Mohon tunggu...
Nina Widyanti
Nina Widyanti Mohon Tunggu... Accounting Staff SMK N 1 Jenangan -

Wanita lajang, berusia hampir seperempat abad

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(My Diary) Kembali Fokus

13 April 2016   08:12 Diperbarui: 13 April 2016   08:29 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dok FC"][/caption]Dear diary,

Pagi ini datang bersama mendung dan kabut yang tak bersahabat. Entah kenapa bayangan hari Minggu kemarin masih begitu tajam mengundang rasa penasaran. Hari minggu kemarin aku bertemu salah seorang sahabat baik untuk menghadiri suatu acara di satu kampus swasta milik organisasi islam massif di Negara kita. Sesungguhnya acara selesai sekitar pukul 13.00 tapi karena acara dikemas kurang menarik akhirnya aku sama temenku memutuskan untuk keluar. Kami celingak celinguk mencari tempat duduk di sekitar taman, tapi semua penuh dengan mahasiswa dan pengunjung acara yang mungkin merasakan hal yang sama dengan yang kami rasakan, bosan.

Akhirnya kami berdua singgah ke masjid saja Ry, bangunan tempat ibadah yang selalu sejuk untuk istirahat. Setau dan sepengalamanku mau di kota yang panas sekalipun masjid itu selalu adem. Kami ngobrol ngalor ngidul, termasuk juga tentang kronoligis ayah temenku yang baru saja meninggal beberapa hari yang lalu. Ahh tak bisa kubayangkan seandainya aku yang berada di posisinya. Tapi aku yakin Tuhan tak pernah salah dalam menakar cerita kehidupan seseorang.

Beberapa saat kemudian adzan Dhuhur berkumandang dari hpku yang terpasang aplikasi pengingat sholat, dan diikuti muadzin masjid yang juga mengumandangkan adzan sekitar 10 detik lebih lambat dari aplikasi hpku. Temenku berpamitan untuk mengambil air wudhu, aku sendiri sedang diberi dispensasi untuk berlibur mengerjakan sholat.

Selama sholat dhuhur berlangsung, aku memperhatikan gerakan-gerakan sholat para jamaah yang terlihat jelas olehku yang sedang duduk di serambi masid. Antara serambi masjid dan ruang utama masjid dibatasi kaca-kaca besar yang transparan.

Pada saat itu Ry entah dari mana datangnya aku berfikir bahwa aku harus menyelesaikan atau paling tidak meneruskan apa yang sebelumnya telah aku mulai. Ku ambil hpku dan ku cari tab percakapanku dengan seseorang yang ternyata sudah berada di posisi yang lumayan dibawah. Aku menyadari betapa sibuk dan lelahnya aku pada saat-saat terakhir percakapan kami, terlihat dari jawabanku yang begitu singkat. Namun jawaban darinya juga tak kalah singkat. Ketekadkan untuk mengirim pesan dan menanyakan kabarnya. Meskipun sesungguhnya bukan itu yang ingin kutanyakan darinya. Aku akan menunggu dia membalas dulu salamku kemudian baru kusampaikan apa yang saat itu ingin aku tanyakan.


Seusai Sholat Dhuhur..

Perut  kami mulai keroncongan, dan mampirlah ke satu kedai mie setan. Obrolan kami pun belanjut di meja kedai mie. Oya Ry aku belum cerita ya siapa temenku itu? Dia itu temen sejak SMK dan sekos juga 4 tahun pas dulu kuliah. Jadi udah kayak sodara perempuan Ry. Banyak sekali yang kita bicarakan, hingga obrolan kami berhenti ketika hpku berbunyi tanda pesan masuk. Mata kami tertuju pada lampu indicator hp yang berkelap-kelip tanda ada pesan yang belum terbaca. Temanku seperti memberi kode untuk membuka dulu pesan masuk itu. Aku pun ingin segera membuka pesan itu, berharap seseorang dari kota seberang membalas pesan salam yang sudah terkirim dua jam sebelumnya.

Ahh ternyata bukan, teman seorganisasi memberi kabar kalau bantuan untuk warga miskin di dekat rumahku sudah cair berupa paket sembako. Dia akan mengantarkan barangnya kerumahku kemudian didistribusikan ke yang bersangkutan sore ini juga. Meskipun sedikit kecewa bukan pesan dari orang yang aku harapkan, namun pesan tersebut adalah pesan yang membawa kebahagiaan bagi orang lain.

Sudah tiga hari berlalu sejak pengiriman pesan itu, namun balasan pesan seperti yang ku harapkan tak jua kunjung datang. Ry aku telah salah selama ini, terlalu dini melibatkan firasat dan perasaan. Hingga semuanya membentur realitas dengan begitu keras. Atau memang aku yang tidak peka Ry dengan semua signal yang telah diirim, atau aku yang kurang pergaulan untuk dihadapkan dengan keadaan seperti ini. Keadaaan yang tak pernah kualami sebelumnya. Ry sesungguhnya di awal memulai tahapan ini tak ada ekspektasi besar yang aku tanamkan untuk sebuah tendensi suatu hasil tertentu. Pun aku berani memulai fase ini karena ada dorongan dari kakak laki-lakiku.

Aku teringat dengan kata-katanya saat kami berpisah di Stasiun Pasar Senen “Berhatilah-hatilah dalam melangkah dan jangan gegabah untuk menentukan pilihan yang akan mempengaruhi seluruh kehidupanmu dan keluargamu setelahnya”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun