Mohon tunggu...
Kosterman Usri
Kosterman Usri Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Negara Indonesia

setelah banyak membaca, ingin juga dibaca, mudah-mudahan ada yang membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mas Menteri, Bagaimana Kalau Tahun Ajaran Baru Diundur ke Januari?

13 April 2020   08:00 Diperbarui: 13 April 2020   08:08 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : koran sulindo

Tahun 1978 saya sudah duduk di Sekolah Dasar. Di tahun itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sering disingkat P & D berganti, dari semula Syarief Thayeb menjadi Daoed Joesoef. 

Salah satu aturan yang dibuat oleh menteri lulusan Sorbonne Perancis ini adalah merubah dimulainya tahun ajaran baru. Semula tahun ajaran baru diawali pada bulan Januari, oleh beliau diubah menjadi Juli. 

Akibatnya semua siswa sekolah pada saat itu mengalami perpanjangan masa sekolah selama enam bulan. Anak SD seperti saya kemudian menerima Rapot tambahan. Berupa lembaran kertas sebagai catatan nilai untuk masa tambahan pendidikan tersebut. 

Tidak kah ada yang protes terhadap perubahan itu? Seingat saya yang protes anak kelas 6. Bayangkan saja, saat masuk SMP mereka tertunda enam bulan. 

Namun apalah artinya protes anak SD di zaman itu. Tidak akan sampai ke Jakarta, belum ada media sosial, belum ada komputer, bahkan teleponpun hanya ada di kantor, toko, dan rumah orang kaya saja. 

Dari catatan sejarah kita tahu, ternyata aturan dari Menteri Daoed Joesoef tersebut banyak yang tidak setuju, termasuk dari sesama menteri dan kalangan DPR. 

Katanya, alasan Pak Daoed Joesoef saat itu adalah dalam rangka menyesuaikan diri dengan tahun ajaran baru di negara lain. Jadi kalau ada anak Indonesia yang ingin meneruskan sekolah ke luar negeri, bisa pas waktunya. 

Tapi ada juga yang mengatakan karena di awal tahun biasanya anggaran belum turun. Entahlah apa alasan sebenarnya. Namun perubahan tersebut terus berjalan, bahkan lestari sampai hari ini.  

Kemudian saat ini kita semua tertimpa musibah Pandemi Covid-19. Salah satu yang terdampak adalah dunia pendidikan. Semua terpaksa belajar di rumah. Sebenarnya dengan perantara teknologi informasi, belajar di rumah tidaklah sulit. 

Tersedia banyak aplikasi untuk belajar jarak jauh seperti Google Classroom, Blue Big Button, Cisco Webex ataupun aplikasi dari negeri sendiri semisal Ruang Guru, Rumah Belajar, Meja Kita, dan lain sebagainya. 

Namun apakah semua murid bisa mengakses semua itu? Anggaplah seluruh pelosok Indonesia bisa mengakses internet berkecepatan cukup, namun apakah semua murid memiliki alatnya, semisal perangkat telepon pintar? Lalu bilapun semua punya, apakah semua bisa membeli quota internet? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun