Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kritik terhadap Pesan Natal PGI/KWI 2017

7 Desember 2017   17:34 Diperbarui: 7 Desember 2017   17:45 5672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. Natalan kok rasan-rasan (membicarakan orang di belakangnya)

Sejauh saya terlibat dalam diskusi, dialog, dan gerakan dengan kawan-kawan pluralis disekitar saya, keprihatinan terhadap semangat intoleransi yang mengarah pada pembiasaan ujaran kebencian pada yang berbeda serta terjadinya keterpecahan kesatuan dan persatuan, selalu berada dalam proses reflektif dan berakhir pula pada semangat reflektif untuk berani melihat realitas yang ada pada diri sendiri, yang terdalam dan tersembunyi sekalipun. 

Bahkan sering terucap kata bijak "jika kita mengatakan dan melakukan hal yang sama terhadap pihak yang sedang kita kritisi, apalah bedanya kita dengan mereka". Dengan begitu, hasil refleksi dapat menciptakan tindakan yang berorientasi pada misi kebaikan bersama, dengan tanpa membuat luka dan musuh baru. 

Tentu tetap ada realitas-realitas yang perlu diakui, dipetakan dan dianalisis dengan sebaik-baiknya tanpa harus mendeskreditkan siapapun dan tanpa harus mengagungkan siapapun sebagai sang penyelamat yang terhebat. Dengan cara itulah pertanyaan yang selalu ditekankan adalah pada "lantas bagaimana dengan kita, apa yang perlu kita pelajari, kita pikirkan, katakan, dan lakukan?"

Maka, sebagai sebuah pesan yang mengajak orang untuk bersikap reflektif dan berani melihat kedalam diri kita yang terdalam, ungkapan dibawah ini adalah pertanyaan serius pada diri kita sendiri sebagai orang Kristen-Katolik di Indonesia, kalau tidak mau disebut kita sedang rasan-rasan, yang dari cara pengaklimatannya orang dengan mudah akan membangun konotasi siapa-siapa saja yang dimaksud di dalamnya. 

Sengaja saya kutip bagian ini utuh dengan penekanan pada pilihan-pilihan kata profokatif yang ada agar kita bersama-sama dapat mempertanyakan, bukankah kita juga yang dimaksud disitu? Bukankah kita juga adalah pihak-pihak yang tergoda itu (bdk. Dengan istilah Warga Kerajaan, dari pada warga negara yang juga ada dalam teks Pesan Natal itu)?

"Ada pihak-pihak yang, entah secara samar-samar atau pun secara terang-terangan, tergoda untuk menempuh jalan dan cara yang berbeda dengan konsensus dasar kebangsaan kita, yaitu Pancasila. Hal itu terlihat dalam banyak aksi dan peristiwa: dalam persaingan politikyang tidak sehat dan yang menghalalkan segala cara, dalam fanatisme yang sempit, bahkan yang tidak sungkan membawa-bawa serta agama dan kepercayaan, dan dalam banyak hal lainnya."

Saya bisa membayangkan bahwa yang sedang dijadikan referensi tentang aksi dan peristiwa itu adalah yang nampak di televisi yang terjadi (hanya) di Ibukota Jakarta, sehingga menghasilkan analisa bahwa persaingan politik selalu tidak sehat, caranya selalu licik, dan menghasilkan orang fanatik yang mengatasnamakan agama, dan segala keburukan lainnya yang tak terucap. Pendek kata, ada situasi dosa dan para pelakunya, dalam referensi itu menjadi amat jelas siapa yang dimaksud. 

Selain memang semangat kotbah Kristen yang laku laris di Indonesia ini adalah yang diawali dengan memperlihatkan keburukan, kesalahan, dan dosa, - yang biasanya toh seharusnya ditujukan pada diri sendiri -- kalimat dalam paragraf ini jelas-jelas tertuju pada pihak-pihak yang bukan pihak kita. Lihatlah betapa berdoasanya orang lain, oleh karena itu kita jangan begitu ya. Apakah begitu?

Jadi kembali kalau kita melihat pesan ini sebagai alat berfleksi dengan tulus, maka saya sendiri menyambut gembira kalimat itu. Bahwa benar kita juga kadangkala berada pihak yang tidak hanya berbeda, tapi kadang melemahkan, dan merongrong konsensus kita sebagai bangsa, ketika entah dengan samar-samar, halus dan diam-diam maupun dengan terang-terangan emosional menyatakan dan mempraktekkan kristenisasi pada orang-orang lain yang kita (bahkan) sebut sebagai orang yang tidak atau belum "selamat". 

Bahwa sebagai sebuah organisasi kita juga perlu berada dalam semangat baru menjadi organisasi bebas korupsi (bdk. Kunjungan KPK ke PGI) dan tidak terus menganggap diri sebagai organisasi yang "lebih" dari negara. Lihatlah betapa masih banyak organisasi-organisasi Kristen/Katolik yang masih memiliki orientasi kerja -- dengan menghabiskan banyak biaya dan bantuan internasional -- untuk melakukan penginjilan dan pengkristenan di daerah-daerah kantong kemiskinan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun