Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Yang Gelap dan Penuh Humor dari Dongeng

28 September 2018   17:05 Diperbarui: 21 November 2018   22:46 4873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam jurnalnya, Eka Kurniawan sekali waktu membahas penulis asal Irak: Hassan Blasim. Karena keadaan negaranya itu, Hassan Blasaim terpaksa meninggalkan daerahnya. Dalam keterasingan itu, ia menulis banyak cerpen di internet. Ya. Tidak seperti penulis lain yang memulai di media-media konvensional seperti koran dan majalah sastra.

Dengan satu kesadaran, tulis Eka Kurniawan, apapun bisa dilakukan jurnalisme dan dongeng tetap dibutuhkan.

Cerita-cerita yang dihasilkan Hassan Blaaim dari bukunya "The Corpse Exhibition" tidak melulu bercerita tentang dramatisnya peperangan dan penderitaan. Justru yang dilakukan oleh Hassan Blasim adalah menulis cerita dengan penuh humor yang meluap-luap.

"Meskipun humornya gelap dan menyayat-nyayat," tulis Eka.

Dan, yang jauh lebih menarik dari buku kumpulan cerita pendeknya yaitu, bagaimana Hassan Blasim menggunakan dongeng sebagai senjata: di mana bisa membuat perih sekaligus hiburan yang menyenangkan.

"Cerpen-cerpen Hassan Blasim, meskipun secara nyata berdiri di atas puing-puing kekacauan bangsanya, memberi sejenis hiburan sekaligus semacam tantangan intelek," lanjut Eka Kurniawan dalam jurnalnya "The Corpse Exhibition, Hassan Blasim".

***

Cerita tetaplah cerita, dan dongeng biar bagaimanapun hanyalah dongeng yang bisa dipercayai atau tidaknya kejelasan sebuah asal-usul. Yang jelas, dongeng memberi ruang dan tempat untuk setiap orang bercerita. Berkembangnya sebuah dongeng, lebih-kurangnya, akan berbanding lurus dengan peradaban manusia itu sendiri.

Hampir di setiap tempat, negara maju sekalipun, akan selalu hadir dongeng-dongeng yang secara turun-temurun diceritakan. Sebab fungsi dongeng, barangkali, untuk membangun imajinasi. Untuk itulah kenapa dongeng bukan untuk diyakini, melainkan hiburan yang sarat akan fantasi.

Masyarakat kita tentu akrab dengan kisah-kisah dongeng semacam "Tangkuban Parahu" atau "Kisah Malin Kundang", bukan? Secara berkala kedua kisah itu diceritakan. Dan, mungkin saja saat ini kedua kisah itu sudah jauh berkembang dari kisah awalnya. Bisa saja. Maksudnya, sejauh mana kisah itu dibutuhkan sebagai pembelajaran, misalnya.

***

Taufan membuat kisah pembunuhan di sebuah rumah tanpa pernah terselesaikan akar permasalahannya. Ketika orang-orang sibuk mencari kebenaran dari pembunuhan itu, mencari lebih dalam, semakin tidak terlihat jalan terangnya.

Taufan menggunakan persepsi antara orang yang hadir dalam cerita itu. Dan, setiap persepsi lahir, hadir motif baru. Kisah semacam itu suka atau tidak, membangkitkan imajinasi pembacanya. Menebak dan menerka akhir ceritanya masing-masing. Taufan menggantungkan cerita itu:

"Sayangnya pihak pemangku, tim ahli, hingga tulisan ini dirilis. Rumah bernyanyi, julukan rumah itu, tak pernah diungkapkan pada publik. Entah mengapa."

Tapi, di situlah kenikmatan membaca cerpennya yang berjudul "Rumah Bernyanyi". Kita tidak akan pernah selesai akan satu kisah, karena kisah baru yang --bisa jadi serupa-- akan lahir. Dan terus seperti itu sampai kita lupa saking banyak dan sama.

Atau, sebagai contoh yang lain, bisa juga kita membaca cerita "Dulu Aku Menyusu di Payudara Ibumu'" yang ditulis Amel Widya. Sedikit konyol, memang, tapi cinta menurut Amel Widya, tidak mengenal takdir.

Cinta yang tumbuh sejak remaja, dirawat sampai usia yang matang, tumbuh begitu saja. Mungkin secara logis kita bisa mengelak, namun suka atau tidak, cinta menakdirkan semua kejadian itu.

Kamu mulai berani mengecup keningku setiap aku pamit untuk pulang ke rumahku, aku mulai berani menumbuhkan harapan di dadaku bahwa kamu juga menyukaiku.

Bukan suka, tegas Amel Widya, melainkan cinta.

Bagi siapapun yang percaya, cinta merupakan dongeng abadi yang kita tidak tahu asal-usulnya. Kita bisa menceritakannya tanpa pernah merasakannya. Atau sebaliknya, kita bisa merasakan tanpa bisa menceritakannya.

Dan dari cerpen itu, pada akhirnya cinta disadarkan oleh kenyataan:

Kamu menghela napas. "Karena dalam darah kita mengalir susu yang sama maka haram bagi kita hidup bersama dalam satu rasa. Kita cuma titik embun di daun yang bergulir jatuh ke tanah tanpa jejak basah."

***

Lilik Fatimah Azzahra membuka ceritanya seperti ini: Ada yang bilang, jika nasibmu selalu sia peliharalah seekor kucing, maka keberuntungan akan menghampirimu.

Pada awal cerpen itu kita sudah disuguhi bagaimana kita mesti bersikap: meyakini untuk kemudian dipercayai atau tidak.

Lantas bagaimana jika kita tidak mempercayainya? Apakah cerita itu sekadar dikhususkan untuk orang-orang yang menyukai kucing? Bagaimana dengan yang tidak?

Suka atau tidak, cerita yang disajikan Lilik Fatimah adalah seputar orang yang tidak menyukai kucing. Kucing yang dibawa oleh anak gadisnya, Denok, ke rumah. Kucing itu dibawa dengan sebuah kardus setelah ditemukan di pinggir jalan.

Cerita tentang kucing itu kemudian dihubungkan dengan kisah legenda Nyai Ateh dan kucingnya. Kepergian Nyai Anteh itu karena terus dikejar oleh Raden Anantakusuma.

Pada saat terdesak itu, barulah kemudian Nyai Anteh pergi ke bulan bersama kucing kesayangannya. Pergi begitu saja. Seperti kucing yang semula ditemukan Denok dan dibawa ke rumahnya itu.

***

Tradisi sastra dongeng adalah sebuah proses yang terus berkembang. Mungkin, semakin berkembangnya zaman, dongeng bisa kita sangsikan eksistensinya. 

Namun, untuk selalu yang bertumbuh, seperti dongeng, yaitu dengan mengembangkan dengan kreativitas --bukan dengan menjaga awal ceritanya. Segelap apapun dongeng itu, selucu appaun kisah dongeng tersebut. (hay)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun