Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eksploitasi Seks "JK" dan Gairah Perintis Grup Idol 48

1 Agustus 2021   04:30 Diperbarui: 1 Agustus 2021   07:31 1259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
japanesestation.com

Akronim JK bukan seperti yang kita ketahui. Ia adalah singkatan dari Joshi Kosei.

Artinya pun biasa saja. Dalam bahasa Jepangnya adalah seragam sekolah, tapi bisa juga diasosiasikan dengan gadis sekolah menengah (setingkat SMP dan SMA).

Namun, akan menjadi luar biasa jika sudah berhubungan dengan perilaku penyimpangan seksual. Fetisme terhadap seragam sekolah bercampur dengan pedofilia. Kurang mengerikan apa lagi?

Tapi, itulah yang terjadi di Jepang...

JK yang seharusnya terhormat pun berkonotasi negatif. Melihat gadis remaja dalam balutan seragam sekolah memang menggemaskan. Orang Jepang menyebutnya dengan kata Kawai (cute).

Bagi remaja, tampil mempesona sah-sah saja. Bisa menjadi daya tarik bagi sesama jomlo. Namun, jika sudah bikin bandot tua ngilu, Jijay adalah kata yang keluar.

Tapi, itulah yang terjadi di Jepang...

Selera Kawai berkembang luas. Menjadi populer hingga menyentuh anime dan grup pop idol.

Para Kawai pemegang status JK pun dimanfaatkan. Disediakan kafe bagi mereka. Letaknya di pusat-pusat keramaian kota di seantero Jepang.

Awalnya hanya merupakan tempat "ngeceng." Duduk manis berharap para jomlo mendekati. Siapa tahu ada yang masih muda, mirip boyband, tajir pula.

Lupakan boyband, yang datang menghampiri pun tidak muda lagi. Tapi, tajir sudah pasti.

Para Kawai pun tergoda. Diiming-imingi duit segepok hanya untuk kongkow sejam dua jam. Tidak ada salahnya.

Tapi, tidak dengan apa yang terjadi di Jepang...

Layanan pun semakin luas. Dibagi dalam beberapa kategori. Mutsumi Ogaki dalam jurnal Dignity (2018) punya defenisinya;

JK Satsuekai (jasa foto bersama), JK O-sanpo (sesi jalan-jalan), dan JK Rifure (pijat refleksi). Ada pula hanya sekedar menemani, ngobrol santai, dan bercanda ria. 

Jenisnya bisa bermacam-macam, tapi obyek tujuan hanya satu. Kepolosan dan kecantikan gadis berseragam.

Dari sinilah segalanya bermula. Para bandot tua yang gateli mulai melancarkan bual.

Para gadis polos pun tertegun. Jumlah bonus yang ditawarkan melebihi moral. Jadilah transaksi seksual. Sang gadis kecil terbuai dengan tawaran pria dewasa. Miris memang.

Tapi, itulah yang terjadi di Jepang... 

Stacey Dooley dalam investigasi Young Sex for Sale in Japan (2017) membongkar seluruh aktivitas terselubung ini (bbc). Jalan-jalan Akihabara ditelusuri, tempat lahir dari grup idol Jepang, AKB 48.

Di Kawasan itu, Dooley mendapatkan kafe-kafe JK bertebaran. Gadis-gadis JK berkeliaran di jalanan. Bukan hanya berseragam sekolah, tapi juga dengan kostum cosplay laiknya gadis anime.

Di salah satu sudut, Dooley mewawancarai seorang pria dewasa pelanggan JK. Ia mengaku jika gadis berseragam terlihat cantik dan juga "gila." Kawai yang seharusnya imut tiada bedanya dengan seksi.

"[...] orang luar mungkin menganggap ini menjijikkan, tapi tidak bagi orang Jepang. Mereka mengerti mengapa pria dewasa ingin berkencan dengan gadis sekolah. Sulit dijelaskan...," pungkas lelaki yang diwawancarai.

Seorang gadis JK juga diwawancarai oleh Dooley. Ia baru berusia 17 tahun, berwajah menarik khas keimutan gadis Jepang.

Sang gadis kecil mengaku bisa melayani nafsu lima hingga enam lelaki hidung belang dalam sehari. Ini belum termasuk belasan lelaki lainnya yang hanya mau sekedar ditemani.

Dalam seminggu, ia bekerja tiga kali sehari. Dan sang gadis JK masih bersekolah!

Sang gadis memang melakukannya dengan penuh kesadaran dan suka rela. Tapi, ada kisah pahit lainnya.

Beberapa lagi mengaku jika mereka pernah dipaksa mesum di berbagai tempat umum. Ada juga yang mengaku pernah diculik dan dibawa ke rumah si pelanggan dan kemudian diperkosa.

Hasil investigasi Dooley memberikan kenyataan pahit. Ada kurang lebih 300 kafe JK di Jepang yang memperkerjakan sekitar 5.000 gadis kecil. Ketir memang.

Tapi, itulah yang terjadi di Jepang...

Kenyataan semakin miris dengan nasib gadis-gadis kecil tersebut. Sebagian besar aktivitas mereka tidak diketahui oleh keluarga dan orang-orang terdekat.

Akibatnya, mereka kerap menjadi korban eksploitasi dan perdagangan manusia. Produksi film porno di Jepang memang legal. Tak heran jika ia menjadi negara produsen film porno terbesar di dunia.

Tapi, tidak semuanya legal. Banyak juga yang diproduksi secara sembunyi-sembunyi di bawah tanah. Salah satu penyebabnya adalah batasan umur.

Di Jepang, seorang wanita akan dianggap dewasa dengan keputusannya pada saat ia telah berumur 18. Tapi, permintaan agar gadis Kawai untuk tampil di film porno membludak. Sadis memang.

Tapi, itulah yang terjadi di Jepang...

Permintaan JK yang membludak membuat semakin banyak penipuan. Dikutip dari sumber (suara.com), seorang gadis berusia 17 tahun memberi pengakuan.

Suatu waktu, ia menerima tawaran dari akun tak dikenal melalui aplikasi pesan. Pekerjaan paruh waktu dengan bayaran menggiurkan.

Sang siswi pun tergoda. Kerjaannya tidak susah. Hanya perlu mengenakan seragam sekolah dan masuk ke dalam sebuah bilik kecil.

Di dalam ruangan sempit, ada beberapa gadis lainnya. Di sanalah ia baru tahu jika dirinya dipajang dalam "aquarium." Di sisi lainnya lelaki hidung belang bisa melihatnya melalui kaca satu arah.

Singkat kisah, sang gadis yang ketakutan berhasil kabur. Ia tidak pernah mengungkapkan pengalaman pahitnya kepada orangtuanya.

Tapi, hingga kini ia mengaku masih sering tergoda dengan tawaran tersebut. Uangnya sungguh sangat besar bagi ukuran pelajar. Pahit memang.

Tapi, itulah yang terjadi di Jepang...

Joshi Kosei sudah menjadi problema sosial besar di Jepang. Ada banyak faktor penyebabnya.

Pertama karena permintaan. Kawai sudah terlanjur populer. Bisnis sudah semakin besar. Sudah banyak pula pelajar yang terjebak.

Kedua, faktor budaya. Cara orang Jepang melihat konsep seksualitas sangat dipengaruhi oleh tradisi dan kepercayaan Shintoism.

Seks bukanlah kejahatan bagi masyarakat Jepang, tapi semacam panggilan alam. Wajar untuk dipenuhi dan diperbincangkan, selama tidak menyakiti sesama manusia.

Baca juga: Jepang Negara Vulgar, Tapi Banyak yang Jijik dengan Seks

Ketiga, masalah klasik. Sebagaimana alasan yang sering ditemukan dari wanita yang terjerumus, tiga alasan klasik ini mendominasi; 1) masalah finansial, 2) pergaulan bebas, dan 3) kesenangan sendiri.

Keempat, masalah hukum. Di Jepang, menggauli anak di bawah umur memang adalah tindak pidana. Tapi, tidak ada aksi tegas dalam pemberantasan.

Dikutip dari sumber (boombastis.com), salah satu penyedia jasa JK ada yang bersebelahan dengan kantor polisi. Para pelaku sindikat bisnis JK sangat lihai dalam mengelabui hukum. Gila memang.

Tapi, itulah yang terjadi di Jepang...

Dalam bisnis JK, seragam sekolah adalah hal yang penting. Ia adalah simbol seksual bagi para pencinta Kawai.

Bisa saja "kelainan seksual" ini sudah lama terpendam. Namun, semuanya dimulai sekitar tahun 90an.

Adalah tren buru-sera yang melibatkan siswi-siswi sekolah menjual pakaian mereka yang belum dicuci. Termasuknya adalah seragam sekolah, baju renang, dan daleman.  

Ternyata banyak yang berminat. Mereka ditenggarai sebagai para lelaki yang terobsesi dengan fetisme pakaian bekas gadis remaja.

Namun, jauh sebelum fenomena ini mencuat, bibitnya telah dimulai satu dasawarsa sebelumnya. Tepatnya pada tahun 1985.

Adalah grup penyanyi wanita remaja yang bernama Onyako Club. Mereka merupakan sekelompok gadis yang bernyanyi keroyokan.

Salah satu lagunya yang paling ngehits adalah Sailor Fuku wo Nugasanaide. Terjemahannya: Jangan Kau Ambil Seragam Sekolahku.

Para penyanyinya tampil lengkap berseragam sekolah. Menari lincah bak gadis kawai yang bikin ngilu.

Lagu tersebut mengandung lirik provokatif seksual, seperti;

"Jangan buka seragamku, saatnya bukan sekarang. Bersabar, sayangi aku, dan tunggu."

"Saya ingin melakukannya, seperti yang mereka bicarakan di majalah. Tapi percuma jika aku menyerahkan semuanya padamu, jadi saya tak mau."

"Saya diajak ngedate, dan menjadi perawan itu membosankan. Papa dan mama tidak tahu, tentang rencana kita menginap bersama besok malam."

Kendati demikian, ada juga yang membela. Mereka menyebutnya sebagai kampanye untuk mengajak para remaja putri agar bisa mengendalikan diri.

Sayangnya, warga Jepang sudah terlanjur ngeres. Jadilah fenomena buru-sera semakin dikenal. Kawai menjadi buruan, JK menjadi obyek seksual.

Ketika membaca mengenai Onyako Club, adakah sesuatu yang terlintas?

Anda benar. Onyako Club adalah embrio awal dari grup idol AKB 48. Setelah terkenal di Jepang, mereka pun berekspansi ke mancanegara. Di Indonesia, dikenal sebagai JKT 48.

Onyako Club dan Grup Idol 48 sama-sama diproduseri oleh Yasushi Akimoto. Ia adalah penulis novel, penulis lirik lagu, dan produser televisi.

Tren buru-sera terus bertumbuh. Mutasinya adalah JK yang menyerempet ke praktik prostitusi.

Namun, ada juga sisi yang lebih "elegan." Namanya Enjo Kosai. Artinya adalah seorang pria dewasa menyokong kebutuhan ekonomi gadis sekolah.

Kedengarannya mulia, tapi tidak. Tersebab sang gadis remaja harus membalas jasa sang pria dewasa dengan tubuh polosnya. Sangat Miris.

Tapi, itulah yang terjadi di Jepang... dan untungnya bukan di Indonesia (semoga).

Referensi: 1 2 3 

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun