Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ondel-ondel (nyang) Ngamen di Jalan, Bagen!

22 Juni 2019   18:18 Diperbarui: 24 Juni 2019   19:01 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ondel-ondel ngamen di sekitar Stasiun Kebayoran, Jakarta. | Foto: Kevin A. Legion

Dari mana datangnya identitas kultural Jakarta sebagai ibu kota dan kota metropolitan secara bersamaan?

Jika mengutip esai yang ditulis sejarawan Betawi, JJ. Rizal, meskipun ada banyak versi sejarah ondel-ondel, namun semua mengarah pada satu kesimpulan: ondel-ondel lahir dan tumbuh dari suatu riwayat panjang hasrat-hasrat terkuat untuk mengingatkan pentingnya terus memerangi laku yang merusak kehidupan masyarakat.

Jadi kalau kita bisa sepakat bahwa ondel-ondel (di)hadirkan untuk membuat yang (tampak) buruk menjadi (tampak) lebih baik, semestinya ondel-ondel tidak berubah sebagaimana kini kita sering melihat ondel-ondel: ngamen di jalanan.

Perubahan zaman membentuk kebudayaan baru. Dulu, untuk mengarak sepasang ondel-ondel, paling tidak dibutuhkan 8 orang; 2 orang masuk ke dalam ondel-ondel, sedangkan lainnya memainkan alat musik.

Namun, beberapa tahun ke belakang, seperti yang kita tahu untuk mengarak ondel-ondel tidak membutuhkan orang sebanyak itu. Sebab alat musik yang dimainkan kini telah digantikan oleh alat pemutar musik.

Ondel-ondel, sebagaimana sebuah budaya, dapat bertahan dalam kesanggupannya membuat dan menarik minat orang-orang yang masih aktif. Tetapi, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah mesti seperti itu nasib sebuah kesenian yang mulai ditinggalkan?

Akan tetapi, menurut Kompasianer Ign Joko Dwiatmoko, bisa lebih buruk dari itu.

"Budaya Betawi semakin suram tergantikan oleh riuh-rendahnya hiburan modern yang lebih digemari oleh kaum muda," tulisnya.

Lihat saja baju-baju ondel-ondel lusuh tidak terurus, lanjutnya, yang memainkannya pun hanya anak-anak kecil yang hidupnya di gang-gang kecil perkampungan.

Kompasianer Dwi Klarasar bahkan memiliki pandangannya tersendiri ketika melihat nasib ondel-ondel yang banyak tempat di Jakarta mesti ngamen di jalanan.

"Pengamen ondel-ondel demikian boleh dibilang tidak mementaskan ondel-ondel sebagai kesenian dari sebuah tradisi," tulis Kompasianer Dwi Klarasar.

Lebih lanjut, menurutnya penggunaan ondel-ondel sekadar sebagai "alat ngamen" oleh kelompok pengamen tersebut secara tidak langsung juga telah mengurangi nilai seni serta eksotisme boneka khas Betawi.

Ini mungkin yang  kemudian membuat banyak orang menyebut Ondel-Ondel sebagai "degradasi kebudayaan", jika boleh meminjam istilah yang digunakan Kompasianer Rahadian Faiz.

Pasalnya, pada masa kejayaan ondel-ondel, pentas kesenian tersebut menjadi langganan untuk ditampilkan pada acara-acara resmi yang diadakan baik oleh pemerintah atau masyarakat, bahkan sampai pentas ke luar negeri mewakili negara Indonesia.

"Namun, sekarang panggilan untuk pentas rata-rata 1-2 kali sebulan bahkan bisa sampai 3 bulan baru ada satu panggilan," tulis Kompasianer Rahadian Faiz.

Tentu melihat ondel-ondel yang ngamen di jalanan bukan hanya mumbuat kita kesal, Kompasianer Wildan Fuady saja melihat itu membuat hatinya (seakan) teriris.

Ia sampai menjabarkan alasan yang menurutnya kebudayaan memainkan ondel-ondel ini sampai ditinggalkan.

Pertama, dilupakan masyarakat. Anak-anak sudah mulai mengikuti tren ketimbang budaya sendiri.

"Parahnya, orang tua juga ikut-ikutan mengikuti trend asing sehingga "lupa" memperkenalkan budaya Ondel-ondel kepada anaknya," tulisnya.

Kedua, ondel-ondel dianggap kuno. Animo masyarakat era millenial mulai diperkenalkan teknologi canggih. Hal ini berdampak pada perubahan sikap, sosial dan budaya.

Arakan ondel-ondel terkadang memang menjengkelkan. Kompasianer Widiyati bahkan tak sedikit melihat beberapa pihak melihjat keberadaan ondel-ondel ngamen ini tidak hanya bikin macet tapi juga musiknya yang memekakkan telinga.

"Tapi di lain pihak ondel-ondel adalah ikon kebudayaan Betawi yang harus tetap di jaga eksistensinya dan juga sumber mata pencaharian bagi segelintir penduduk Jakarta," tulisnya.

Jika memang ada yang dihasilkan atau didapat oleh sebagian orang tadi, masihkah kita terus ingin mencibir dan melihatnya dengan jengkel? Atau, cukup membiarkan ondel-ondel diperlakukan seperti itu?

Tetapi hari ini, setidaknya pada ulang tahun ke-492 Jakarta, ondel-ondel seperti bulan dalam bait pertama sajak "Bulan Kota Jakarta" yang ditulis WS. Rendra: Bulan telah pingsan / di atas kota Jakarta / tapi tak seorang menatapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun