Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kritik terhadap Pesan Natal PGI/KWI 2017

7 Desember 2017   17:34 Diperbarui: 7 Desember 2017   17:45 5672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai warga Kerajaan itu kita ditantang untuk memperjuangkan kesatuan, persaudaraan, kebenaran dan keadilan serta damai sejahtera.

Tentu kita sadar bahwa di dalam tubuh keanggotaan PGI dan juga KWI terdapat berbagai macam aliran dan pendirian teologis yang memberi warna khas pada masing-masing denominasinya. Jadi pada awalnya bisa dimengerti bahwa para penyusun pesan Natal ini, pasti dengan konsultasi intensif dengan para teolog Kristen dan Katolik andalan kekristenan Indonesia, seolah memberi kesan agar bahasa yang digunakan juga familiar bagi kalangan-kalangan pentakostal karismatik. Pemilihan kata warga kerajaan untuk identifikasi diri orang Kristen dan Katolik yang hidup sebagai warga negara Indonesia jelas-jelas hendak menegaskan sesuatu.

Dalam dunia keterbukaan informasi, dimana orang dari seluruh pelosok negeri bisa dengan mudah mencari referensi yang bersifat global, penggunaan bahasa dominionism semacam ini tentu tidaklah terlalu sulit untuk disimpulkan. Orang tinggal mencari saja apa makna kata religius kristen/katolik jika orang menyebut diri sebagai warga kerajaan, menghubungkannya dengan organisasi-organisasi yang sedang aktif bergerak yang dengan tujuan tertentu menegaskan pada pada anggotanya apa dan mengapa mereka harus menyebut diri sebagai warga kerajaan. 

Saya sangat sering menjumpai begitu banyak orang meremehkan penyusupan halus konservatisme dalam diri gereja dan biasanya mereka hanya hahaha dan hihihi saja mengomentari gejalanya. Hal itu semakin menguat manakala, istilah konservatisme dan radikalisme itu sekarang dengan mudah bisa langsung dituduhkan pada "pihak lain".

Sebenarnya sudah sekitar sepuluh tahun terakhir ini gereja-gereja "arus utama" Kristen/Katolik di Indonesia dilanda gelombang pertama dan gelombang kedua konservatisme global lintas agama yang bekerja di aras akar rumput para pemeluknya dengan cara-cara yang halus membius dalam lingkaran penghiburan pada ego, menjanjikan keselamatan eksklusif, dan mengutamakan kesejahteraan ekonomis sebagai tolok ukur keberhasilan keuletan berdasar pada prinsip agamanya. 

Sejak semakin populernya penggunaan nyanyian-nyanyian ekstase penyembahan, kotbah-kotbah yang selalu memiliki sistematika: Keindahan sorgawi -- dosa pada manusia dan semesta termasuk budayanya -- penebusan melalui keselamatan heroik -- hidup baru idealistik-utopis mengikuti alur berpikir 4 Hukum Rohani yang populer tahun 80an, serta sentralisme ritual dalam usaha pengagungan teritori-teritori suci pusat Kekristenan awal, Protestanisme dan Katolikisme berasal, yang mula-mula mendapatkan kritik dan refleksi kontekstual yang mendalam tidak lagi dijadikan persoalan penting, sejak saat itulah tanda-tanda konservatisme siap memasuki gelombang ketiganya.

Pendek kata, pilihan kata warga kerajaan yang adalah bahasa dominionism dan mengekspresikan konservatisme global lintas agama ini, tidaklah terlalu sulit dicari padanannya sebagaimana yang mirip terjadi di kalangan konservatisme agama-agama lain manapun. Ciri utamanya adalah keterlibatan yang intensif baik secara samar-samar maupun secara terang-terangan dengan sistem kerakusan neo-kapitalisme global yang dengan tidak sungkan menggunakan agama sebagai alat legitimasinya melancarkan segala rencana penggantian kekuasaan yang anti terhadap kebebasan dan perbedaan. 

Jadi mohon maaf, kalau saya lebih senang mengganti kata di atas itu menjadi "Sebagai warga negara Republik Indonesia kita ditantang untuk memperjuangkan kesatuan, persaudaraan, kebenaran dan keadilan serta damai sejahtera". Karena kita semua setara sebagai sesama manusia yang hidup dalam negara yang merdeka, tidak dalam kerajaan sebagaimana yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja.

5. Pemborosan Kolom

Yang terakhir yang menjadi menarik dalam Natal kali ini adalah adanya penegasan bahwa telah terjadi khabar baik di tingkat dunia dimana gereja-gereja Lutheran telah berkomunikasi inteksif dengan Gereja Roma Katholik. Sebuah khabar baik yang patut dirayakan menandai semangat baru kesatuan dan (mungkin) penyatuan kekristenan di dunia ini. Tentu khabar ini bukan satu-satunya. Sudah sejak lama ada banyak komunitas-komunitas oikumenes yang tetap menghargai afiliasi gereja masing-masing pesertanya namun bisa membangun persekutuan hidup yang sangat produktif bagi pemeliharaan kasih kemanusiaan. 

Komunitas Taize di Perancis bahkan sudah memulainya sejak perang dunia pertama meletus. Jadi mengapa hal ini menjadi khabar yang penting dalam konteks bahasan terjadinya ancaman perpecahan bangsa? Tentu sebagai contoh yang baik bahwa orang Kristen dan Katolik di Indonesia sedang bersukaria hendak menjadi satu saja. Apakah begitu? Semoga. Atau bisa jadi sebagai sindiran sinis saja, yang hendak menyatakan bahwa orang Protestan dan Katolik aja bisa damai masak kamu nggak bisa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun