Metode ramalan terkenal lainnya yang juga menggunakan syair adalah "Nyanyian Memanggang Kue" (Shaobing Ge)Â yang diciptakan oleh Liu Bowen pada zaman Dinasti Ming (1368 -- 1644 M).
Ramalan ini meliputi syair mengenai masa depan Tiongkok dan dunia, yang mirip dengan ramalan Le Prophecies dari Nostradamus.
Pada masa Dinasti Han, Dongfang Shuo membuat satu kitab dengan nama "Metode Catur Sakti" (Ling Qi Jing) yang jauh lebih sederhana dari metode-metode sebelumnya.
Caranya adalah dengan menulis kata "atas, tengah, dan bawah" dalam aksara Tiongkok, pada kayu cendana dan berjumlah masing-masing empat buah (total 12 kayu). Selain itu, ada pula dibuat kayu yang hanya dituliskan angka tanpa ketiga kategori tadi. Total kayu yang dibuat memiliki 125 kemungkinan jawaban.
Cara meramal nasib dengan metode ini adalah dengan mengocok dan membariskan kayu-kayu cendana yang keluar berserakan. Hasil yang didapat kemudian disesuaikan dengan kitab padanan Catur Sakti, yang berupa syair yang harus ditafsir.
Karena ramalan sangat berhubungan dengan mahluk surgawi yang dianggap lebih suci dari manusia, maka metode ini kemudian berkembang menjadi lebih sederhana sebagai praktik Ciam Si di kelenteng-kelenteng, hingga kini.
Hingga kini, ada beberapa syair pada Ciam Si yang mengutip kitab-kitab sastra klasik, sejarah, mitos, tokoh, ajaran-ajaran Taoisme, maupun Dhamma Buddhisme.
Syair tersebut seyogyanya adalah nasehat yang berlaku tentang budi pekerti dan ajaran moral yang patut dicontohi. Namun sayangnya, masyarakat modern yang telah terbiasa dengan solusi instan, menganggap syair yang keluar tidak lebih dari "titah dewa" yang harus dipatuhi.
Selain Ciam Si yang digunakan untuk meminta petunjuk Dewata, ada juga Ciam Si yang berfungsi untuk pengobatan (Yao Qian). Ciam Si jenis ini berdasarkan kumpulan buku pengobatan Dao (Dao Zang) dan sangat erat dengan sistem pengobatan Taoisme.
Zaman dahulu, pengetahuan mengenai pengobatan sangat jarang ditemukan, sehingga masyarakat Tiongkok Kuno menjadikan para tabib sebagai manusia setengah dewa.