Mohon tunggu...
Krisna Wahyu Yanuariski
Krisna Wahyu Yanuariski Mohon Tunggu... Jurnalis - Pendongeng

Enthos Antropoi Daimon (Karakter seseorang ialah takdirnya)- Herakleitos Seorang cerpenis di kompasiana, ia juga penulis buku "Fly Away With My Faith", juga seorang Mahasiswa UIN SATU Tulungagung, ia juga jurnalis dan kolumnis di beberapa media. Instagram @krisnawahyuyanuar W.a 081913845095

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kota Kesepian, Kemajuan yang Menindas (2)

13 Maret 2023   21:46 Diperbarui: 13 Maret 2023   22:01 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku melanjutkan perjalananku di kota ini, yang ramai tapi penuh ruang sunyi, semua orang berjalan tanpa sepatah kata, dan sekelumit makna.

Egosentrisme telah menjadi prinsip utama di daerah ini, aku Leo Toesyloy, mencoba berjalan- jalan, dengan membawa beberapa barang yang aku niatkan untuk study di bangkok.

Tetapi aku malah terjebak disini tanpa keluarga, hanya teman kecil diary yang menemaniku untuk mencatat semua hal kecil yang terjadi disini.

Akhirnya aku menemukan suatu apartemen yang ramai, yang diberi nama  "Silenty 66", dimana arpatemen itu seperti apartemen yang bagus dan menarik relief- relief modernis menghiasi tempat itu, kemudia layar televisinya memancarkan cahaya, membentuk sebuah objek.

Memang aneh, aku berangkat memang tahun 20 an, tetapi setibanya di kota ini rasanya, digitalisasi sudah menjadi fragment- fragment pokok setiap sudut kota. Anehnya satu dimana hiburan disini seperti biasa, tetapi audiens dari tontonan tersebut semuanya tidak memiliki ekpresional gembira. Muka murung, masam, seperti kelelahan, dituntut kerja oleh suatu sistem imperialisme.

Aku memesan ruang 246 lantai 4, dan segera beristirahat dari perjalanan panjang ini, memang tidak terasa lelah, tapi ada yang hilang dari sebait kehidupanku ini.

Tunawisma Gembira.

Pagi mulai merambatkan kehangatanya, tetapi kebisingan juga mulai berkoar- koar di jalan. Aku minum segelas coklat hangat sambil melihat kemajuan kota ini yang futursitic. Tetapi begitulah penduduknya enggan untuk saling menyapa.

Aku mencoba menghabiskan pikiran ini segera mencari informasi ada apakah yang terjadi. Aku berangkat jam 9.00 Am, menuju Mechanical Book System yang berada di pusat kota. Yah kota ini sangat nyaman semuanya sangat memudahkan dan serba instan. Tetapi keramahan telah mati total di kota ini.

Aku masuk dan mencoba mencari kembali dokumen- dokumen yang menjelaskan kenapa, dan ada apakah kota ini?

Tak sengaja aku menemukan sedikit clue, dalam buku Religions of City, karya Bringham, yang merupakan tokoh sejarah kota ini. Ia menjelaskan "bahwa keramaian hanya membawa maksud perpecahan, agama yang baik adalah Sociality."

Entah maksudnya apa, tetapi konotasi agama Sociality, entah bagaimana kurasa inilah fragment- fragment yang akan menjawab siapakah pendiri agama itu?

Kemudian Bringham menjelaskan di halaman 23, bahwasanya dengan menghubungkan kota dalam satu kesatuan yang virtual, akan mengantarkan kepada pemahaman apa itu Tuhan. Katanya Tuhan itu Interconecction (Saling Terhubung). 

Aku terus membacanya tetapi pada halaman terakhir hanya menjelaskan bahwasanya kota ini adalah kota yang dulunya penuh ruang kehangatan, semuanya saling sapa. Tetapi ada moment ketika salah satu Tunawisma di kota itu mencoba bahagia tidak mengandalkan meminta- minta, justru dalam sekejap mata semua tunawisma tersebut langsung di tangkap aparat penegak hukum setempat? Dan entah kemana jasad Tunawisma tersebut.

Ada apakah ini? Apakah sistem negara ini teokrasi, atau mereka mencoba memberikan dosis tinggi tentang agama, yang menjadikan mereka semua, hanya diam tanpa mau bercerita.

Sekolah yang Menindas.

Kemudian setelah menjelajahi dokumen tersebut. Perhatianku sejenak tertuju kepada sistem pendidikan di kota ini. Akhirnya aku memesan bus dan berangkat menuju Artificiall College. Kampus yang berada di dekat Taman kota elektrik, saat aku masuk disana, tiba- tiba laser muncul didepan gerbang dan merobek bajuku.

Can't Here, tulisan yang terpampang dan memang aku tidak bisa masuk, seperti ada magnet di bawah yang menarik kakiku sehingga tidak bisa berjalan. Tetapi aku melihat mahasiswa- mahasiswanya mereka mencoba masuk dengan menggunakan pandangan mata yang tertuju di depan kotak- kotak, seperti teknologi yang canggih.

Yang aneh hanya satu, disana liberalisme adalah satu tujuan, tetapi ketika aku menunggu melihat di depan, tiada guru yang mengajar dan masuk ke kampus. Aku menduga pasti ada Humanoid, seperti dalam buku Bringham tadi. Yang bagaimana bentuknya, tetapi aku tahu dari perasaan mahasiswanya yang setelah keluar dari kampus itu, seperti tertekan dan ada yang tergesa- gesa, ada yang menangis, terisak- isak, tetapi tidak mau menjawab pertanyaanpun.

Ada apakah dengan kota ini? Apakah benar yang dikatakan para sosiolog di dunia ku? Postkolonialisme telah berkembang biak, dan ini hanya salah satu contohnya. Dimanakah manusia?, Kurasa mereka semua sama persis seperti sistem robot. Empati telah musnah?

Dimanakah Walikota bersembunyi, hanya ada papan propaganda digital yang mencolok kebaikanya saja?

Atau ini adalah agama yang di negarakan? Aku semakin bingung, dan aku semakin kesepian. Temanku hanya alam dan seperangkat diary ini.

Mungkin aku harus banyak bertanya, disini tetapi aku masih perlu menggali bagaimana undang- undang ini berjalan?

Aku tidak ingin seperti tunawisma bahagia yang hilang kemudian mati. Mungkin pejabatnya memasukan sesuatu di pikiran rakyat kota ini, apa itu?




HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun