Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Guru - Learning facilitator in SMA Sugar Group

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat. (Learning facilitator di Sugar Group Schools sejak 2009, SMA Lazuardi 2000-2008; Guru Penggerak Angkatan 5; Pemenang Terbaik Kategori Guru Inovatif SMA Tingkat Provinsi-Apresiasi GTK HGN 2023; Menulis Buku Antologi "Belajar Berkarya dan Berbagi"; Buku Antologi "Pelita Kegelapan")

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menduplikasi Semangat Bung Karno: Apakah IKN Sebagai Simbol Politik Mercusuar Jokowi?

13 Februari 2024   11:50 Diperbarui: 13 Februari 2024   16:14 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Krisanti_kazan

Pagi di masa tenang Pemilu ini saya masih menemui berbagai konten media sosial yang membahas mengenai perbandingan IKN dan Pembangunan 40 kota setara Jakarta. 

Saya jadi teringat sekitar 30 tahun silam saat masih duduk di bangku SMP (kalau tidak salah), ketika membaca salah satu buku usang yang ada di rak buku di rumah. Buku itu berjudul "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat". Buku ini merangkum perjalanan hidup Bung Karno: dari masa kecilnya sebagai Kusno, kehidupannya remajanya menuntut ilmu di Technisce Hoogeschool Bandung, pertemuannya dengan Inggit Ganarsih, pidato-pidato politiknya, pandangan Marhaenismenya, serta perjuangannya tanpa henti untuk kemerdekaan bangsanya, Indonesia. 

Melalui buku itu, saya si bocah SMP ini mulai mengenal sosok Bung Karno yang tidak diceritakan secara lengkap oleh guru Sejarah saat itu. Ketika diterima kuliah di IPB jalur prestasi rapor USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) 1997, saya begitu kagum dengan desain Kampus IPB Baranangsiang Bogor yang sangat apik mirip dengan bangunan lama Belanda. Sejuk walapun tanpa AC dengan hiasan batu marmer besar. 

Berdasarkan Sejarah, dalam prosesnya diadakan sayembara pembuatan rancangan bangunan, ternyata yang dipilih adalah rancangan seorang arsitek otodidak yang juga perancang Masjid Raya Bogor yaitu F. Silaban. Batu pertama diletakkan Bung Karno dapat dibaca pada prasasti di bawah tangga masuk ke ruang arah Laboratorium Kimia saat itu. Di bawah prasasti itu ada celah aerasi agar udara dapat bersirkulasi ke dalam ruang di balik prasasti marmer itu, karena di dalamnya disimpan suatu naskah yang ditulis di atas perkamen dan ditandatangani oleh Dr Ir Soekarno. Jujur saja, simbol bangunan IPB dan prasasti tersebut membuat saya terkagum dan merasakan semangat Bung Karno membangun ketahanan pangan Indonesia di masa depan melalui pembangunan kampus ini.


Perjalanan belajar sejarah berlanjut ketika membaca mengenai kebijakan Politik Mercusuar Bung Karno yang mengalami pro dan kontra saat itu bahkan ditentang keras oleh Bung Hatta sebagai wakil presiden. Kita tahu bahwa bangsa Indonesia harus melewati fase cukup berat pada masa awal kemerdekaan. Agresi militer, gejolak politik, hingga ketidakstabilan ekonomi mewarnai masa awal kemerdekaan. Hal tersebut tidak menghalangi visi Bung Karno dan terus memantik semangatnya untuk berupaya maksimal agar memperlihatkan citra Indonesia sebagai bangsa yang besar kepada mata dunia. 

Diawali dengan Jakarta, ya Jakarta. Sebagai ibukota negara, membawa Jakarta menjadi representasi wajah Indonesia di mata dunia. Bahkan dalam beberapa pidatonya, Soekarno selalu memetaforakan kota Jakarta sebagai "wajah muka Indonesia". Awal tahun 1960-an menjadi periode penting dalam perubahan wajah Jakarta paska kemerdekaan. Terpilihnya Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV yang diselenggarakan pada tahun 1962 di Jakarta menjadi momentum awal bagi Soekarno untuk mewujudkan gagasan-gagasan besarnya tersebut dan dalam rangka menyambut Asian Games, dijalankanlah sejumlah proyek besar. Berlanjut dengan dibangunnya Hotel Indonesia sebagai tonggak awal pengembangan pariwisata Indonesia, kemudian pembangunan Kompleks Olahraga Senayan berhasil menjadi salah satu kompleks olahraga terbesar di Asia. Menurut berbagai sumber, Bung Karno menginginkan bahwa salah satu bangunannya, yakni Stadion Gelora Bung Karno, bisa menjadi magnet bagi dunia internasional. Maka dari itu, Bung Karno mengusulkan gaya bangunan temu gelang sebagai pembeda dari stadion-stadion lain di dunia. Selain itu ada Patung Selamat Datang, dibangun pula sejumlah patung dan monumen lainnya di beberapa jalan protokol Jakarta, seperti Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng dan Patung Dirgantara di Pancoran. Namun, pembangunan yang paling fenomenal adalah pembangunan Monumen Nasional atau Monas di Jalan Medan Merdeka. Tak jauh dari lokasi pembangunan Monas, di sebelah timur laut dibangun juga sebuah masjid berdaya tampung sekitar 200.000 orang, dinamai Masjid Istiqlal yang dalam bahasa Arab berarti "merdeka". Bangunan masjid terdiri dari beton bertulang dan lantai serta dinding dilapisi marmer yang sangat cantik dan membawa suasana sejuk.


Sebagai pamungkas yaitu, Gedung Conefo yang dibangun dimaksudkan untuk gelaran Conference of the New Emerging Forces (Conefo) pada tahun 1966 tersebut saat ini kita kenal dengan Gedung DPR/MPR. Pembangunan Gedung Conefo dirancang memiliki kubah besar yang menyerupai sayap burung yang akan lepas landas. Gedung yang menjadi simbol parlemen Indonesia takluk oleh mahasiswa yang menandai runtuhnya Orba dan lahirnya Reformasi 1998. Saya teringat masa itu kuliah semester 2 berbarengan dengan peristiwa reformasi bergejolak dan Orba runtuh. Saat itu saya sempat ikut demo mahasiswa dari Kampus IPB Bogor ke Gedung DPR/MPR di senayan Jakarta dan menyaksikan betapa ricuhnya massa hingga kami bisa masuk ke Gedung tersebut. Simbol parlemen negara berhasil diambil alih oleh mahasiswa yang menandai runtuhnya Orba dan bangkitnya Reformasi.


Kembali pada perjalanan saya belajar sejarah, dari semua bangunan Proyek Mercusuar tersebut, Monas sampai saat ini sudah mendunia sebagai salah satu Landmark Indonesia paling ikonik. Setiap melewati Monas saya selalu teringat Bung Karno dan Politik Mercusuarnya ini. Sedari kecil saya selalu bertanya-tanya, mengapa harus dibangun Monas? Mengapa harus ada emas di puncaknya sedangkan itu hanya menghamburkan uang? Mengapa penting sekali sampai membangun Monas yang hanya sebagai simbol? dan mengapa-mengapa yang lain. Logika saya yang belum sampai ini merasa Politik Mercusuar itu tidak berpihak pada rakyat. Tapi saya sudah menemukan jawabannya dari seorang pemimpin visioner bangsa Indonesia yang dikutip dari buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams, 

"Manusia tidak hanya hidup untuk makan. Sungguh pun gang-gang di Jakarta penuh lumpur dan jalanan masih kurang, namun aku telah membangun gedung-gedung bertingkat, sebuah jembatan berbentuk daun semanggi, jalan raya hebat yang dikenal dengan Jakarta Bypass, dan menamai jalan-jalan dengan nama pahlawan kami: Jalan Diponegoro, Jalan Thamrin, Jalan Cokroaminoto dan lain-lain. Kuanggap pengeluaran biaya bagi pembangunan perlambangan bangsa tidaklah sia-sia. Aku harus membangun kebanggaan bangsa Indonesia. Rakyat Sudah terlalu lama diperbudak".

 Jawaban yang saya pahami dengan logika yang gak canggih-cangih amat ini mungkin tidak sama dengan orang lain atau rekan kompasianers. Tapi saya juga salah satu anak bangsa yang memiliki harapan dan optimisme bahwa Indonesia adalah bangsa besar dengan segala polemik dan keberagamannya ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun