Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Pertempuran 2 Raksasa, Alasan Harga Mi Instan Tidak Akan Naik

15 Agustus 2022   05:37 Diperbarui: 15 Agustus 2022   05:48 9968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertempuran 2 Raksasa, Alasan Harga Mie Instan Tidak Akan Naik (gambar: mediapijar.com)

Saya membayangkan jika harga mi instan naik hingga tiga kali lipat, apakah yang terjadi?

Bisa saja sebagian masyarakat Indonesia mulai mencari alternatif lainnya, sorgum, singkong, atau jagung misalkan. Pun halnya dengan warung-warung kecil yang menempatkan mi instan dalam daftar menunya. Bisa saja bakso atau nasi padang yang menggantikan. Harganya sama dan tidak kalah enak.

Jika ini terjadi, siapa duluan yang meradang?

Sekitar 18 tahun yang lalu, tepatnya pada 2003. Di area-area keramaian tampak beberapa SPG sibuk menawarkan produk mi instan. Harganya murah, berhadiah piring pula.

Gadis-gadis cantik itu rada "memaksa" calon konsumen yang lewat. Meyakinkan mereka untuk tidak berpindah ke lain hati. Bagaikan seseorang yang sebentar lagi akan dighosting pacarnya, ia menawarkan kebaikan-kebaikan yang selama ini tidak pernah ia berikan.

SPG itu mewakili perusahaan tempatnya bekerja. PT Indofood Sukses Makmur TBK, produsen mi instan nomor satu di Indonesia, Indomie.

Apa yang terjadi?

Dua tahun sebelumnya, Indomie masih nyaman bertenger di sarangnya. Produk ini menguasai 90% pangsa pasar mi instan Indonesia. Bukannya tanpa gangguan. Sejak pertama kali didirikan pada 1972, sudah puluhan merek mi instan diproduksi oleh perusahaan lain. Baik dari dalam maupun luar negeri.

Tapi, kedigdayaan indomie tidak tergoyahkan.

Lalu kemudian muncullah merek mi instan yang satu ini. Kehadirannya membuat petinggi Indofood pusing tujuh keliling. Hanya dalam waktu dua tahun, pangsa pasarnya tergerus sekitar 15-20%. Dan pesaing itu bernama Mie Sedaap.

Apa yang terjadi?

Jika ditelaah dari konsep lifecycle product (Levitt, 1978), Indomie sudah melewati tahap mapan (kedewasaan). Dan ini telah terjadi selama puluhan tahun lamanya. Hal ini terbukti dengan pengakuan merek Indomie sebagai merek generik (generic brand). Apa pun mi instannya, Indomie tetap sebutannya.

Oleh sebab itu, Indomie lengah. Selama ini mereka tidak melakukan strategi ofensif, karena memang tidak ada lawannya lagi. Berfokus kepada distribusi menjadi rutinitas perusahaan.   

Namun, mereka lupa terhadap suatu hal. Konsumen butuh keragaman. Rasa yang itu-itu saja lama-lama juga bosan. Mie Sedaap datang dengan jawabannya dan berhasil menggeser hegemoni merek Indomie.

Keberanian Wingsfood, produsen Mie Sedaap patut diacungi jempol. Bukannya bersembunyi di balik alasan Blue Ocean Strategy, mereka malah muncul menantang penguasa pasar.

Daripada repot-repot memikirkan produk dan inovasi baru, mereka mempelajari kekuatan sang pemimpin pasar dan sekaligus kelemahannya. Strategi ini disebut dengan Hardball. Grup Wings sebagai perusahaan yang bergerak di bidang produk rumah tangga sudah sering melakukannya.

Kelemahan Indomie ternyata berada pada kekuatannya sendiri. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, Indomie adalah merek generik. Untuk melawan ini pemilihan kata "Sedaap" lalu dijadikan senjata.

Sedap adalah kata umum, tidak bisa dipatenkan. Jadilah penambahan kata "a" menjadi Sedaap. Tapi di benak konsumen, "sedaap" adalah sedap. Artinya nikmat. Slogannya pun mendukung; "begitu coba, semua orang langsung suka."

Lima varian langsung diluncurkan, memenuhi keinginan konsumen atas produk yang "itu-itu saja." Bukan hanya itu, tulisan (dan sebutan) "kriuuk" dengan segera memenuhi benak konsumen. Ada kriuknya, berarti seperti keripik. Masyarakat Indonesia memang menyukai rasa "kriuk."

Lalu dari sisi distribusi, Wingsfood melakukan strategi wilayah. Di daerah perkotaan dengan dominasi pasar modern, Wingsfood berani memberikan "bayaran" lebih untuk mendapat jatah pasar.

Sementara di daerah yang lebih kecil, distribusi dilakukan hingga ke tingkat pedagang eceran yang paling pelosok. Untuk menambah insentif, mereka berani memberikan jangka waktu pembayaran yang lebih lama.

Dengan strategi ini, Indofood seolah-olah melawan dua armada pasukan yang berbeda, padahal mereka dari perusahaan yang sama.

Biaya iklan juga tidak main-main. Di masa sebelum medsos, belanja iklan televisi Mie Sedaap termasuk salah satu yang terbesar. Di tingkat grosir dan eceran, promo dan hadiah membanjiri para pedagang.

Konon kabarnya, Wings sampai membeli pabrik piring untuk mendukung langkah promosinya.

Warung-warung di pinggir jalan pun tidak luput dari serangan. Harga yang lebih murah menjadi senjata. Meskipun hanya beda sedikit, tapi pemilik warung adalah pelaku usaha yang sangat sensitif terhadap harga. Sekali lagi, Wingsfood menyadari hal-hal yang selama ini tidak disadari oleh Indomie.

Dari Leader menjadi Follower

Indofood panik, dalam waktu yang relatif singkat, pasar mereka tergerus demikian besarnya. Mereka pun membentuk "pasukan-pasukan khusus" untuk meggempur Mie Sedaap.

Dari Mie Sayap, Sarimie Ekstra, hingga puluhan merek lainnya. Tapi, semakin banyak varian merek, pasar Indomie semakin tergerus.

Lama kelamaan, Grup Salim ini baru menyadari kesalahannya. Kehadiran banyak merek malah membuat nama Indomie semakin terlupakan. Bahkan Supermie Sedaaap (dengan tiga huruf "a") justru menaikkan pamor Mie Sedaap yang sudah duluan hadir.

Para ahli pemasaran mengamati, jika konsumen bisa beralih ke merek lain, maka mereka berpotensi juga untuk beralih ke Mie Sedaap. Indofood menggali kuburannya sendiri, mengedukasi pelanggannya untuk "berselingkuh."

Itulah mengapa hingga kini kita seringkali melihat Indomie dengan rasa-rasa lokalnya. Mereka tidak mau kecolongan pasar lagi sampai dua kali.

Sejarah pertempuran dua raksasa ini menjadi alasan yang kuat -- harga mi instan tidak akan dinaikkan secara gegabah, meskipun harga gandum dunia meroket.

Mengapa?

Harus diingat, dalam dunia bisnis ada istilah persaingan tidak langsung. Sebuah merek mie instan tidak hanya bersaing dengan merek lainnya. Mereka juga bersaing dengan nasi padang, bakso, dan siomay.

Jika harga mie instan naik secara drastis, dikhwatirkan para penggemar mie instan akan mengalihkan kebiasannya. Indomie, Mie Sedaap tidak akan membiarkannya.

Sekali lagi, mengapa?

Penurunan market share Indomie sebesar 15% adalah sebuah bencana industri. Sribugo Suratmo, mantan Ketua Umum Asosiasi Biskuit, Roti, dan Mi Instan (Asrim) mengatakan bahwa mendapat pangsa pasar 2% saja, sebuah perusahaan mie instan sudah bisa hidup.

Ini terkait dengan besarnya pasar mie instan di Indonesia. Menurut World Instant Noodles Association, pada 2021 Indonesia adalah negara kedua terbesar di dunia dalam hal konsumsi mie instan.

Jumlahnya setara dengan 13,27 miliar bungkus. Terbesar adalah China dengan 43,99 miliar bungkus. Jumlah konsumsi mie instan Indonesia naik sebesar 4,98% dari tahun lalu. Dan dalam lima tahun terakhir, pasar ini terus bertumnbuh.

Dalam mata uang, total 13,27 miliar itu setara dengan US$ 3,03 milliar. Atau 43,9 triliun rupiah dalam setahun (kurs: Rp.14.500). Amazing!

Sekali lagi masyarakat tidak perlu khwatir akan isu kenaikan harga mie instan. Melihat sejarah pertempuran dua raksasa mi instan, mereka benar-benar tidak rela jika pangsanya tergerus.

Lebih baik menjual rugi, menahan nafas sebentar, hingga harga dan supply gandum internasional kembali normal, daripada kehilangan konsumen.

**

Referensi: 1 2 3 4 5 6 7 8

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun