Mohon tunggu...
Kosmas Mus Guntur
Kosmas Mus Guntur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis

Menjadi aktivis adalah panggilan hidup untuk mengabdi pada kaum tertindas. Dan menjadi salip untuk menebus Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA).

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Seperti Komunis, Radikalisme adalah Hantu di Indonesia

29 Januari 2020   04:21 Diperbarui: 29 Januari 2020   04:42 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Studi Elisabeth Carter (2018) menjelaskan bahwa radikalisasi sayap kanan umumnya mengambil bentuk kampanye kebencian terhadap kelompok minoritas (agama, ras, seksualitas), imigran, serta kelompok kiri. Neo-Nazi di Jerman, Golden Dawn di Yunani, serta Front National di Perancis adalah contohnya.  Di Norwegia pada 2011, Anders Behring Breivik membantai sekitar 76 orang warga Norwegia. Tindakan tersebut didorong oleh kebenciannya terhadap para imigran (Muslim) serta kelompok-kelompok kiri dan liberal yang pro hak-hak imigran.  Negara Indonesia dan Militernya terlibat dalam kasus pembantaian masal terhadap semua anggota Partai Komunis Indoensia (PKI) atau sering disebut Tragedi 1965, Penembakan Misterius (1982-1985), Peristiwa Talangsari di Lampung (1989), Kasus Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998), Kerusuhan Mei 1998, Penembakan Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (1998-1999), serta Kasus Wasior dan Wamena di Papua (2000).

Jika kampanye kebencian adalah ciri yang melekat pada radikalisme sayap kanan, ekstremisme sayap kiri (left-wing extremism) umumnya lahir dari gerakan dan pemikiran anti-kapitalisme, anti-kolonialisme. Gerakan ekstrimisme sayap kiri sangat militan dalam mengubah sistem politik yang telah melahirkan ketidakadilan sosial.

Jadi pada prinsipnya, Studi Moskalenko & Cauley (2009) menjelaskan bahwa mayoritas orang-orang yang menjustifikasi suatu kekerasan politik justru tidak akan pernah terlibat dalam kekerasan politik tersebut. Ada banyak orang yang berpikiran radikal, namun malah tidak melakukan kekerasan.

Tak semua radikalisme beserta prosesnya melahirkan kekerasan, karena dinamika kehidupan personal memang berbeda-beda. Saya mengajak kaum milenial untuk lebih kritis memahami radikalisme, agar jangan sampai kita menjadi milenial paranoid. Kita harus menjadi milenial yang melawan kekerasan yang dilakukan oleh negara atau yang dilakukan oleh aktor-aktor dan organisasi-organisasi non-negara yang difasilitasi dan didukung oleh negara.

Penulis adalah Presidium Germas Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jakarta Timur dan Alumni Mahasiswa Hukum Universitas Borobudur, Jakarta

Tulisan ini, sebelumnya telah dipublikasikan oleh https://indoprogress.com/2019/10/menjernihkan-manipulasi-kata-radikalisme/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun