Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kritik terhadap Pesan Natal PGI/KWI 2017

7 Desember 2017   17:34 Diperbarui: 7 Desember 2017   17:45 5672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Lagi) Kritik Terhadap

PESAN NATAL BERSAMA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI) DAN KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI) TAHUN 2017 

"Hendaklah Damai Sejahtera Kristus Memerintah Dalam Hatimu!"

(Kol. 3:15a)

Penghargaan sebagai Pendahuluan

Menyampaikan sebuah pesan bagi umat sebesar sebuah bangsa dengan sensitif terhadap konteks sosial-politik yang sedang dihadapi dan digeluti oleh seluruh warga bangsa adalah langkah yang sangat bermakna dan akan memberikan inspirasi bagi tindakan yang lebih bermartabat bagi umat. Bangsa ini memang sedang bergumul keras mengartikan kembali dan mempraktekkan damai dalam tarik ulur semangat keterbukaan dan demokrasi yang setiap hari berjumpa dengan arti kebaharuannya. Maka benar, kita memang sedang membutuhkan banyak sekali hati yang sepenuhnya diperintah hanya oleh damai; dalam hal menyuarakan pesan kasih, dalam hal membangun organisasi keagamaan, dan dalam kehidupan keseharian sebagai anak bangsa.

Dalam tema Natal tahun 2017 ini, pesan yang hendak disampaikan dan terangkum dalam kesimpulan amatlah jelas dan menggugah siapapun orang yang akan membacanya, orang Kristiani atau bukan.

"Marilah kita menghidupi dan mengembangkan damaisejahtera yang merupakan anugerah dari Allah, dengan jalan merangkul sesama, merawat ciptaan serta memajukan kerukunan dan persaudaraan di antara kita."

Nilai utama damai ditegaskan sebagai panggilan hidup dan tugas umat yang perlu dijalani sebagai bentuk penerimaan anugerah dari Allah dalam laku hidup berjumpa dengan sesama serta memeluknya, merawat semesta ciptaan illahi dan memperjuangkan terjadinya kerukunan dan persaudaraan. Dalam semangat dan tujuan yang demikian ini, pesan Natal menjadi momentum yang amat luar biasa untuk mengabarkan rekonsiliasi yang bersifat holistik baik dalam konteks ekumenes gereja Kristen dan Katolik, maupun dalam konteks kehidupan plural berbangsa, pun juga dengan semesta alam raya.

Namun, jika kita mencermati selipan-selipan sikap politis yang sepanjang alur pesan ditekankan dengan referensi-referensi ayat, nampaknya justru menjadikan ketegasan tema dan kesimpulan itu tadi menjadi sangat terciderai. Pesan natal ini, sekalipun tertuju khusus bagi orang Kristen/Katolik Indonesia seperti nampak dalam alamat penyampaian dan gaya bahasa yang digunakan, tentulah juga akan didengar oleh saudara-saudara kita dari beragam agama dan kepercayaan yang ada. 

Tidaklah sulit bagi siapapun untuk menafsirkan selipan-selipan sikap politis Kristen/Katolik ketika mendengar dan membaca pesan Natal kali ini. Oleh karena itu mari kita lihat satu persatu beberapa kalimat penjabaran dalam pesan Natal ini dengan semangat keterbukaan pada apa yang sedang terjadi -- terutama dengan reflektif memandang pada diri sendiri - di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara kita ini.

1. Natalan kok rasan-rasan (membicarakan orang di belakangnya)

Sejauh saya terlibat dalam diskusi, dialog, dan gerakan dengan kawan-kawan pluralis disekitar saya, keprihatinan terhadap semangat intoleransi yang mengarah pada pembiasaan ujaran kebencian pada yang berbeda serta terjadinya keterpecahan kesatuan dan persatuan, selalu berada dalam proses reflektif dan berakhir pula pada semangat reflektif untuk berani melihat realitas yang ada pada diri sendiri, yang terdalam dan tersembunyi sekalipun. 

Bahkan sering terucap kata bijak "jika kita mengatakan dan melakukan hal yang sama terhadap pihak yang sedang kita kritisi, apalah bedanya kita dengan mereka". Dengan begitu, hasil refleksi dapat menciptakan tindakan yang berorientasi pada misi kebaikan bersama, dengan tanpa membuat luka dan musuh baru. 

Tentu tetap ada realitas-realitas yang perlu diakui, dipetakan dan dianalisis dengan sebaik-baiknya tanpa harus mendeskreditkan siapapun dan tanpa harus mengagungkan siapapun sebagai sang penyelamat yang terhebat. Dengan cara itulah pertanyaan yang selalu ditekankan adalah pada "lantas bagaimana dengan kita, apa yang perlu kita pelajari, kita pikirkan, katakan, dan lakukan?"

Maka, sebagai sebuah pesan yang mengajak orang untuk bersikap reflektif dan berani melihat kedalam diri kita yang terdalam, ungkapan dibawah ini adalah pertanyaan serius pada diri kita sendiri sebagai orang Kristen-Katolik di Indonesia, kalau tidak mau disebut kita sedang rasan-rasan, yang dari cara pengaklimatannya orang dengan mudah akan membangun konotasi siapa-siapa saja yang dimaksud di dalamnya. 

Sengaja saya kutip bagian ini utuh dengan penekanan pada pilihan-pilihan kata profokatif yang ada agar kita bersama-sama dapat mempertanyakan, bukankah kita juga yang dimaksud disitu? Bukankah kita juga adalah pihak-pihak yang tergoda itu (bdk. Dengan istilah Warga Kerajaan, dari pada warga negara yang juga ada dalam teks Pesan Natal itu)?

"Ada pihak-pihak yang, entah secara samar-samar atau pun secara terang-terangan, tergoda untuk menempuh jalan dan cara yang berbeda dengan konsensus dasar kebangsaan kita, yaitu Pancasila. Hal itu terlihat dalam banyak aksi dan peristiwa: dalam persaingan politikyang tidak sehat dan yang menghalalkan segala cara, dalam fanatisme yang sempit, bahkan yang tidak sungkan membawa-bawa serta agama dan kepercayaan, dan dalam banyak hal lainnya."

Saya bisa membayangkan bahwa yang sedang dijadikan referensi tentang aksi dan peristiwa itu adalah yang nampak di televisi yang terjadi (hanya) di Ibukota Jakarta, sehingga menghasilkan analisa bahwa persaingan politik selalu tidak sehat, caranya selalu licik, dan menghasilkan orang fanatik yang mengatasnamakan agama, dan segala keburukan lainnya yang tak terucap. Pendek kata, ada situasi dosa dan para pelakunya, dalam referensi itu menjadi amat jelas siapa yang dimaksud. 

Selain memang semangat kotbah Kristen yang laku laris di Indonesia ini adalah yang diawali dengan memperlihatkan keburukan, kesalahan, dan dosa, - yang biasanya toh seharusnya ditujukan pada diri sendiri -- kalimat dalam paragraf ini jelas-jelas tertuju pada pihak-pihak yang bukan pihak kita. Lihatlah betapa berdoasanya orang lain, oleh karena itu kita jangan begitu ya. Apakah begitu?

Jadi kembali kalau kita melihat pesan ini sebagai alat berfleksi dengan tulus, maka saya sendiri menyambut gembira kalimat itu. Bahwa benar kita juga kadangkala berada pihak yang tidak hanya berbeda, tapi kadang melemahkan, dan merongrong konsensus kita sebagai bangsa, ketika entah dengan samar-samar, halus dan diam-diam maupun dengan terang-terangan emosional menyatakan dan mempraktekkan kristenisasi pada orang-orang lain yang kita (bahkan) sebut sebagai orang yang tidak atau belum "selamat". 

Bahwa sebagai sebuah organisasi kita juga perlu berada dalam semangat baru menjadi organisasi bebas korupsi (bdk. Kunjungan KPK ke PGI) dan tidak terus menganggap diri sebagai organisasi yang "lebih" dari negara. Lihatlah betapa masih banyak organisasi-organisasi Kristen/Katolik yang masih memiliki orientasi kerja -- dengan menghabiskan banyak biaya dan bantuan internasional -- untuk melakukan penginjilan dan pengkristenan di daerah-daerah kantong kemiskinan. 

Dan kalau perlu lihatlah tingkat konservatisme warga gereja yang barusaja menyeruak liar dan ganas ketika kasus LGBT disuarakan oleh PGI yang sebenarnya jelas-jelas menguji kewarasan kita terhadap tafsir pada Pancasila tentang "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan juga tentang hukum Kristiani tentang "kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri". Ada banyak hal dalam diri kita sebagai orang Kristen Indonesia yang kalau mau melihatnya secara jujur, tulus, dan akuntable dalam semangat berbangsa ternyata juga belum selesai dalam komitmen kita dalam bernegara.

Sama seperti agama dan aliran apapun, atau dalam bahasa yang digunakan di pesan Natal kali ini, sama seperti "pihak" manapun, inti ajaran kita, jelas dipertaruhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Dan negosiasi mengenai hal itu memang masih terus berlangsung dan kita jalani dengan asumsi, cara, dan tujuan damai. Jadi singkatnya, menjadi sangatlah bijak jika yang dimaksud dengan "pihak-pihak" itu juga kita kenakan pada diri kita sendiri. 

Apakah dalam perspektif "pihak" kita, kita sudah selesai dalam merefleksikan dan mengkonstruksi iman percaya kita sebagai orang Kristen dan Katolik, atau jangan-jangan kita hanya terus rewel saja meminta agar "pihak" lainlah yang harus begini-begitu seperti keinginan kita? Kalau yang terakhir ini yang memang hendak dipesankan, tentu saja sebaiknya kalimat tersebut diperbaiki. Supaya kita bisa natalan tanpa rasan-rasan.

2. Minority syndrom dan kesombongan

Sementara banyak orang mempertanyakan dengan cerdas bahwa penggunaan istilah mayoritas-minoritas tidaklah produktif bagi kesatuan dan persatuan bangsa, entah bagaimana ceritanya bahasa halus mengokohkan sentimen pembeda seperti itu dalam pesan Natal ini justru disuarakan dengan kesengajaan yang amat manis:

 "Sebagai elemen bangsa, yang adalah kawanan kecil, kita, umat Kristiani tidak mampu menyelesaikan semua persoalan yang kita hadapi hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri.

Dari segi jumlah, mungkin benar. Namun dari segi previlage, dari segi penguasaan ekonomi, dari segi idiologi global, dari segi konsensus pembentukan bangsa ini, sejarah revolusi, dan juga sepanjang kediktatoran Orde Baru, tentu kita patut berefleksi bahwa kekristenan di Indonesia bukanlah "kecil". Karena berdasar nilai keadilan, dengan mengatakan bahwa kita adalah kawanan kecil, maka bisa jadi "pihak-pihak" yang dimaksud di atas sebenarnya -- kita anggap - juga adalah kawanan kecil belaka. 

Atau, apakah kita juga sedang berpikir bahwa di dalam gereja sendiri juga muncul kawanan-kawanan kecil lainnya yang seharusnya diterima oleh kekristenan Indonesia? Atau, apa sebenarnya yang hendak disampaikan kepada bangsa ini dengan menyebut diri sebagai kawanan kecil, selain sebuah kesombongan bahwa sekalipun kecil kita punya sesuatu dan bisa melakukan sesuatu yang besar?

Dari pemetaan konteks yang disebutkan, sebenarnya sudah jelas dan tentu banyak orang menyetujuinya bahwa perpecahan dan ketidakadilan sosial sedang meresahkan bangsa ini. Semuanya resah, kecil dan besar terancam hal itu, karena sadar akan merugikan semuanya. Dalam situasi ancaman yang seperti itu, tentu tidak relevan menyebutkan siapa kecil siapa besar, seolah mau menegaskan siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu. Siapa yang seharusnya berinisiatif dan berbuat dan siapa yang -- sekali lagi karena kecil -- numpang saja. 

Siapa bisa diandalkan dan siapa tidak. Justru sebenarnya yang terpenting adalah untuk menegaskan kita semua (tanpa memandang kecil dan besar) hendak menjadi dan berbuat apa dalam konteks seperti itu. Tentu semua mampu, jika mau dan terbuka untuk bekerja sama dengan semangat damai. Maka partisipasi yang sebenarnya bisa direfleksikan oleh orang Kristiani adalah, dengan segala yang dimiliki kekristenan Indonesia, hal terbaik apakah yang bisa disumbangkan dengan sukacita untuk mengurangi ancaman dan ketakutan itu? Kekuatan sendiri seperti apa yang sebenarnya dimiliki orang kristen Indonesia? Kekuatan apa yang bisa diandalkan dari orang Kristen Indonesia dalam menghadapi situasi yang sdang mengancam itu? 

Apakah dengan menegaskan bahwa kita adalah anak-anak Allah yang membawa damai dalam konteks ancaman persatuan itu merupakan bentuk kontribusi yang konstruktif? Yang hendak saya sampaikan disini adalah, jika kita berani masuk dalam kesungguhan pemaknaan terhadap apa yang sebenarnya mau kita refleksikan, maka sekali lagi dalam kalimat tentang kawanan kecil itu kita bisa menjumpai semangat apa yang berada di baliknya. Atau dengan kata lain, dengan pilihan Kawanan Kecil sebagai model identifikasi diri, maka orang akan melihat bagaimana posisi politis yang sedang kita bangun.

Subyek sebagai kawanan kecil dengan demikian perlu dipertanyakan ketulusannya dalam konteks berbangsa yang sedang secara bersama-sama menghadapi persoalan yang sama. Jika kita terus menerus membangun identifikasi diri sebagai minoritas maka sebenarnya kita sendiri mengafirmasi konsepsi tentang mayoritas. Sesuatu yang justru sebenarnya menjadi sumber dan akar-akar terjadinya semangat perpecahan pada diri bangsa kita ini. 

Perbedaan tidak perlu diberi penegasan dengan menyebut jumlah kekuatan apalagi sesuatu yang bisa diandalkan, kecuali kalau kita memang bersemangat persaingan, atau sedang mencari kemenangan. Jika dalam hal ini kita sedang memperkenalkan perspektif yang berbeda, tentu akan lebih bermanfaat jika kita fokus pada detail perspektif atau ide apa yang bisa kita tawarkan daripada belum-belum sudah bicara soal kekuatan massa dan senjata andalan. Dan lagi, apakah "pihak lain" itu melihat kita orang Kristen sebagai kawanan kecil saja? Jangan-jangan mereka justru melihat kita adalah bagian dari gelora semangat mereka berbangsa dan bernegara Indonesia, dan kita aja yang mudah menjadi sombong manakala melihat perbedaan.

3. Mentalitas Orde Baru dan Revolusi Mental

Ketika Jokowi menjadi Presiden, ada semangat Nasional yang diikutsertakan. Yaitu revolusi mental. Dan fokus perhatian yang saat ini nampak memperlihatkan tingkat capaian yang membahagiakan adalah dalam sistem birokrasi yang akuntable dan transparant. Sebuah gelora semangat untuk mengganti mentalitas sloganistis model Orde Baru yang mendahulukan kelompok Karya sebagai orang-orang kunci bagi penyelenggaraan pemerintahan. 

Dalam semangat baru ini, mentalitas tertuju pada tindakan nyata dan meninggalkan segala beban slogan yang efektif digunakan untuk menekan dan menindas rakyat yaitu istilah "Pembangunan bangsa". Slogan developmentalism yang begitu kuat dalam Orde Baru memang sangat terbukti dapat menekan dan membatasi gerak demokratis yang harus memberi ruang pada perbedaan perspektif dalam menafsirkan partisipasi dalam hidup berbangsa. Maka memang seringkali syndrom Orbaisme itu mudah menggoda untuk dihidupkan lagi terutama dalam situasi dimana kesatuan dan keadilan sosial diancam oleh kekuatan-kekuatan dari "pihak-pihak" tertentu.

Maka agak aneh jika dalam pesan natal di era dimana reformasi sedang dan terus direformasi, kita justru membangun semangat merindu pada kediktatoran "enak jamanku tho!". Apalagi dengan pengagung-agungan teologis yang berlebihan seolah semua persoalan akan selesai jika sang "ratu adil" mampu kita temukan. Coba kita renungkan paragraf ini:

"Inspirasi dan kekuatan spiritual yang mendorong kita untuk mewujudkan kesatuan dan untuk sungguh-sungguh melibatkan diri dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia yang tercinta, kita timba dari kabar sukacita Yesaya: "Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan kepada kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya"(Yes 9:5-6)."

Pengagungan berlebihan pada kekuasaan, apalagi secara religius teologis tentu bukanlah sikap yang bijak dalam kehidupan masyarakat pluralistik yang sedang bergumul dengan upaya mempraktekkan demokrasi secara kontekstual. Sekalipun ditujukan kepada sebuah istilah paling populer yang dijadikan slogan sang penguasa sebagai tindakan beriman, penggunaan istilah yang berbau Orba seperti ini jelas bukan tanpa disadari. 

Semua orang tahu bahwa slogan penguasa sekarang adalah "kerja, kerja, kerja", dan aneh bin ajaib jika orang Kristen dan Katolik masih saja terikat dengan metode sloganistis gaya Orba yang diketahui sangatlah represif itu. Singkatnya, jika mentalitas ini masih kuat hidup dalam kalangan Kristen/Katolik, maka nampaknya kitalah yang dalam semangat Natal kali ini yang paling perlu untuk segera melakukan revolusi mental.

4. Konservatisme hahaha

Selain pemilihan istilah-istilah tertentu yang dapat dilihat orang sebagai bentuk bangunan mentalitas yang masih dimiliki gereja, pemilihan istilah yang lazim digunakan dalam kalangan Kristen/Katolik sendiri menandai bukan hanya pilihan teologis melainkan juga pilihan politik dalam semangan konservatisme global lintas agama. Hal ini nampak dalam kalimat yang tentu dengan kesungguhan iman diyakini sehingga itu dituliskan:

Sebagai warga Kerajaan itu kita ditantang untuk memperjuangkan kesatuan, persaudaraan, kebenaran dan keadilan serta damai sejahtera.

Tentu kita sadar bahwa di dalam tubuh keanggotaan PGI dan juga KWI terdapat berbagai macam aliran dan pendirian teologis yang memberi warna khas pada masing-masing denominasinya. Jadi pada awalnya bisa dimengerti bahwa para penyusun pesan Natal ini, pasti dengan konsultasi intensif dengan para teolog Kristen dan Katolik andalan kekristenan Indonesia, seolah memberi kesan agar bahasa yang digunakan juga familiar bagi kalangan-kalangan pentakostal karismatik. Pemilihan kata warga kerajaan untuk identifikasi diri orang Kristen dan Katolik yang hidup sebagai warga negara Indonesia jelas-jelas hendak menegaskan sesuatu.

Dalam dunia keterbukaan informasi, dimana orang dari seluruh pelosok negeri bisa dengan mudah mencari referensi yang bersifat global, penggunaan bahasa dominionism semacam ini tentu tidaklah terlalu sulit untuk disimpulkan. Orang tinggal mencari saja apa makna kata religius kristen/katolik jika orang menyebut diri sebagai warga kerajaan, menghubungkannya dengan organisasi-organisasi yang sedang aktif bergerak yang dengan tujuan tertentu menegaskan pada pada anggotanya apa dan mengapa mereka harus menyebut diri sebagai warga kerajaan. 

Saya sangat sering menjumpai begitu banyak orang meremehkan penyusupan halus konservatisme dalam diri gereja dan biasanya mereka hanya hahaha dan hihihi saja mengomentari gejalanya. Hal itu semakin menguat manakala, istilah konservatisme dan radikalisme itu sekarang dengan mudah bisa langsung dituduhkan pada "pihak lain".

Sebenarnya sudah sekitar sepuluh tahun terakhir ini gereja-gereja "arus utama" Kristen/Katolik di Indonesia dilanda gelombang pertama dan gelombang kedua konservatisme global lintas agama yang bekerja di aras akar rumput para pemeluknya dengan cara-cara yang halus membius dalam lingkaran penghiburan pada ego, menjanjikan keselamatan eksklusif, dan mengutamakan kesejahteraan ekonomis sebagai tolok ukur keberhasilan keuletan berdasar pada prinsip agamanya. 

Sejak semakin populernya penggunaan nyanyian-nyanyian ekstase penyembahan, kotbah-kotbah yang selalu memiliki sistematika: Keindahan sorgawi -- dosa pada manusia dan semesta termasuk budayanya -- penebusan melalui keselamatan heroik -- hidup baru idealistik-utopis mengikuti alur berpikir 4 Hukum Rohani yang populer tahun 80an, serta sentralisme ritual dalam usaha pengagungan teritori-teritori suci pusat Kekristenan awal, Protestanisme dan Katolikisme berasal, yang mula-mula mendapatkan kritik dan refleksi kontekstual yang mendalam tidak lagi dijadikan persoalan penting, sejak saat itulah tanda-tanda konservatisme siap memasuki gelombang ketiganya.

Pendek kata, pilihan kata warga kerajaan yang adalah bahasa dominionism dan mengekspresikan konservatisme global lintas agama ini, tidaklah terlalu sulit dicari padanannya sebagaimana yang mirip terjadi di kalangan konservatisme agama-agama lain manapun. Ciri utamanya adalah keterlibatan yang intensif baik secara samar-samar maupun secara terang-terangan dengan sistem kerakusan neo-kapitalisme global yang dengan tidak sungkan menggunakan agama sebagai alat legitimasinya melancarkan segala rencana penggantian kekuasaan yang anti terhadap kebebasan dan perbedaan. 

Jadi mohon maaf, kalau saya lebih senang mengganti kata di atas itu menjadi "Sebagai warga negara Republik Indonesia kita ditantang untuk memperjuangkan kesatuan, persaudaraan, kebenaran dan keadilan serta damai sejahtera". Karena kita semua setara sebagai sesama manusia yang hidup dalam negara yang merdeka, tidak dalam kerajaan sebagaimana yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja.

5. Pemborosan Kolom

Yang terakhir yang menjadi menarik dalam Natal kali ini adalah adanya penegasan bahwa telah terjadi khabar baik di tingkat dunia dimana gereja-gereja Lutheran telah berkomunikasi inteksif dengan Gereja Roma Katholik. Sebuah khabar baik yang patut dirayakan menandai semangat baru kesatuan dan (mungkin) penyatuan kekristenan di dunia ini. Tentu khabar ini bukan satu-satunya. Sudah sejak lama ada banyak komunitas-komunitas oikumenes yang tetap menghargai afiliasi gereja masing-masing pesertanya namun bisa membangun persekutuan hidup yang sangat produktif bagi pemeliharaan kasih kemanusiaan. 

Komunitas Taize di Perancis bahkan sudah memulainya sejak perang dunia pertama meletus. Jadi mengapa hal ini menjadi khabar yang penting dalam konteks bahasan terjadinya ancaman perpecahan bangsa? Tentu sebagai contoh yang baik bahwa orang Kristen dan Katolik di Indonesia sedang bersukaria hendak menjadi satu saja. Apakah begitu? Semoga. Atau bisa jadi sebagai sindiran sinis saja, yang hendak menyatakan bahwa orang Protestan dan Katolik aja bisa damai masak kamu nggak bisa?

Tapi toh saya tetap memiliki harapan. Mengapa saya memiliki harapan besar dalam hal ini? Alasan saya sederhana saja. Salah satu penyebab banyaknya energi terbuang dalam diskusi maupun dalam pemeriksaan dan pembahasan undang-undang adalah tentang kolom agama dalam KTP. 

Kekristenan di Indonesia ini sangat boros. Betapa tidak? Sedang agama resmi yang diijinkan menampilkan namanya di KTP hanya ada 6 (dan puji Tuhan sekarang 7; semoga segera bertambah banyak), masakan kekristenan mengambil jatah dua agama yaitu Protestanisme dan Katolikisme -- dan sekaligus menegaskan bahwa Indonesia sebagai salah satu kalau tidak satu-satunya negara dimana Protestan dan Katolik dibedakan berdasarkan kategori agama. 

Kalau saja Protestan dan Katolik menggunakan satu kolom saja dalam KTP, khan kolomnya bisa digunakan oleh agama lain yang masih belum diakui oleh pemerintah. Supaya dengan begitu kalimat seperti saya kutip di bawah ini menjadi benar-benar terbukti dan bukan sekedar basa-basi sok suci saja.

"Dengan bersatu sebagai umat Kristiani, kesaksian kita tentang kerukunan dan persaudaraan kepada masyarakat majemuk di negeri ini lebih berarti dan meyakinkan."

Akhirnya, dengan perasaan sedih, pertanyaan besar menganga, dan kegamangan menyambut sukacitanya, membaca pesan Natal kali ini yang berbicara soal perdamaian justru saya menjadi makin ragu. Jangan-jangan keseluruhan kalimat dalam Pesan Natal ini, baik secara samar-samar atau -- dengan sedikit ketekunan mencari referensi dibaliknya -- secara terang-terangan merupakan sebuah upaya untuk ... ah entahlah saya tidak bisa berandai-andai lebih jauh. Sementara saya hanya akan terus merenungi ayat indah ini saja:

"Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu,

karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh.

Dan bersyukurlah"

(Kol 3:15a).

Kristanto Budiprabowo, M.Th.

Catatan:

Pesan Natal PGI/KWI 2017 bisa dengan mudah dilihat dan dicari melalui mesin pencari apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun