Ini seperti kemenangan kecil atas segala desakan yang selama ini terus diawasi dan kritisi oleh beragam pihak.
Dan hal tersebut menjadi menarik dibahas karena pernikahan, seperti yang ditulis Kompasianer Edy Supriatna, merupakan fitrah manusia yang harus disalurkan dalam bentuk kebaikan.
"Pelaksanaannya tidak boleh dipersulit setelah pria atau perempuan telah bersepakat untuk nikah," lanjutnya. (Baca selengkapnya)
3. Prasmanan di Pesta Pernikahan yang Lebih Sering Jadi Bahan "Ghibah"
Menarik sekali pengamatan yang dilakukan oleh Kompasianer Talitha Ardelia terkait makanan-makanan yang tersaji ketika ia kondangan.
Biasa pesta pernikahan itu terbagi menjadi 2, yaitu standing party dan tidak. Untuk yang pertama ini memang sudah semakin sering dilakukan oleh mereka yang mengadakan pesta di kota-kota besar.
"Mau makan tinggal antri, dapat makan, laper lagi, antri lagi, gitu aja terus sampai kenyang. Sungguh mirip dengan konsep restoran all you can eat," tulis Kompasianer Talitha Ardelia
Namun, bagi yang belum biasa, datang ke pesta pernikahan selain standing party akan sedikit kagok.
Apalagi ketika tetamu mulai pulang dan membicarakan makanan apa saja yang mereka dapat setelah tadi kondangan. (Baca selengkapnya)
4. Membongkar Stereotip Lapas Perempuan
Baru mendengar kata "penjara" saja sudah sedikit menyeramkan. Penjara atau lembaga pemasyarakatan (lapas) ini kadung tergambar oleh masyarakat umum dengan pungli, kekerasan di dalamnya, hingga hal-hal menyeramkan lain.
Namun, pada satu kesempatan, Kompasianer Nindy Bondy berkesempatan mendatangi langsung ke lapas. Bukan karena tersandung hukum, melainkan memberi keterampilan membuat bunga flanel.
Kompasianer Nindy Bondy juga menceritakan, lapas juga telah mengubah kehidupan mereka, ada yang sempat stres dan mau bunuh diri ketika mereka pertama kali masuk ke lapas.