Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

6 Contoh Kejujuran dan Kesederhanaan Baharuddin Lopa

2 Maret 2021   04:16 Diperbarui: 2 Maret 2021   09:47 7573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baharuddin Lopa (sumber: gap.web.id)

Kepergian Artidjo Alkostar membuat publik terhenyak. Tersebab ia adalah sosok penegak hukum yang bersih. Bagai Mutiara di tengah air mendidih. Jelas reputasi ini tidak didapat dalam semalam. Semuanya melalui pembuktian yang penuh cobaan berat.

Artidjo telah pergi. Namanya akan selalu bersemi. Ia telah memberikan contoh. Bagaimana kejujuran akan selalu memiliki tempat tersendiri.

Sosok Artidjo lantas mengingatkan penulis dengan salah satu legenda hukum Indonesia. Siapa lagi kalau bukanBaharuddin Lopa.

Pria kelahiran Polewali Mandar, 27 Agustus 1935 ini telah menjadi ikon hukum berintegritas di Indonesia. Bahkan dalam debat Pilpres 2019 lalu, baik Jokowi dan Prabowo menyebut nama beliau sebagai sosok yang harus dipanuti.

Penulis tidak akan membahas sepak terjang beliau dalam dunia hukum. Berbagai sumber terpercaya telah menjelaskannya dengan sangat detail. Seorang Lopa yang memegang teguh prinsipnya, tidak hanya sebagai penegak hukum saja. Tapi, juga dalam kehidupan sehari-harinya.

Mobil Pertama

Syahdan, suatu hari Baharuddin Lopa bercakap-cakap dengan istrinya. Tabungan mereka sudah cukup untuk membeli sebuah mobil.

Maka datanglah ia ke distributor mobil di Makassar. Sang Dirut langsung menemuinya. Sebagai pejabat publik, tentunya mobil berkelas yang diinginkan. Begitulah yang terbersit dalam pikiran sang Dirut.

Ia pun menawarkan mobil termahal seharga 100 juta rupiah.

"Mahal sekali, ada yang murah?" tanya Lopa.

Sang Dirut lantas menawarkannya mobil kedua termahal seharga 60 juta rupiah.

"Masih terlalu mahal."Sahut Lopa.

Akhirnya, mobil termurah bermerek Toyota Kijang pun disepakati. Harganya 30 juta rupiah. Syaratnya hanya tiga; diberikan potongan diskon, dicicil, dan jangan ditagih.

Sang Dirut yang mengenal Lopa pun langsung menyetujuinya. Diskon yang diberikan tidak main-main. 25 juta dari harga 30 juta. Lopa spontan menolak tawaran itu.

"Jangan begitu, kamu harus menjual ke saya dengan harga wajar." Pungkas Lopa.

"Lho, saya kan pemilik mobil. Jadi terserah saya mau jual mobil di harga berapa." Balas sang Dirut.

Lopa tetap bersikeras. Baginya itu bukan harga yang wajar. Akhirnya harga disepakati sebesar 25 juta, beserta seluruh persyaratan lainnya.

Sejak saat itu, Lopa selalu hadir sendiri membawa uang tunai untuk mencicil mobilnya. Ia selalu menyetor sebelum tanggal jatuh tempo. Selama 3 tahun 4 bulan, sang Dirut terus berhadapan dengan Lopa untuk menerima cicilan mobilnya. Suatu hal yang membuat dirinya kikuk. Bagaimana mungkin ada pejabat publik yang sesederhana ini.

Sang Dirut tiada lain adalah Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI.

Menolak Bensin Gratis

Kisah yang lain berada pada saat dirinya menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Dalam sebuah kunjungan kerja, Lopa heran melihat bensinnya terisi penuh. Ia mengingat persis bagaimana bensinnya sudah hampir habis.

Sang ajudan yang mendampingi Lopa dalam mobil dinasnya mengatakan, bensin diisi oleh pejabat setempat. Mendengarkannya, Lopa meminta ajudannya kembali bertemu dengan pejabat tersebut. Ia segera menyuruh pegawai pemerintah untuk menyedot kembali bensin yang sudah diberikan.

"Saya punya uang untuk beli bensin, dan itu harus saya pakai." Tegas Lopa.

Menumpang Pete-pete

Ada pula kisah di tahun 1983. Saat itu, Lopa masih menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Ia diundang menjadi saksi pernikahan oleh salah satu kerabatnya.

Menghormati tamu penting, tuan rumah menunggu di depan untuk menyambut mobil dinas berplat DD-3 yang akan datang mengunjungi. Tapi, suara Lopa sudah terdengar dari dalam rumah. Ternyata ia beserta istrinya datang dengan naik angkot (pete-pete).

"Ini hari Minggu dan bukan acara dinas. Haram hukumnya naik mobil kantor." Lopa berkata

Telepon Berkoin

Fasilitas negara juga menjadi korban dari konsistensi sikap Baharuddin Lopa. Alih-alih menggunakan telepon di rumah dinasnya, ia malah menguncinya. Tujuannya agar tidak sembarang dipakai.

Sebagai gantinya ia memasang telepon koin. Ini dilakukan agar kepentingan pribadi dan dinas tidak bercampur aduk.

"Siapa pun yang ingin menelepon harus membayar." Pesan Lopa.

Enggan Menerima Parsel

Salah satu yang paling diharamkan oleh Lopa adalah menerima parsel. Sayangnya di saat lebaran, ada saja yang datang berjubel.

Suatu waktu Lopa pulang ke rumah. Ia mendapati sebungkus parsel yang telah bolong. Ternyata putrinya tidak bisa menahan nafsu. Coklat manis pun dicolong.

Lopa menghela napas. Ia tak memarahi putrinya. Sebagai ganti, dibelilah coklat dengan merek dan ukuran yang sama. Parsel pun dikembalikan kepada pengirim.

Aisyah, putri Baharuddin Lopa sudah sering kali kena getah atas sikap keras Lopa. Suatu waktu ia menjadi panitia seminar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Kampusnya kekurangan kursi, ia bermaksud meminta bantuan ayahnya untuk meminjam kursi. Bukannya kata "boleh" yang diperolehnya.

"Kursi ini milik Kejati, bukan milik kampusmu." Demikan jawab ayahnya.

Menolak Bantuan Sahabat Karib

Suatu hari, Lopa hendak menunaikan ibadah haji. Seorang kawan sekolahnya sejak SD hingga perguruan tinggi yang sukses sebagai pengusaha memberinya 10.000 dollar AS.

Lopa terkejut dengan pemberian itu. Dengan segera ia datang ke rumah kawannya. Apa yang ia katakan membuat kawannya tak bisa berkata apa-apa. Kecuali terharu.

"Saya tahu enkau iklhas. Akhlakmu pun terpuji. Saya tahu pula usahamu berjalan di jalur lurus. Namun, maafkan saya tidak bisa menerima uang ini. Kita bersahabat saja, ya." Ungkap Lopa.

**

Kisah yang tertulis hanyalah contoh kecil bagaimana seorang Baharuddin Lopa menjalankan amanahnya sebagai seorang penegak hukum. Tidak ada warna abu-abu. Yang ada hanyalah hitam atau putih.

**

Tepat 30 Juni 2001, Presiden Gus Dur tiba-tiba terhenyak. Ia masuk ke kamar dan mengurung diri. Saat keluar dari kamarnya, Gus Dur bergelinang air mata.

"Malam ini, salah satu tiang langit Indonesia telah runtuh." Ucap Gus Dur.

Tak ada satu pun yang mengerti maksud perkataan Gus Dur. Hingga tiga jam kemudian datanglah berita dari Riyadh.

Baharuddin Lopa telah dipanggil Allah SWT.

Ternyata "Tiang Langit" adalah sosok Baharuddin Lopa, sang patriot hukum sejati.

**

Hingga menjadi Jaksa Agung sampai ia menghembuskan napas terakhir. Prinsipnya masih ia pegang teguh. Memegang kejujuran. Menjalankan hidup dengan kesederhanaan. Yang terpenting, tak mengambil sesuatu yang bukan haknya.

"Kendati kapal akan karam, tegakkan hukum dan keadilan!" ~ Baharuddin Lopa

Referensi: 1 2 3 4 5 6

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia - versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun