Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menelusuri Kisah Cinta Pak Harto dan Ibu Tien

27 September 2021   07:38 Diperbarui: 27 September 2021   07:39 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah cinta presiden ke-3 RI, Habibie dan Ainun telah menjadi inspirasi banyak orang. Cinta sejati mereka telah banyak difilmkan dan disokong oleh banyak artis terkenal, seperti Bunga Citra Lestari, Reza Rahardian, Chelsea Islan, hingga Maudy Ayunda.

Habibie dan Ainun adalah teman sekelas. Keduanya kebetulan sama-sama pintar. Gouw Keh Hong, guru ilmu pasti mereka bahkan sempat bercanda. "Jika mereka jadi suami istri, tentu anaknya pintar-pintar."

Awalnya, tidak ada perasaan apapun dari Habibie terhadap Ainun, kecuali ibunda Habibie yang ngotot menjodohkan mereka berdua. Kala itu, Habibie masih sibuk dengan studi doktoralnya sambil bekerja paruh waktu.

Namun, semuanya berubah ketika Habibie bertemu kembali dengan Ainun yang sudah beranjak dewasa. Ainun yang pernah ia ejek dengan julukan Gula Jawa, kini telah berubah menjadi Gula Pasir. Seorang gadis nan jelita.

Sejak saat itu, kisah cinta Ainun dan Habibie pun mengalir bagaikan melodi yang indah. Kisah mereka telah menjadi legenda di hati masyarakat Indonesia.

Namun, Habibie bukanlah satu-satunya presiden yang memiliki kisah kasih yang inspiratif. Adalah Soeharto dan Siti Hartinah (Ibu Tien) yang juga tidak kalah menakjubkan.

**

Pada zaman pendudukan Jepang, Tien adalah seorang wanita yang berjuang untuk menegakkan revolusi. Ia adalah anggota Fujinkai, satu-satunya organisasi wanita yang diperbolehkan pada masa itu.

Di masa revolusi, Tien muda berjuang melalui Laskar Putri Indonesia. Ia bersama ratusan wanita lainnya turut mengambil andil mempertahankan kemerdekaan. Khususnya di wilayah dapur umum dan palang merah.

Ketika ia ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional 3 bulan setelah kematiannya, banyak yang tidak tahu. Terlepas dari pujian atau cibiran, secara fakta, ibu Tien memang telah berjuang mengusir penjajah.

**

Kendati berasal dari keluarga ningrat, masa kecil Tien tidak semanis gelarnya. Ia harus berpindah tempat beberapa kali akibat perang yang berkecamuk di seputaran pulau Jawa.

Ia bahkan pernah diangkat anak oleh Abdul Rachman, sahabat orangtuanya yang tak memiliki anak. Namun, kejadian ini tak lama, karena Tien kecil justru sakit-sakitan. Akhirnya, ia pun dikembalikan ke orangtua kandungnya.

Sebagai sosok wanita di zaman penjajahan dengan kondisi ekonomi yang sangat terbatas, Tien tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengenyam pendidikan.

Ia tercatat pernah bersekolah di HIS (Hollands-Inlandsche School) yang merupakan sekolah dasar bentukan Belanda untuk bangsawan bumiputra. Di situlah ia bertemu dengan Soeharto.

**

Kala itu, Soeharto remaja pindah dari Desa Kemusuk, Yogyakarta menuju Wonogiri rumah pamannya, untuk bersekolah.

Saat di sekolah, Soeharto berjumpa dengan Tien yang juga teman kelas adik sepupunya, Sulardi. Cinta bersemi pada pandangan pertama. Soeharto jatuh cinta kepada sang gadis berlesung pipit.

Namun Soeharto hanya bisa mengaburkan harapannya. Status kemangkunegaraan Tien membuatnya tidak percaya diri.

**

Beberapa waktu berlalu tanpa terasa. Soeharto sudah menjadi perwira militer dengan pangkat Letnan Kolonel. Saat itu, ia sedang bertugas di Yogyakarta.

Suatu hari, Soeharto dikunjungi oleh keluarga Prawirowihardjo yang tak lain adalah paman sekaligus orangtua angkatnya.

Di tengah perbincangan, ibu angkat Soeharto merasa khwatir akan status jomlo Soeharto. Ia pun mendesak Soeharto untuk segera menikah. Sebabnya, usianya sudah termasuk bujang lapuk di masa itu.

"Pernikahan itu harus terjadi, tidak bisa terhalangi, meski oleh perang sekalipun," ujar ibunda Soeharto.

"Tapi, dengan siapa saya menikah? Saya belum punya calon." Tanya Soeharto kembali.

Ibunda Soeharto ternyata telah memiliki calon, dan itu adalah Siti Hartinah, gadis yang telah mencuri hati Soeharto saat remaja.

Soeharto kaget dan tidak yakin. Tien adalah anak bangsawan Jawa, sementara ia hanyalah anak petani biasa. Demikian dalam pikirannya.

Tapi, dengan penuh percaya diri, Ibunda Soeharto menjamin untuk mengurus semuanya, jika Soeharto setuju. Keluarga Prawirowihardjo memiliki kedekatan dengan keluarga Kandjeng Pangeran Harjo (KPH) Soemoharjomo, ayah Tien.

Ternyata cinta tidak bertepuk sebelah tangan. Soeharto tak menduga jika keluarga KPH Soemarjomo mau menerima lamarannya. Soeharto dan Tien pun akhirnya berjodoh setelah sekian tahun tidak pernah lagi bersua.

Upacara nontoni alias lamaran berlangsung lancar. Bahkan tanggal pernikahan langsung ditentukan. Kendati demikian, menurut pengakuan Soeharto, dirinya masih penuh keraguan, apakah Tien benar-benar mencintai dirinya?

**

Tanggal 26 Desember 1947, acara perkawinan berlangsung di Solo. Soeharto muda berusia 26 tahun, Siti Hartinah istrinya dua tahun lebih muda.

Soeharto mengenakan pakaian penganten dengan sebilah keris di punggungnya. Untuk seorang militer yang sudah terbiasa dengan pakaian dinas, perasaan Soeharto tidak tenang.

Selain merasa tidak leluasa dengan pakaian tersebut, suasana keamanan juga belum terlalu kondusif. Peperangan bisa saja meletup setiap saat. Sulardi, adik sepupunya yang menemaninya dari Yogya ke Solo cukup menghibur. Ia menganggu Soeharto sepanjang perjalanan.

Resepsi pernikahan berlangsung pada sore hari. Cukup banyak yang menghadiri, karena keluarga Soemoharjomo cukup terpandang. Sayangnya tidak ada dokumentasi yang mengabadikannya, sebab saat itu situasi tanah air memang masih darurat.

Selamatan dilanjutkan pada malam hari dan hanya bercahayakan lilin. Kota Solo pada hari tersebut harus dibuat redup untuk menghindari kemungkinan serangan udara dari Belanda.

Tiga hari setelah pernikahan, Soeharto kemudian memboyong Siti Hartinah ke Yogya untuk menemaninya bertugas. Sejak saat itu, ibu Tien selalu bersama Pak Harto dalam kebahagiaan, maupun pada masa-masa sulit.

**

Cinta Soeharto kepada ibu Tien takada duanya. Kendati banyak godaan dan juga diterpa isu tak sedap, nyatanya mereka tetap bersama hingga ajal menjemput.

Mereka tidak mengenal pacaran seperti anak muda sekarang. Tidak ada pula penolakan ketika hendak dijodohkan. Namun mereka percaya dengan pepatah Jawa, "witing tresna jalaran saka kulina," yang berarti datangnya cinta karena kedekatan.

Dalam hal ini, Soeharto dan ibu Tien meyakini nikah dulu baru pacaran. Contoh yang baik bagi para jomlo yang menolak dijodohkan. 

Soeharto mempunyai prinsip bahwa keluarga adalah tanggung jawab yang harus dijalankan. Baginya cinta berwujud lebih luas, yakni menjaga keharmonisan dan ketentraman di antara pasangan.

Cinta bagi suami istri bukan saja bagi kedua orang, tetapi juga bagi keturunannya. Ini adalah wujud kodrat manusia yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Percecokan di antara suami istri wajar terjadi. Namun, bukan untuk saling menyalahkan, namun untuk saling mengoreksi. Cinta harus bisa saling mengedapankan kemanusiaan, bukan untuk permusuhan.

**

"Hanya ada satu Nyonya Soeharto, dan tidak ada lagi yang lainnya," ujar Pak Harto dikutip dalam buku, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (halaman 229).

Referensi: 1 2 3 4 5 

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun