Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Learning facilitator

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"STEM Itu Bukan Pelajaran, Tapi Cara Hidup": Belajar dari Pasukan Sedotan

20 September 2025   21:49 Diperbarui: 20 September 2025   21:49 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi STEM | Sumber: shutterstock


"Anak-anak tidak belajar dengan mendengarkan kita bicara, mereka belajar dengan melakukan dan bermain." -Maria Montessori

Sebagai orangtua, saya sering mendengar anggapan bahwa STEM, singkatan dari Science, Technology, Engineering, dan Mathematics hanya cocok untuk anak-anak jurusan IPA. STEM seakan identik dengan anak pintar rumus, tekun di laboratorium, atau bercita-cita jadi ilmuwan. Namun, semakin saya mendampingi anak belajar di rumah, semakin saya sadar bahwa STEM sebenarnya bukan milik satu jurusan saja. STEM adalah cara berpikir, cara memecahkan masalah, dan cara menyiapkan anak menghadapi tantangan nyata di masa depan.

Awalnya, saya juga sempat menganggap STEM itu rumit. Tapi ternyata, ketika dicoba di rumah, STEM justru hadir lewat kegiatan yang sederhana, bahkan lewat permainan sehari-hari. Salah satu momen yang membukakan mata saya adalah saat anak saya yang saat ini berusia 11 tahun bermain dengan barang bekas. Ia mengambil sedotan plastik warna-warni yang sudah tidak terpakai, memotongnya kecil-kecil, lalu menyusunnya dalam barisan. Potongan-potongan sedotan itu ia jadikan pasukan pembebasan Andalusia lengkap dengan komandan dan prajurit. Sambil bermain, ia bercerita seolah sedang memimpin simulasi perang antar barisan pasukan.

Sekilas, permainan itu terlihat sederhana, hanya imajinasi anak-anak. Tetapi saat saya perhatikan lebih dekat, di situlah proses belajar STEM berlangsung alami. Anak saya sedang melatih engineering mindset dengan menyusun potongan sedotan agar bisa berdiri seimbang membentuk formasi. Ia juga mengasah mathematical thinking saat menghitung jumlah pasukan, membandingkan panjang barisan, atau menata keseimbangan kanan dan kiri. Bahkan, ada sentuhan science dan creativity, karena ia bereksperimen dengan bentuk serta warna, sambil membangun narasi cerita yang didapatkannya dari pencarian referensi di sumber buku dan online dengan memanfaatkan teknologi.  

Yang lebih penting, ketika salah satu barisan roboh, anak saya tidak putus asa. Ia mencoba formasi baru, menambah jumlah potongan, atau mengganti cara menyusun sampai pasukan bisa berdiri kokoh. Inilah esensi STEM: mencoba, gagal, memperbaiki, dan menemukan solusi. Anak saya belajar berpikir kritis dan kreatif, tapi semua itu terjadi dalam suasana bermain, tanpa merasa sedang "belajar sains."

Pengalaman sederhana itu membuat saya sadar bahwa STEM bukan soal rumus, melainkan soal bagaimana anak menghadapi masalah dan mencari solusi. Di dapur, misalnya, saat anak saya membantu mengukur gula atau tepung, ia sedang belajar matematika sekaligus sains tentang perubahan adonan. Saat menanam cabai atau rimpang kencur di pot kecil, ia belajar biologi dan kesabaran menunggu proses tumbuh. Bahkan ketika ia mendesain poster sejarah sahabat nabi dengan aplikasi sederhana, ia sedang mempraktikkan teknologi dan kreativitas sekaligus. Dengan kata lain, rumah bisa menjadi laboratorium pertama bagi anak-anak.

Sebagai orangtua, saya melihat bahwa pendidikan bermutu tidak hanya datang dari sekolah. Justru, lingkungan rumah bisa memberikan pengalaman belajar yang paling kontekstual. STEM memberi saya cara untuk mendampingi anak belajar tanpa tekanan. Saya tidak perlu menjejalkan teori, cukup menyediakan ruang eksplorasi. Anak-anak belajar dengan mencoba, bertanya, dan bercerita. Dari situ, mereka mengembangkan cara berpikir kritis, kreatif, dan solutif.

Banyak orangtua mungkin masih ragu: apakah anak yang tidak berbakat di bidang sains perlu belajar STEM? Menurut saya, justru sangat perlu. STEM bukan untuk mencetak anak jadi ilmuwan, tapi untuk melatih pola pikir. Anak yang suka seni bisa memanfaatkan teknologi digital untuk berkarya. Anak yang hobi menulis bisa belajar literasi digital atau membuat konten dengan pendekatan data. Bahkan anak yang gemar bercerita pun bisa mengaitkan imajinasi mereka dengan logika sederhana. STEM menjembatani semua minat, bukan membatasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun