pertengahan, kericuhan pasti terjadi di akhir pesta. Maka, bagi saya pun, pesta selalu diasosiasikan dengan kericuhan. Pesta, tidak lain adalah kericuhan yang diselebrasi, ditontonkan dan bersifat momentum.

Dari kebiasaan ini, watak dan kualitas pesta demokrasi kita pun jauh dari kegembiraan. Jauh dari ketenangan. Jauh dari kedamaian. Sebaliknya, dekat dengan pertikaian, cekcok, tumpah darah, dan luka. Kita justru hanya mengambil unsur momen dari konsep pesta. Kita tak pernah sampai pada makna ideal dari pesta itu sendiri.

Jika kita menyebut pilkada sebagai pesta demokrasi, tolong perlihatkan suasana pestanya. Mana kegembiraan dari pesta itu? Benarkah di ruang pesta orang saling melempar caci maki? Benarkah hal esensial dari pesta itu soal tumpah darah?

Saya memang sering menghadiri pesta, tapi saya tak pernah datang dengan file kata-kata makian. Saya tak pernah datang, lalu memfitnah tuan pesta dan undangan lainnya. Saya selalu datang untuk bersukacita. Saya datang, karena saya tahu pesta itu identik dengan kegembiraan, sukacita, dan paling penting persaudaraan.

Jika saya tahu pesta identik dengan kericuhan dan jauh dari sukacita, saya bakal mengurung niat untuk ikut selebrasi. Bagaimana kita berminat untuk ikut berpesta, jika inti pestanya adalah soal kompetisi, saling sikut, cekcok, ricuh, fitnah lalu mengarah ke tumpah darah?

Ketika anjuran untuk melakukan kampanye daring diberlakukan, pandemi kata di media sosial dan media daring pun menjadi heboh. Masing-masing paslon melakukan kampanye dengan mekanisme fitnah, menjelek-jelekkan sesama, dan merajam sesama dengan kata. Lagi-lagi, pesta demokrasi dengan mekanisme apapun, selalu menciptakan kericuhan.

Sekali lagi, kita tengah menyosong pesta demokrasi. Persiapannya sudah dan sedang dimulai. Arahnya adalah kesejahteraan dan kebaikan bersama. Caranya pun harus santun, nyaman, dan damai, sebagaimana semua undangan diperlakukan baik oleh tuan pesta selama pesta berlangsung.

Semoga pesta demokrasi kita berlangsung aman dan damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun