Mungkin pernah mendengar pepatah "Hujan batu di negeri sendiri, hujan emas di negeri orang. Lebih baik di negeri sendiri". Tapi sedikit agak berbeda bagi orang Wajo. Orang Wajo akan mencintai tanah tempatnya mencari makan seperti negerinya sendiri.Â
Mereka akan menjunjung tinggi harkat dan martabat tanah rantaunya di samping usahanya menaikkan harkat dan martabatnya sendiri. Setidaknya demikianlah yang tersirat dalam buku Zainal Abidin. Dan sungguh suatu keserasian dengan pepatah Mandar yang menyebutkan "Muaq mudzundumi wai madzandangna mandar, mandar tomoq tuqu".Â
Orang Wajo dan Mandar yang sama-sama teguh memegang janji juga sebuah keserasian yang khas. Sungguh sebuah perpaduan yang luar biasa.
Kebersamaan orang Wajo dan orang Mandar juga telah teruji sejak dulu kala. Sejarah mencatat bagaimana diakhir perang Makassar yang maha dahsyat saat Gowa berada diujung kekuasaannya. Anak-anak Wajo dan Mandarlah yang tetap bertahan mendampingi Gowa di dalam benteng Galesong menjelang cholaps.Â
Baca juga: Filosofi Kopi dalam Dunia Bisnis
Lalu setelah Gowa jatuh, Sombaiya Gowa menyarankan anak-anak Wajo dan Mandar untuk pulang ke negerinya masing-masing. Dalam waktu yang hampir berdampingan, Wajo dan Mandar pun mendapat "hukuman" karena membantu Gowa. Oleh hukuman ini, Wajo harus kehilangan 10.000 anak-anak terbaiknya dalam mempertahankan benteng Tosora. Sementara Mandar Balanipa harus kehilangan istananya di Lekopaqdis.
Mungkin saja dalam pelayarannya ke Gorontalo, La Maddukkelleng Arung Sengkang dengan membawa 300 kapalnya sebab ketidak puasannya terhadap penguasaan Belanda atas negerinya beliau sempat membawa serta orang Mandar. Sebab dalam sebuah catatan, beliau sempat singgah di Mandar dalam perjalanannya itu. Dan bukan tidak mungkin pula Sawerigading dalam pengembaraannya ke Wadeng, membawa orang Mandar sebagai penunjuk jalannya. Bukankah di Rangas ada jejak kaki yang konon jejak kakinya. Puppuring di Alu (Polman) juga konon merupakan tempat Sawerigading dan pasukannya singgah memasak dan mempersiapkan bekal.
Yang terakhir, Muhammad Ridwan Alimuddin juga sempat menjalin hubungan bisnis dengan saudagar Wajo saat "mengimport" telur ulat sutra dari Sengkang yang akan dibinanya hingga menjadi kain sutera Mandar. Hingga pada akhirnya menghasilkan kain sutera berwarna biru yang sesungguhnya sangat memikat hatiku. (Apa hubungannya?. :D :D).
Tapi demikianlah harmonisasi antara Wajo dan Mandar yang semoga akan selalu terjaga demi sebuah kehidupan yang damai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI