Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kritik terhadap Pesan Natal PGI/KWI 2017

7 Desember 2017   17:34 Diperbarui: 7 Desember 2017   17:45 5672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Subyek sebagai kawanan kecil dengan demikian perlu dipertanyakan ketulusannya dalam konteks berbangsa yang sedang secara bersama-sama menghadapi persoalan yang sama. Jika kita terus menerus membangun identifikasi diri sebagai minoritas maka sebenarnya kita sendiri mengafirmasi konsepsi tentang mayoritas. Sesuatu yang justru sebenarnya menjadi sumber dan akar-akar terjadinya semangat perpecahan pada diri bangsa kita ini. 

Perbedaan tidak perlu diberi penegasan dengan menyebut jumlah kekuatan apalagi sesuatu yang bisa diandalkan, kecuali kalau kita memang bersemangat persaingan, atau sedang mencari kemenangan. Jika dalam hal ini kita sedang memperkenalkan perspektif yang berbeda, tentu akan lebih bermanfaat jika kita fokus pada detail perspektif atau ide apa yang bisa kita tawarkan daripada belum-belum sudah bicara soal kekuatan massa dan senjata andalan. Dan lagi, apakah "pihak lain" itu melihat kita orang Kristen sebagai kawanan kecil saja? Jangan-jangan mereka justru melihat kita adalah bagian dari gelora semangat mereka berbangsa dan bernegara Indonesia, dan kita aja yang mudah menjadi sombong manakala melihat perbedaan.

3. Mentalitas Orde Baru dan Revolusi Mental

Ketika Jokowi menjadi Presiden, ada semangat Nasional yang diikutsertakan. Yaitu revolusi mental. Dan fokus perhatian yang saat ini nampak memperlihatkan tingkat capaian yang membahagiakan adalah dalam sistem birokrasi yang akuntable dan transparant. Sebuah gelora semangat untuk mengganti mentalitas sloganistis model Orde Baru yang mendahulukan kelompok Karya sebagai orang-orang kunci bagi penyelenggaraan pemerintahan. 

Dalam semangat baru ini, mentalitas tertuju pada tindakan nyata dan meninggalkan segala beban slogan yang efektif digunakan untuk menekan dan menindas rakyat yaitu istilah "Pembangunan bangsa". Slogan developmentalism yang begitu kuat dalam Orde Baru memang sangat terbukti dapat menekan dan membatasi gerak demokratis yang harus memberi ruang pada perbedaan perspektif dalam menafsirkan partisipasi dalam hidup berbangsa. Maka memang seringkali syndrom Orbaisme itu mudah menggoda untuk dihidupkan lagi terutama dalam situasi dimana kesatuan dan keadilan sosial diancam oleh kekuatan-kekuatan dari "pihak-pihak" tertentu.

Maka agak aneh jika dalam pesan natal di era dimana reformasi sedang dan terus direformasi, kita justru membangun semangat merindu pada kediktatoran "enak jamanku tho!". Apalagi dengan pengagung-agungan teologis yang berlebihan seolah semua persoalan akan selesai jika sang "ratu adil" mampu kita temukan. Coba kita renungkan paragraf ini:

"Inspirasi dan kekuatan spiritual yang mendorong kita untuk mewujudkan kesatuan dan untuk sungguh-sungguh melibatkan diri dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia yang tercinta, kita timba dari kabar sukacita Yesaya: "Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan kepada kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya"(Yes 9:5-6)."

Pengagungan berlebihan pada kekuasaan, apalagi secara religius teologis tentu bukanlah sikap yang bijak dalam kehidupan masyarakat pluralistik yang sedang bergumul dengan upaya mempraktekkan demokrasi secara kontekstual. Sekalipun ditujukan kepada sebuah istilah paling populer yang dijadikan slogan sang penguasa sebagai tindakan beriman, penggunaan istilah yang berbau Orba seperti ini jelas bukan tanpa disadari. 

Semua orang tahu bahwa slogan penguasa sekarang adalah "kerja, kerja, kerja", dan aneh bin ajaib jika orang Kristen dan Katolik masih saja terikat dengan metode sloganistis gaya Orba yang diketahui sangatlah represif itu. Singkatnya, jika mentalitas ini masih kuat hidup dalam kalangan Kristen/Katolik, maka nampaknya kitalah yang dalam semangat Natal kali ini yang paling perlu untuk segera melakukan revolusi mental.

4. Konservatisme hahaha

Selain pemilihan istilah-istilah tertentu yang dapat dilihat orang sebagai bentuk bangunan mentalitas yang masih dimiliki gereja, pemilihan istilah yang lazim digunakan dalam kalangan Kristen/Katolik sendiri menandai bukan hanya pilihan teologis melainkan juga pilihan politik dalam semangan konservatisme global lintas agama. Hal ini nampak dalam kalimat yang tentu dengan kesungguhan iman diyakini sehingga itu dituliskan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun