Mohon tunggu...
Kres Dahana
Kres Dahana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Penyuluhan Pertanian Universitas Jenderal Soedirman

Membaca lalu menulis... Menulis lalu membaca...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petani Milenial dan Pertanian 4.0: Pertanian Fertigasi dan Presisi

7 November 2021   12:37 Diperbarui: 7 November 2021   12:42 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/penyuluhan pertanian kebumen-youtube

"Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia"
- Ir. Soekarno --

Petuah dari founding father Indonesia tentang pemuda ini masih jelas terngiang di telinga bangsa Indonesia.  Akan betapa dahsyatnya peran pemuda bagi bangsa ini.  Hampir di setiap saat-saat genting, pemuda Indonesia mengambil peran penting.  Tahun 1945, tahun 1966, dan tahun 1998 menjadi saksi sejarah kegemilangan para pemuda Indonesia.  Dan kegemilangan pemuda Indonesia berlanjut sampai saat ini, dalam dunia pertanian.

Sebagai orang yang  berkecimpung di dunia pertanian, khususnya penyuluhan pertanian, bisa dibilang cukup paham dengan kondisi pertanian saat ini, khususnya mengenai para petani.  Bila hadir dalam pertemuan kelompok-kelompok tani, gabungan kelompok tani (gapoktan) dan jenis kelompok lainnya, jelas tergambar wajah-wajah pejuang pangan (baca: petani) kita.  Lebih dari nya adalah petani berusia di atas 50 tahun.  Bahkan banyak yang berusia di atas 64 tahun, batas usia produktif bila menurut ilmu demografi.

Adakah yang salah?

Apakah salah dengan struktur umur petani yang mulai menua?  Tentu tidak ada yang salah dalam artian sempit.  Para petani berpengalaman ini masih sanggup mengelola sawah dan ladang mereka dengan baik, dan menghasilkan pangan bagi penduduk Indonesia.

Namun, bagaimana bila menarik waktu 10 tahun dan bahkan 20 tahun ke depan.  Apakah petani yang usianya di atas 50 tahun (bahkan 64 tahun) ini masih bisa berkontribusi di dunia pertanian yang dikenal 'berat' dan membutuhkan tenaga ekstra.  Dan bila sudah tidak, adakah pengganti yang setara untuk mereka.

Kami yang berkecimpung di dunia pertanian, sering berkeluh kesah dengan minimnya regenerasi petani.  Para petani yang sudah menginjak usia non produktif, tetap 'dipaksa' melanjutkan perjuangannya, karena tidak ada yang menggantikan.  Anak-anak para petani, lebih memilih menjadi pegawai, karyawan, penjual online atau youtuber.  

Mencari pekerjaan di luar pertanian menjadi hal yang lebih menarik dan terlihat lebih keren bagi anak-anak muda.  Tidak salah memang, karena dari awal mindset petani adalah selalu kotor, miskin, berpeluh, dan bekerja keras.  Anak-anak muda menginginkan sesuatu yang inovatif dan baru, keren dan menghasilkan.  Pertanyaanya adalah, bisakah pertanian kita dibawa menjadi lebih keren?

Pertanian di Era Industrialisasi 4.0

Di negara lain yang memiliki pertanian yang maju, misalnya Australia, menjadi petani adalah hal yang keren.  Anak-anak TK di sana, apabila ditanya cita-citanya ketika besar, salah satunya adalah menjadi petani.  Tidak demikian dengan kita, yang seringkali mengaku menjadi negara agraris.  Mengapa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun