SAHABAT DI LAYAR, SEPI DI LIANG LAHAT
Oleh Krisnaning
Kita mengenal bukan dari suara.
Bukan dari pertemuan di warung kopi,
atau saling mengaduk gula dalam cangkir teh yang sama.
Kita bertemu dalam hening yang menyala---di layar.
Setiap pagi, kau mengunggah foto sarapanmu.
Aku membalas dengan "Mantap!",
kau membalas komentarku dengan stiker acungan jempol.
Begitulah kita berbagi,
dalam dunia yang tak ada suara,
tak ada pelukan,
hanya sinyal dan jaringan yang stabil.
Waktu berjalan,
kita saling tahu kabar tanpa pernah bersitatap.
Tahu anakmu ulang tahun dari instastory.
Tahu ibuku sakit dari status dengan emotikon sedih.
Tahu kau jatuh cinta,
dan tahu pula---tanpa diberitahu---saat kau patah hati.
Hingga suatu hari,
ada kabar yang tak bisa diberi filter:
kau pergi.
Layar menampilkan fotomu, kini dalam bingkai hitam.
Caption-nya: Innalillahi, telah wafat sahabat kami...
Komentar berdatangan.
Emoji menangis, stiker "turut berduka",
dan kalimat-kalimat sepi:
"Semoga husnul khatimah."
"Maaf belum sempat silaturahmi."
"Kita doakan dari jauh."
Tapi rumahmu sunyi,
kursi-kursi duka tak penuh.
Peti jenazahmu diangkat oleh tangan-tangan yang tak kutahu.
Tak ada kami di sana.
Kami, sahabat-sahabatmu yang hadir dalam ratusan balasan status,
tapi absen saat tanah menutup tubuhmu.
Ah, inikah zaman kita?
Saat pertemuan hanya sekadar sinyal,
dan perpisahan tak sampai ke pemakaman?
Saat duka dibalas dengan sticker,
dan doa diketik dengan satu tangan
sambil tangan lain menggulir beranda mencari hiburan baru?
Sahabatku,
kau telah pergi duluan,
dan aku belum pernah benar-benar memelukmu.
Hanya mengetikkan:
"Doaku menyertaimu."
dalam diam yang terlalu dingin.
Magelang, 01012025