Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Problema Sakit Jiwa di Indonesia, Puncak Gunung Es yang Belum (Pasti) Mencair

3 September 2020   17:58 Diperbarui: 11 September 2020   08:31 2034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sakit Jiwa (sumber: dw.com)

Johny (nama samaran), adalah seorang mantan siswa prodigi. Kemampuannya mengikuti pelajaran fisika yang rumit, sangat mengagumkan.

Pak Ikhsan, guru fisika SMA pun mengakui kehebatan si Johny. Sebabnya ia sendiri mengakui kalau tidak banyak siswa yang memahami caranya mengajar.

Bukan hanya fisika, pelajaran sejarah pun dilahap begitu saja oleh si Johny. Di masa dunia tanpa google, memahami sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara secara detail jelas luar biasa.

10 tahun berlalu, dan aku kembali bertemu dengan si Johny. Ia tak lagi mengenaliku, meskipun aku duduk bersebelahan meja dengan dirinya di bangku SMA.

Ia hanya duduk termenung, berkomat-kamit, sambil sesekali memukul jidatnya. Gerakan tersebut dilakukan secara konsisten, hingga kakaknya mengajaknya pulang setelah selesai membeli seluruh keperluan di toko listrik sahabatku.

10 tahun yang lalu, aku bertemu dengan Jemmy, kakak si Johny. Ia mengatakan kepadaku, kalau sekarang Johny sudah diisolasi di rumah, sejak ia secara tiba-tiba menyerang seorang pelanggan di toko ayahnya.

Kejadian ini hanya salah satu contoh sederhana bagaimana problema sakit jiwa yang terjadi dalam sebuah keluarga.

Kita sudah cukup sering melihat "orang-orang gila" yang berseliweran di masyarakat. Saking seringnya, sehingga kita hanya perlu mengabaikan, atau mungkin malah menertawai tingkah lakunya?

Tahukah anda, berapa banyak penduduk Indonesia yang sudah tergolong sakit jiwa? Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mencatat prevalansi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 juta per mil. Atau dengan kata lain, ada 1-2 orang dari 1.000 penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa berat.

**

Kelly, anak saya ngotot mengambil jurusan psikologi, meskipun banyak yang menentang. Kawan-kawannya menertawakannya; "Untuk apa jadi dokter orang gila, mending ambil jurusan yang aman-aman saja lah."

Hal yang sama juga terjadi dengan profesi Psikiater. Menurut Ketua Program Studi Psikiatri Universitas Padjajaran, Shellly Iskandar, kekurangan jumlah psikiater ditenggarai oleh kurangnya dosen pengajar, hingga kurangnya peminat.

Cerita singkat ini memberikan gambaran bagaimana psikolog dan psikiater tidak menjadi ranah pilihan pada umumnya. Stigma sebagai 'pengurus orang gila' sulitnya mendapat pekerjaan, dan perbandingan honor dengan dokter spesialis lainnya menjadi alasan utama disini.

Akan tetapi dr. Arief Limardjo, sepupu saya justru mengatakan hal berbeda. Ia mendorong Kelly untuk terus maju mengejar impiannya. Baginya psikolog adalah pekerjaan mulia yang akan berguna di masa depan.

Menurut dokter Arief, psikiater dan psikolog seharusnya bergandengan tangan. Psikiater dituntut untuk menyelesaikan masalah dengan memberikan pengobatan melalui medikasi standar kedokteran.

Sementara masih banyak pasien membutuhkan saran yang terbaik dari Psikolog Klinis tentang bagaimana menangani keluarga penderita 'disabilitas psikososial' ini.

Bagi psikolog, berhadapan dengan 'orang gila' adalah hal yang paling dihindari. "Seharusnya psikolog menangani gejala gangguan jiwa ringan yang dapat menjurus ke kesehatan jiwa parah nantinya. Sedangkan tingkat stress dan depresi semakin meningkat tajam akibat tekanan kehidupan yang kejam." Lanjut dokter Arief.

**

Menurut Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), profesional psikolog secara umum (termasuk psikolog Pendidikan, psikolog industri, psikolog klinis, dan lain-lain) yang terdaftar saat ini hanya sekitar 11.500 orang saja, dan kebanyakan berada di pulau Jawa.

Sebaliknya jumlah psikolog klinis yang lebih fokus kepada konsultasi penyembuhan gangguan jiwa, hanya sekitar 1.143 orang saja pada Ikatan Psikolog Klinis (IPK) di tahun 2019.

Angka ini meningkat tajam dari tahun 2013, yang hanya berkisar sekitar 451 orang, dengan sekitar 3 hingga 5 juta penderita gangguan jiwa berat yang ada pada saat itu. (Data Riset Kesehatan Dasar 2013).

Keterbatasan ini juga terjadi bagi jumlah Psikiater yang secara total, hanya sekitar kurang dari 1.000 orang se-Indonesia Raya.

Prevelansi yang timpang ini juga tercermin dari jumlah rumah sakit jiwa yang hanya ada 48 buah untuk melayani sekitar 265 juta jiwa manusia di Indonesia. Lebih dari separuhnya berada di 4 provinsi, dan 8 provinsi tidak punya Rumah Sakit Jiwa.

Bagaimana dengan penderita stress, depresi, dan gangguan jiwa ringan lainnya? Menurut Riskesdas tahun 2018, prevalensi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengalami gangguan adalah sebesar 14 juta orang. Sayangnya hanya 9 persen dari kasus depresi tersebut yang mendapatkan sentuhan medis maupun konsultasi.

Masih menurut data yang sama, prevalensi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengalami depresi sebesar 6 persen, atau sekitar 14 juta orang. Sayangnya, hanya 9 persen dari penderita yang minum obat atau menjalani pengobatan medis.

**

Dari kondisi yang tidak seimbang ini, muncul lagi masalah baru. Ongkos konsultasi dan medikasi menjadi mahal, karena terpengaruh oleh hukum permintaan dan persediaan.

Oleh sebab itu, berdasarkan data yang dimiliki oleh RS Melinda Bandung, jika ada pemeriksaan kejiwaan gratis bagi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi dan potongan harga bagi kelompok mahasiswa, angka kunjungan pasien kejiwaan per bulannya bisa meningkat tajam hingga mencapai 750 pasien.

**

Situasi ini sangat mengkhwatirkan. Selain kurangnya tenaga ahli, hingga mahalnya biaya konsultasi yang membuat sebagaian masyarakat tidak tersentuh.

Sebagai akibatnya, pengobatan alternatif dari tenaga non-medis seperti dukun dan sejenisnya, menjadi pilihan bagi penderita sakit jiwa.

Belum lagi stigma yang jelek terhadap penderita gangguan mental, hingga praktik pasung di negeri ini masih tinggi. Hal ini semakin diperburuk dengan minimnya sosialisasi kesehatan mental ini.

Keterlibatan lembaga-lembaga non medis yang tidak resmi juga turut memperparah hal ini. Banyak keluarga yang malu atau sudah tidak tahan, kemudian 'menitipkan' anggota keluarga mereka ke panti sosial, pengobatan tradisional, hingga Lembaga keagamaan.

Perlakukan yang mereka dapatkan di tempat-tempat penitipan tersebut, sering mengorbankan kebebasan mereka, bahkan tidak jarang juga mendapatkan perlakuan yang sewenang-wenang, akibat dianggap sudah 'dibuang' oleh pihak keluarga.

**

Bagaimana dengan langkah pemerintah? Dr Eka Viora SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, mengatakan bahwa sejumlah upaya telah dilakukan Kementrian Kesehatan.

Salah satunya dengan memberikan pelatihan ke sejumlah dokter di layanan tingkat pertama atau Puskesmas agar bisa mengenali gejala depresi pada pasiennya. Sehingga bisa dilakukan upaya pencegahan dini.

Lebih lanjut, Eka juga mengatakan "Mulai tahun ini, sedang dibahas kurikulum pendidikan kedokteran yang memasukkan kesehatan jiwa menjadi bagian dari 144 penyakit yang bisa ditangani di Puskesmas," katanya.

Sehingga dokter lulusan masa depan, lanjut Eka Viora sudah bisa langsung "tune in" dalam masalah kesehatan jiwa dasar. Pemerintah tak perlu memberi pelatihan lagi, karena butuh biaya besar.

**

Gangguan kesehatan mental yang nampak di Indonesia, hanyalah merupakan puncak gunung es. Masih banyak kasus gangguan kesehatan jiwa yang belum terungkap.

Selain karena adanya stigma, sulitnya mencari layanan kesehatan, hingga mahalnya biaya. Namun masalah terbesar sebenarnya datang dari kurangnya edukasi, sehingga seseorang tidak sadar bahwa ia sebenarnya adalah penderita gangguan mental.

WHO merujuk sebuah fakta bahwa telah terjadi peningkatan tren bunuh diri di seluruh dunia akibat menderita gangguan jiwa. Pada tahun 2015 saja, ada sekitar 800.000 kasus bunuh diri di seluruh dunia.

Penyebab kematian akibat bunuh diri ini juga menjadi penyebab kematian nomer dua di dunia pada penduduk berusia 15 hingga 29 tahun.

Sementara di Indonesia sendiri, diperkirakan sekitar 1,6-1,8 persen per 100.000 penduduk meninggal akibat bunuh diri. Bukan tak mungkin, bilamana tidak dicegah, kasus ini akan mencapai angka 2,4 per 100.000 penduduk di 2020 ini.

Bagi anda yang ingin berdedikasi sebagai psikolog atau psikiater, janganlah pernah terpengaruh oleh ucapan siapapun terkait stigma-stigma yang beredar di masyarakat. Psikolog dan psikiater adalah pekerjaan mulia, yang memang membutuhkan jiwa yang mulia padanya.

Referensi: 1 2 3 

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia - versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun